"Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan tiada aku termasuk di antara orang-orang yang musyrik" (QS Yusuf:108)

23 August, 2014

Astaghfirullah (Maksud Istighfar) 

Astagfirullah
Aku mohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung”


Istighfar Kepada ALLAH Subhanahu wa ta’ala

Istighfar, kalimat yang sangat pendek, tapi memiliki makna yang  sangat dalam, sangat indah dalam hidup kita.

Sebab dalam Istighfar itu mengandungi beberapa elemen rohani, sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Quran mahupun Sunnah Rasulullah
 Shallallahu alaihi wasallam. Sejumlah ayat tentang Istighfar atau taubat banyak dikutip dari al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, antaranya:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ
وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan juga orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji, atau menganiaya diri sendiri, mereka segera ingat kepada Allah lalu memohon ampun akan dosa mereka - dan sememangnya tidak ada yang mengampunkan dosa-dosa melainkan Allah -, dan mereka juga tidak meneruskan perbuatan keji yang mereka telah lakukan itu, sedang mereka mengetahui (akan salahnya dan akibatnya)”. (Surah A-li Imraan: 135)

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman juga:

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّاباً
“Maka ucapkanlah tasbih dengan memuji Tuhanmu dan mintalah ampun kepadaNya, sesungguhnya Dia amat menerima taubat”. (Surah An-Nasr: 3)

وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالأَسْحَارِ
“dan orang-orang yang beristighfar (memohon ampun) pada waktu sahur.(menjelang fajar). (Surah A-li Imraan: 17)

“Maha Suci Engkau Wahai Allah, Tuhanku! Dan dengan segala puji bagi-Mu ya Allah Tuhanku, ampunilah aku! Sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat, lagi Maha Pengasih.” (Hadits riwayat: Al-Hakim).
“Barang siapa memperbanyak istighfar, maka akan diberi kelapangan dalam setiap kesusahan dan jalan keluar dari kesempitan. Dan dianugerahi rezeki dari jalan yang tiada disangka-sangka.” (Hadits riwayat:. Abu Dawud dan Nasa’i).

“Sungguh hatiku didera kerinduan yang sangat dalam, sehingga aku beristighfar seratus kali setiap hari.”
(Hadits riwayat: Muslim).

“Meski dosa-dosamu sebanyak buih lautan, sebanyak butir pasir di padang pasir, sebanyak daun di seluruh pepohonan, atau seluruh bialangan jagad semesta, Allah SWT tetap akan selalu mengampuni, bila engkau mengucapkan doa sebanyak tiga kali sebelum engkau tidur: Astaghfirullahal ‘Adzim al-Ladzii Laailaaha Illa Huwal Hayyul Qayyuumu wa Atuubu Ilaih. (Aku memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung, tiada Tuhan selain Dia Yang Maha Hidup dan Memelihara (kehidupan), dan aku bertobat kepada-Nya).” (Hadits Riwayat: At-Tirmidzi).

Terjemahan Istighfar: “Aku mohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung”

Istighfar memiliki dua makna yang jelas yang menjuruskan kepada hubungan kita dengan Allah Subhanahu wa ta’ala.  Semoga istighfar yang disebut oleh kita mencapai makna-maknanya.

Yang pertama, setiap kali kita mengucapkan astagfirullahal ‘adzim, bererti kita minta ampun daripada Allah Subhanahu wa ta’ala, minta dimaafkan kesalahan kita, minta ditutupi aib-aibkita. Semakin sering kita beristighfar maka semakin bersih diri kita daripada dosa, daripada kesalahan, daripada aib-aib. Allah Subhanahu wa ta’ala,  sangat menyukai hamba Allah Subhanahu wa ta’ala, yang terus beristighfar. Kerana tidak satu pun di antara kita yang bersih dari dosa, maka istighfar menjadi salah satu kewajiban kita. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala  mengampuni dosa kita, memaafkan kesalahan kita dan menutupi aib kita.

Yang kedua, setiap kali kita mengucapkan astagfirullahal ‘adzim, berarti kita meminta dan memohon kepada Allah Subhanahu wa ta’ala,  , agar Allah Subhanahu wa ta’ala  memperbaiki hidup kita, menguatkan aqidah kita, membuat kita nikmat dalam ibadah khusyuk, menjadikan akhlaq kita lebih mulia.

Istighfar Individu dan Sosial.

Dalam ritualitas vertikal, seorang hamba tidak hanya meraih kebahagiaan di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala, tanpa menyertakan sesama umat beriman. Justeru kualiti (ciri-ciri) keimanan seseorang sangat berkait rapat  dengan kebimbangan rohaninya terhadap orang lain.

Teladan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, ketika saat Yaumul Mahsyar memberikan contoh kepada umatnya,  bahawa  ciri-ciri rohani Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, melebihi para Nabi dan Rasul, berdasarkan pembelaannya akan nasib umat di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala. Suatu sikap yang tidak dimiliki oleh para pemimpin dan para Nabi/Rasul. Sebab ketika para hamba Allah Subhanahu wa ta’ala meminta syafa’at kepada para Nabi, mulai Nabi Adam ‘alaihi sallam , hingga Isa al-Masih alaihi sallam , ternyata mereka enggan, disebabkan mereka tidak berdaya, terutama memikirkan nasibnya sendiri-sendiri. Berbeza dengan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, yang justru tidak memikirkan nasib dirinya di hadapan Allah, malah yang terucap hanya kalimat: “Umatii…umatii..umatii…” (umatku… duh, umatku…umatku…).

Justru pembelaan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam itulah yang memberikan kuasa padanya, syafa’at besar yang boleh menyelamatkan umat dari siksa Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh sebab itu, Islam mengajarkan agar dalam permohonan keampunan, juga menyertakan permohonan keampunan untuk sesama umat. Misalnya, Istighfar yang berbunyi:

Astaghfurullahal ‘adzim, lii waliwaalidayya, walijami’il huquuqi waajibati ‘alayya, walijami’il muslimin wal-muslimaat wal-mu’minin wal mu’minaat al-ahyaa’I minhum wal-amwaat.

(Aku mohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung, bagiku dan bagi kedua orang tuaku, dan bagi seluruh orang yang menjadi tanggungan kewajibanku, dan bagi umat muslimin dan muslimat, dan kaum mu’minin dan mu’minat).

Dari nilai istighafar diatas memberikan sudut pandangan luar biasa bagi persepaduan dan peningkatan sosial secara damai. Hubungan kemasyarakatan akan berlansung dengan penuh keharmonian kerana hubungan yang terdapat emosi negatif dapat dinutralkan oleh 'istighafar sosial' di atas.

Makanya, kualiti Istighfar bukan saja ditentukan hubungan yang sangat peribadi dengan Allah Subhanahu wa ta’ala, tetapi juga sejauhmana seorang hamba menghayati Istighfar sosialnya.

Subhanallah. Istighfar merupakan satu ucapan tetapi memiliki dua keinginan. 2- in-1. Kerana itu tidak heran hamba Allah Subhanahu wa ta’ala yang sungguh-sungguh beristigfar nampak dalam kehidupannya, semakin berkah, semakin membawa kebaikan dan perbaikan,semakin bahagia, tenang, senang, menyenangkan, di dunia dan di akhirat.

Kerana itu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  bersabda, “Barangsiapa yang melazimkan, mendawamkan (mengulang terus menerus) dirinya selalu beristighfar kepada Allah, maka Allah Subhanahu wa ta’ala  memudahkan pada saat sukar, Allah Subhanahu wa ta’ala gembirakan saat ia sedih,dan Allah Subhanahu wa ta’ala memberi rezeki dari jalan yang tidak pernah ia duga.”

Kemudian dalam Al Qur’an surah  Nuh ayat 10, 11, 12, Allah Subhanahu wa ta’ala  berfirman,

يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً ,فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً
وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَاراً
“Beristighfarlah kepada Tuhanmu – sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun – "(Sekiranya kamu berbuat demikian), Ia akan menghantarkan hujan lebat mencurah-curah, kepada kamu; Dan Ia akan memberi kepada kamu dengan banyaknya harta kekayaan serta anak-pinak; dan Ia akan mengadakan bagi kamu kebun-kebun tanaman, serta mengadakan bagi kamu sungai-sungai (yang mengalir di dalamnya). (Surah Nuh: 10-12)

Beristighfarlah kita kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, niscaya Allah turunkan musim hujan yang berat. Allah Subhanahu wa ta’ala mudahkan kita mendapatkan rezeki. Allah hadirkan di tengah kita anak-anak kita, generasi-generasi yang sholeh, generasi robbani. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala  makmurkan negeri kita, Allah Subhanahu wa ta’ala  sejahterakan kita. Allahu Akbar!!!

Jadi, istighfar bukan hanya kewajiban, tapi keperluan kita. Kerana itulah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam , beliau tidak bangun dari tempat tidur beliau, kecuali beliau beristighfar 70 kali, dalam hadits lain 100 kali. Padahal dia ma’sum, dijamin masuk surga, bebas dari dosa, (tapi) begitu hebat istighfarnya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala . Apalagi kita hanya manusia biasa yang banyak dosa tanpa kita sedari atau tidak.

Cara berkesan membersihkan timbunan dosa adalah dengan melakukan taubat sebagai kembali pada kesucian jiwa setelah melakukan dosa-dosa, maksiat, dan kesalahan pada Tuhan melalui tiga syarat, iaitu menyedari (telah berbuat dosa), menyesali, dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dengan memperbanyak istighfar (mohon ampun) kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُّجِيبٌ
Oleh itu beristghfarlah kepada Allah dari perbuatan syirik, kemudian bertaubat kepadaNya dengan taat dan tauhid. Sesungguhnya Tuhanku sentiasa dekat, lagi sentiasa memperkenankan permohonan hambaNya". (Surah Hud: 61)

Mendawamkan (mengulang terusa menerus) bacaan istighfar adalah salah satu ikhtiar yang banyak dirujuk dalam hadits-hadtis shahih sebagai upaya melakukan pemutihan dosa. Bilakah saat-saat yang tepat agar istighfar kita mencapai pengabulan Allah Subhanahu wa ta’ala dan menjadi penyelesaian bagi aneka permasalahan hidup?

Dia antara hadits-hadits tersebut adalah:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّيْ أَتُوْبُ فِيْ اليَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah dan memohonlah ampun kepada-Nya, sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari sebanyak 100 kali.” (Hadits riwayat: Muslim).

Demikianlah keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya, baik yang lalu maupun yang akan datang. Tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba yang pandai bersyukur, pendidik yang bijaksana, pengasih dan penyayang. Semoga shalawat dan salam yang sempurna dilimpahkan kepada beliau.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
“Barangsiapa bertaubat sebelum matahari terbit dari barat niscaya Allah menerima taubatnya.” (Hadits riwayat: Muslim).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ لَزِمَ الاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَمِنْ كُلِّ ضَيْقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa senantiasa beristighfar, niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan untuk setiap kesedihannya kelapangan dan untuk setiap kesempitannya jalan keluar, dan akan diberi-Nya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.” (Hadits riwayat: Abu Daud)

Imam Al-Auza’i ditanya: “bagaimana cara beristighfar?” beliau menjawab: “Hendaknya mengatakan: “Astaghfirullah, astaghfirullah.” Artinya, aku memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Untuk mengakhiri tazkirah yang panjang ini, ingin menegaskan bahawa istighfar adalah salah satu amalan mulia dan perlu ditanamkan di dalam jiwa kita, kerana dengan nilai dan hikmah istighfar inilah, kita dapat membentuk manusia yang kenal diri, mengenang budi dan menghargai setiap nikmat yang diperolehi.

Jom kita istghfar bersama-sama sebentar.

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْْقَيُّومُ وَ أَتُوبُ إِلَيْهِ
Astaghfirullahal adzeem al-ladzii  laa ilaha illa Huwal-Hayyul-Qayyum wa atubu ilaih

Astagfirullahal ‘adzim, ampunilah dosa kami ya Allah.. tutupi aib kami…. betapa selama ini kami mudah tergelincir dalam dosa namun tak bersegera memohon ampun kepada-Mu. Amin!

Subhanakallahumma wabihamdika asyhaduallaailaahailla anta astaghfiruka wa atubuilaik. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

22 August, 2014

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi)

"Demikian banyaknya nikmat yang Allah berikan. Tidak ada sesiapapun yang dapat menghitungnya, walau dengan menggunakan alat secanggih manapun. Pernahkah kita terfikir, untuk apa Allah Subhanahu wa ta’ala mengurniakan demikian banyak nikmat kepada hamba-hambaNya? Adakah untuk sekadar menghabiskan nikmat-nikmat tersebut atau ada tujuan lain?"

Luasnya Pemberian Allah Subhanahu wa ta’ala

Sesungguh terlalu besar dan banyak nikmat yang telah dikurniakan Allah Subhanahu wa ta’ala  kepada kita. Setiap hari kita dikurniakan nikmat kemudian beralih ke nikmat yang lain, demikianlah secara berganti-ganti. Di mana ada masanya kita tidak dapat membayangkan akan beroleh sesuatu sebelum ianya terjadi, tetapi apabila telah dikurniakan, kita mendapat pula sesuatu yang tidak disangkakan. Terlalu besar dan banyak kurniaan ini, malah tidak dapat dihalang atau dikira dengan alat secanggih manapun yang ada ketika ini.

Semua ini adalah untuk membuat kita berfikir bahawa betapa besarnya kurnia dan kasih sayang Allah Subhanahu wa ta’ala kepada hamba-hambaNya. Dalam kehidupan kita seharian, kita menemukan keadaan yang membimbangkan, di mana manusia berada dalam keadaan yang ingkar dan kufur kepada Pemberi Nikmat. Kemuncaknya adalah menyamakan Pemberi Nikmat dangan makhluk, yang mana keadaan makhluk itu sendiri adalah sangat memerlukan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala (Pemberi Nikmat). Tentulah hal ini termasuk dalam kezaliman di atas kezaliman itu sendiri.

Sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam firman-Nya:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya perbuatan syirik itu adalah satu kezaliman yang besar". (Surah Luqman: 13)

Walau bagaimana pun, Allah Subhanahu wa ta’ala tetap memberikan kepada mereka sebahgian kurnia-Nya disebabkan “kasih sayang-Nya mendahului kemurkaan-Nya” dan membukakan bagi mereka pintu untuk bertaubat.

Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi hamba ini untuk:

-    Ingkar dan kufur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala serta menyamakan Allah Subhanahu wa ta’ala dengan makhluk-Nya yang sangat memerlukan kepada-Nya.

-    Menyombongkan diri serta angkuh dengan tidak mau melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala dan meninggalkan larangan-larangan-Nya atau tidak mau menerima kebenaran dan mementingkan orang lain.

-    Tidak mensyukuri pemberian Allah Subhanahu wa ta’ala.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ
“Dan apa-apa nikmat yang ada pada kamu maka adalah ia dari Allah”. (Surah Al-Nahl: 53)

Dan juga Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللّهِ لاَ تُحْصُو
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah (yang dilimpahkannya kepada kamu), tiadalah kamu akan dapat menghitungnya satu persatu; (Surah Al-Nahl: 18)

Pemberian Allah Subhanahu wa ta’ala untuk Satu Tujuan yang Mulia

فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ
…barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, maka pujilah Allah. Barangsiapa yang mendapati selain itu, maka janganlah mencela kecuali dirinya sendiri

“Dari sekian nikmat yang telah dikurniakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepada kita, mari kita mencuba menghitungnya. Sudah berapakah dalam perhitungan kita nikmat yang telah kita syukuri dan dari sekian nikmat yang telah kita pergunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Jika kita menemukan perhitungan yang baik, maka pujilah Allah Subhanahu wa ta’ala kerana Dia telah memberimu kesempatan yang baik. Jika kita menemukan sebaliknya maka janganlah engkau mencela melainkan dirimu sendiri.”

Demikianlah makna yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 4674) dari shahabat Abu Dzar  al-Ghifari radiallahu anhu.

Setiap orang boleh mengatakan bahawa semua yang ada di dunia ini merupakan pemberian Allah Subhanahu wa ta’ala. Tahukah anda apa rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu wa ta’ala tersebut?

Ketahuilah bahawa kenikmatan yang berlimpah ruah bukanlah tujuan diciptakannya manusia dan bukan pula sebagai wujud cinta Allah Subhanahu wa ta’ala kepada manusia tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia untuk sebuah kemuliaan baginya dan menjadikan segala nikmat itu sebagai perantara untuk menyampaikan kepada kemuliaan tersebut. Tujuan itu adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala saja, sebagaimana hal ini disebutkan dalam firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mereka menyembah dan beribadat kepadaKu”.  (Surah Adz-Dzaariyaat: 56)

Bagi orang yang berakal akan berusaha mencari rahsia di balik pemberian Allah Subhanahu wa ta’ala yang berlimpah ruah tersebut. Setelah dia menemukan jawabannya, iaitu untuk beribadah kepada-Nya saja, maka dia akan mengetahui pula bahawa dunia bukan sebagai tujuan.

Sebagai bukti iaitu adanya kematian setelah hidup ini dan adanya kehidupan setelah kematian diiringi dengan persidangan dan pengadilan serta pembalasan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Itulah kehidupan yang hakiki di akhirat nanti. Kesimpulan seperti ini akan mengantarkan kepada:

1.    Dunia bukan tujuan hidup.

2.   Kenikmatan yang ada padanya bukan tujuan diciptakan manusia, akan tetapi sebagai perantara untuk suatu tujuan yang mulia.

3.   Semangat beramal untuk tujuan hidup yang hakiki dan kekal.

Ibnu Qudamah
 rahimahullah menjelaskan: “Ketahuilah bahawa nikmat itu ada dua bentuk, nikmat yang menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi perantara menuju tujuan. Nikmat yang merupakan tujuan adalah kebahagiaan akhirat dan nilainya akan kembali kepada empat perkara:-

Pertama:     Kekekalan dan tidak ada kebinasaan setelahnya,

Kedua:       Kebahagian yang tidak ada duka setelahnya,

Ketiga:        Ilmu yang tidak ada kejahilan setelahnya;

Keempat:    Kaya yang tidak ada kefakiran setelahnya.

Semua ini merupakan kebahagiaan yang hakiki. Adapun bahgian yang kedua (dari dua jenis nikmat) adalah sebagai perantara menuju kebahagiaan yang disebutkan dan ini ada empat perkara:

Pertama:   Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan akhlak yang baik.

Kedua:       Keutamaan pada badan seperti kekuatan dan kesihatan dan sebagainya.

Ketiga:       Keutamaan yang terkait dengan badan seperti harta, kedudukan, dan keluarga.

Keempat: Sebab-sebab yang menghimpun nikmat-nikmat tersebut dengan segala keutamaan seperti hidayah,   bimbingan, kebaikan, pertolongan, dan semua nikmat ini adalah besar.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 282)

Untaian kata-kata Indah dari Ibnu Qudamah:

“Ketahuilah bahawa segala yang dicari oleh setiap orang adalah nikmat. Akan tetapi kenikmatan yang hakiki adalah kebahagiaan di akhirat kelak dan segala nikmat selainnya akan lenyap. Semua perkara yang disandarkan kepada kita ada empat macam:

Pertama: Sesuatu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat seperti ilmu dan akhlak yang baik. Inilah kenikmatan yang hakiki.

Kedua:   Sesuatu yang memudaratkan di dunia dan di akhirat. Ini merupakan bala’ (kerugian) yang hakiki.

Ketiga:    Bermanfaat di dunia akan tetapi memudaratkan di akhirat seperti berlezat-lezat dan mengikuti hawa nafsu. Ini sesungguhnya bala bagi orang yang berakal, sekalipun orang jahil menganggapnya nikmat. Seperti seseorang yang sedang lapar lalu menemukan madu yang bercampur racun. Bila tidak mengetahuinya, dia menganggap sebuah nikmat dan jika mengetahuinya dia menganggapnya sebagai malapetaka.

Keempat: Memudaratkan di dunia namun akan bermanfaat di akhirat sebagai nikmat bagi orang yang berakal. Contohnya obat, bila dirasakan sangat pahit dan pada akhirnya akan menyembuhkan (dengan seizin Allah Subhanahu wa ta’ala).

Syukur dalam Tinjauan Bahasa dan Agama

Adapun dalam tinjauan agama, syukur adalah: Nampaknya pengaruh nikmat Allah Subhanahu wa ta’ala atas seorang hamba melalui lisannya dengan cara memuji dan mengakuinya; melalui hati dengan cara meyakininya dan cinta; serta melalui anggota badan dengan penuh ketundukan dan ketaatan. (Madarijus Salikin, 2/244)

Ada juga yang mendefinisikan syukur dengan makna lain seperti:

1.    Mengakui nikmat yang diberikan dengan penuh ketundukan.

2.    Memuji yang memberi nikmat atas nikmat yang diberikannya.

3.    Cinta hati kepada yang memberi nikmat dan (tunduknya) anggota badan dengan ketaatan serta lisan                dengan 
cara memuji dan menyanjungnya.

4.    Menyaksikan kenikmatan dan menjaga (diri dari) keharaman.

5.    Mengetahui kelemahan diri dari bersyukur.

6.    Menyandarkan nikmat tersebut kepada pemberinya dengan ketenangan.

7.    Engkau melihat dirimu orang yang tidak pantas untuk mendapatkan nikmat.

8.    Mengikat nikmat yang ada dan mencari nikmat yang tidak ada.

Masih banyak lagi definisi para ulama tentang syukur, akan tetapi semuanya kembali kepada penjelasan Ibnul Qayyim sebagaimana disebutkan di atas.

Yang jelas, syukur adalah sebuah istilah yang digunakan pada pengakuan/ pengetahuan akan sebuah nikmat. Karena mengetahui nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Dzat yang memberi nikmat. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa ta’ala menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur`an dengan syukur. Dari sini diketahui bahawa mengetahui sebuah nikmat merupakan rukun dari rukun-rukun syukur. (Madarijus Salikin, 2/247)

Apabila seorang hamba mengetahui sebuah nikmat maka dia akan mengetahui yang memberi nikmat. Ketika seseorang mengetahui yang memberi nikmat tentu dia akan mencintai-Nya dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmat-Nya. (Madarijus Salikin, 2/247, secara ringkas)

Syukur tidak Sempurna melainkan dengan mengetahui apa yang dicintai Allah Subhanahu wa ta’ala  Ibnu Qudamah
rahimahullah menjelaskan: “Ketahuilah bahawa syukur dan tidak kufur tidak akan sempurna melainkan dengan mengetahui segala apa yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebab makna syukur adalah mempergunakan segala karunia Allah Subhanahu wa ta’ala kepada apa yang dicintai-Nya, dan kufur nikmat adalah sebaliknya. Boleh juga dengan tidak memanfaatkan nikmat tersebut atau mempergunakannya pada apa yang dimurkai-Nya.”

Makna Syukur

Syukur memiliki tiga makna.

Pertama: Mengetahui kurniaan Allah itu adalah nikmat kehidupan. Ertinya, seseorang itu telah benar-benar memahami, memperakui dan memillihnya. Perkara ini akan tersemat di sanubari sebagaimana wujud kenyataannya. Kerana ramai orang yang jika kita berbuat baik kepada mereka, walhal mereka tidak mengetahui bahawa ianya perbuatan baik. Perkara ini bukanlah gambaran rasa kesyukuran

Kedua:  Menerima nikmat tersebut dengan sikap memerlukannya. Dan nikmat itu sampai kepadanya bukan sebagai satu keharusan hak baginya dari Allah Subhanahu wa ta’ala, tanpa perlu membayar apa-apa harga. Bahkan dia melihat dirinya di hadapan Allah seperti seorang tetamu yang tidak diundang.

Ketiga: Memuji yang memberi nikmat. Dalam hal ini ada dua bentuk, iaitu umum dan khusus. Pujian yang bersifat umum adalah menyifati pemberi nikmat dengan sifat dermawan, kebaikan, luas pemberiannya, dan sebagainya. Pujian yang bersifat khusus adalah menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukan bahawa nikmat tersebut sampai kepada dia karena sebab Sang Pemberi tersebut. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Adapun nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau sebut-sebutkan (dan zahirkan) sebagai bersyukur kepadaNya.” (Surah Adh-Dhuha: 11) [Madarijus Salikin, 2/247-248]

Menceritakan Sebuah Nikmat Termasuk Syukur


Menceritakan sebuah nikmat yang dia dapatkan kepada orang lain termasuk dalam kategori syukur. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَا يَجْزِي بِهِ فَلْيُثْنِ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ
كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ وَمَنْ تَحَلَّى بِمَا لَمْ يُعْطَ كَانَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ
“Barangsiapa yang diberikan kebaikan kepadanya hendaklah dia membalasnya dan jika dia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya hendaklah dia memujinya. Karena jika dia memujinya sungguh dia telah berterima kasih dan jika dia menyembunyikannya sungguh dia telah kufur. Dan barangsiapa yang berhias dengan sesuatu yang dia tidak diberi, sama halnya dengan orang yang memakai dua ­baju kedustaan.” (HR. Abu Dawud no. 4179, At-Tirmidzi no. 1957 dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Adapun nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau sebut-sebutkan (dan zahirkan) sebagai bersyukur kepadaNya. (Surah Adh-Dhuha: 11)

Menceritakan nikmat yang diperintahkan di dalam ayat ini ada dua pendapat di kalangan para ulama.
Pertama: Menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukannya kepada orang lain saperti dengan ucapan:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku pelbagai nikmat  yang tidak terhitung banyaknya.”

Kedua: Menceritakan nikmat yang dimaksud di dalam ayat ini adalah berdakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan risalah-Nya dan mengajarkan umat.
Dari kedua pendapat tersebut, Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam Madarijus Salikin (2/249) mentarjih dengan perkataan beliau: “Yang benar, ayat ini mencakup kedua makna tersebut. Kerana masing-masingnya adalah nikmat yang kita diperintahkan untuk mensyukurinya, menceritakannya, dan menampakkannya sebagai wujud kesyukuran.”

Beliau berkata: “Dalam sebuah atsar yang lain dan marfu’ disebutkan:

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيْرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ، وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ
شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit maka dia tidak akan mensyukuri atas yang banyak dan barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia maka dia tidak bersyukur kepada Allah. Menceritakan sebuah nikmat (yang didapati) kepada orang lain termasuk dari syukur dan meninggalkannya adalah kufur, bersatu adalah rahmat dan bercerai berai adalah azab.” (HR. Ahmad dari An-Nu’man bin Basyir) [Madarijus Salikin, 2/248]

Dengan Apa Seorang Hamba Bersyukur?

Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Syukur boleh dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Adapun dengan hati adalah berniat untuk melakukan kebaikan dan menyembunyikannya pada khayalak ramai. Adapun dengan lisan adalah menampakkan kesyukuran itu dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya, menampakkan keridhaan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan hal ini sangat dituntut, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

التَّحَدُّثُ بِالنِّعَمِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ
‘Menceritakan nikmat itu adalah wujud kesyukuran dan meninggalkannya adalah wujud kekufuran.’

Adapun dengan anggota badan adalah mempergunakan nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa ta’ala tersebut dalam ketaatan kepada-Nya dan menjaga diri dari bermaksiat dengannya. Termasuk kesyukuran terhadap nikmat kedua mata adalah dengan cara menutup setiap aib yang dilihat pada seorang muslim. Dan termasuk kesyukuran atas nikmat kedua telinga adalah menutup setiap aib yang didengar. Penampilan seperti ini termasuk wujud kesyukuran terhadap anggota badan.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 277)
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Syukur itu boleh dilakukan oleh hati dengan tunduk dan kepasrahan, oleh lisan dengan mengakui nikmat tersebut, dan oleh anggota badan dengan ketaatan dan penerimaan.” (Madarijus Salikin, 2/246)

Derajat Syukur

Syukur memiliki tiga tingkatan:

Pertama: Bersyukur karena mendapatkan apa yang disukai.

Tingkat syukur ini boleh juga dilakukan orang Islam dan bukan Islam, seperti Yahudi dan Nasrani, bahkan Majusi. Namun Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Jika engkau mengetahui hakikat syukur, dan di antara hakikat syukur adalah menjadikan nikmat tersebut membantu dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan mencari redha-Nya, niscaya engkau akan mengetahui bahawa kaum musliminlah yang pantas menyandang derajat syukur ini.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah menulis surat kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu: ‘Sesungguhnya tingkatan kewajiban yang paling kecil atas orang yang diberi nikmat adalah tidak menjadikan nikmat tersebut sebagai jembatan untuk bermaksiat kepada-Nya’.” (Madarijus Salikin, 2/253)
Kedua:  Mensyukuri sesuatu yang tidak disukai. Orang yang melakukan jenis syukur ini adalah orang yang sikapnya sama dalam semua keadaan, sebagai bukti keredhaannya.

Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Bersyukur atas sesuatu yang tidak disukai lebih berat dan lebih sulit dibandingkan mensyukuri yang disenangi. Oleh sebab itulah, syukur yang kedua ini di atas jenis syukur yang pertama. Syukur jenis kedua ini tidak dilakukan kecuali oleh salah satu dari dua jenis orang:

* Seseorang yang semua keadaannya sama. Artinya, sikapnya sama terhadap yang disukai dan tidak disukai, dan dia bersyukur atas semuanya sebagai bukti keredhaan dirinya terhadap apa yang terjadi. Ini merupakan (gambaran) kedudukan redha.

* Seseorang yang dapat membezakan keadaannya. Dia tidak suka akan sesuatu yang menyusahkan dan tidak redha bila ditimpa hal tersebut. Tetapi bila sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa dirinya, dia tetap bersyukur. Kesyukurannya itu dijadikan sebagai pemadam kemarahan, sebagai penutup keluh kesah, dan untuk menjaga adap serta mencari ilmu. Kerana sesungguhnya adab dan ilmu dapat membimbing seseorang untuk bersyukur di waktu senang mahupun susah.

Tentunya yang pertama lebih tinggi dari yang kedua. (Madarijus Salikin, 2/254)

Ketiga: Seseorang seolah-olah tidak menyaksikan kecuali Yang memberinya kenikmatan. Artinya, bila dia melihat yang memberinya kenikmatan dalam rangka ibadah, dia akan menganggap besar nikmat tersebut. Dan bila dia menyaksikan yang memberi kenikmatan kerana rasa cinta, niscaya semua yang berat akan terasa manis baginya.

Manusia dan Syukur

Kita telah mengetahui bahawa syukur merupakan salah satu sifat yang terpuji dan sifat yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi tidak semua orang boleh mendapatkannya. Artinya, ada yang diberi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan ada pula yang tidak.

Manusia dan syukur terbagi menjadi tiga golongan:

Pertama:  Orang yang mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kedua:  Orang yang menentang nikmat yang diberikan alias kufur nikmat.
Ketiga: Orang yang berpura-pura syukur padahal dia bukan orang yang bersyukur. Orang yang seperti ini dimisalkan dengan orang yang berhias dengan sesuatu yang tidak dia tidak miliki. (Madarijus Salikin, 2/48)

Dalil-dalil tentang Syukur
وَاشْكُرُوا لِلهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
Bersyukurlah kepada Allah, jika betul kamu hanya beribadat kepadanya.” (Surah Al-Baqarah: 172)

فَاذْكُرُوْنِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُوْنِ
Oleh itu ingatlah kamu kepadaKu (dengan mematuhi hukum dan undang-undangKu), supaya Aku membalas kamu dengan kebaikan; dan bersyukurlah kamu kepadaKu dan janganlah kamu kufur (akan nikmatKu).” (Surah Al-Baqarah: 152)

وَاعْبُدُوْهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
“Dan sembahlah akan Dia, serta bersyukurlah kepadaNya; (ingatlah), kepada Allah jualah kamu akan dikembalikan. “ (Surah Al-’Ankabut: 17)

وَسَيَجْزِي اللهُ الشَّاكِرِيْنَ
Allah akan memberi balasan pahala kepada orang-orang yang bersyukur (akan nikmat Islam yang tidak ada bandingannya itu).” (Surah Ali ‘Imran: 144)

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
Dan (ingatlah) ketika Tuhan kamu memberitahu: "Demi sesungguhnya! Jika kamu bersyukur nescaya Aku akan tambahi nikmatKu kepada kamu, dan demi sesungguhnya, jika kamu kufur ingkar sesungguhnya azabKu amatlah keras". (Surah Ibrahim: 7)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata:

أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ
تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ
عَبْدًا شَكُوْرًا؟
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun di malam hari sampai pecah-pecah kedua kaki beliau lalu ‘Aisyah berkata: ‘Ya Rasulullah, kenapa engkau melakukan yang demikian, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lewat dan akan datang?’ Beliau menjawab: ‘Apakah aku tidak suka menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR. Al-Bukhari no 4660 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Masih banyak dalil lain yang menjelaskan tentang keutamaan syukur dan anjuran dari Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Semoga apa yang dibawakan di sini mewakili yang tidak disebutkan.

Ancaman bagi Orang-Orang yang Tidak Bersyukur

Yang tidak bersyukur lebih banyak dari yang bersyukur. Perkara ini tidak boleh dinafikan oleh orang yang berfikiran bersih.

Sebagaimana orang yang ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih banyak dari yang beriman. Demikianlah keterangan Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam firman-Nya:

وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
 Dan sememangnya sedikit sekali di antara hamba-hambaKu yang bersyukur..” (Surah Saba`: 13)

Sebuah peringatan tentu akan bermanfaat bagi orang yang beriman. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan dari kufur nikmat setelah memerintahkan untuk bersyukur dan menjelaskan keutamaan yang akan di dapatinya sebagaimana penjelasan Al-Imam As-Sa’di rahimahullahu dalam tafsir beliau: “Jika seseorang bersyukur niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabadikan nikmat yang dia berada padanya dan menambahnya dengan nikmat yang lain.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
Dan (ingatlah) ketika Tuhan kamu memberitahu: "Demi sesungguhnya! Jika kamu bersyukur nescaya Aku akan tambahi nikmatKu kepada kamu, dan demi sesungguhnya, jika kamu kufur ingkar sesungguhnya azabKu amatlah keras". (Surah Ibrahim: 7)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan: “Jika kalian mengkufuri nikmat, menutup-nutupinya dan menentangnya maka (azab-Ku sangat pedih) yaitu dengan dicabutnya nikmat tersebut dan siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala menimpanya dengan sebab kekufurannya. Dan disebutkan dalam sebuah hadits: ‘Sesungguhnya seseorang diharamkan untuk mendapatkan rizki karena dosa yang diperbuatnya’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/637)

Syukur dan Sabar

Kita akan bertanya: “Jika engkau ditimpa sebuah musibah lalu engkau mensyukurinya, maka tentu pada sikap kesyukuranmu terdapat sifat sabar dan sifat redha terhadap musibah yang menimpa dirimu. Dan kita mengetahui bahwa redha merupakan bahgian dari kesabaran. Sementara syukur merupakan buah dari sifat redha.”

Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Syukur termasuk kedudukan yang paling tinggi dan lebih tinggi -bahkan jauh lebih tinggi- daripada kedudukan redha. Di mana sifat redha masuk dalam syukur, kerana mustahil syukur ada tanpa redha.” (Madarijus Salikin, 2/242)

Kenapa Kebanyakan Orang Tidak Bersyukur?
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Makhluk ini tidak mau mensyukuri nikmat kerana padanya ada dua (sifat) iaitu kejahilan dan kelalaian. Kedua sifat ini menghalangi mereka untuk mengetahui nikmat. Kerana tidak tergambar bahawa seseorang boleh bersyukur tanpa mengetahui nikmat (sebuah pemberian). Jika pun mereka mengetahui nikmat, mereka menyangka bahawa bersyukur itu hanya sebatas mengucapkan alhamdulillah atau syukrullah dengan lisan. Mereka tidak mengetahui bahawa makna syukur adalah mempergunakan nikmat pada jalan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 288)

Kesimpulan ucapan Ibnu Qudamah rahimahullahu adalah bahawa manusia banyak tidak bersyukur kerana ada dua perkara yang melandasinya iaitu kejahilan dan kelalaian.

Mengobati Kelalaian dari Bersyukur

Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Hati yang hidup akan menggali segala macam nikmat diberikan. Adapun hati yang jahil (lalai) tidak akan menganggap sebuah nikmat sebagai nikmat kecuali setelah bala’ menimpanya. Caranya, hendaklah dia terus memandang kepada yang lebih rendah darinya dan berusaha berbuat apa yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Mendatangi tempat orang yang sedang sakit dan melihat berbagai macam ujian yang sedang menimpa mereka, kemudian berpikir tentang nikmat sehat dan keselamatan. Menyaksikan jenazah orang yang terbunuh, dipotong tangan mereka, kaki-kaki mereka dan diazab, lalu dia bersyukur atas keselamatan dirinya dari berbagai azab.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 290)

Wallahu a’lam.

Catatan kaki:
1 Demikianlah makna yang telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 4674) dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu.
Alih Bahasa: HAR/Puteri Eliza

BUAT RENUNGAN-SIFAT MANUSIA OLEH HAR

Sudah menjadi lumrah, sifat kebanyakan manusia, apabila diberinya nikmat, maka dia menjadi orang yang sangat gembira lalu mula melupakan kepada Si Pemberi Nikmat (Allah Subhanahu wa ta’ala). Ketika di dalam kesempitan hidup di suatu ketika dahulu, dialah orang yang paling kerap berdoa, merayu, merintih dan menangis memohon daripada Allah Subhanahu wa ta’ala agar diperkenankan segala permintaannya.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ نَعْمَاء بَعْدَ ضَرَّاء مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ ذَهَبَ السَّيِّئَاتُ عَنِّي إِنَّهُ لَفَرِحٌ فَخُورٌ
Dan demi sesungguhnya! kalau Kami memberinya pula kesenangan sesudah ia menderita kesusahan, tentulah ia akan berkata: "Telah hilang lenyaplah dariku segala kesusahan yang menimpaku". Sesungguhnya ia (dengan kesenangannya itu) riang gembira, lagi bermegah-megah (kepada orang ramai). (Surah Hud: 10)

Allah Subhanahu wa ta’ala lagi berfirman:

وَإِذَا مَسَّ الإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِداً أَوْ قَآئِماً فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ
ضُرَّهُ مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَا إِلَى ضُرٍّ مَّسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan apabila seseorang manusia ditimpa kesusahan, merayulah ia ditimpa Kami (dalam segala keadaan), sama ada ia sedang berbaring atau duduk ataupun berdiri; dan manakala Kami hapuskan kesusahan itu daripadanya, ia terus membawa cara lamanya seolah-olah dia tidak pernah merayu kepada Kami memohon hapuskan sebarang kesusahan yang menimpanya (sebagaimana ia memandang eloknya bawaan itu) demikianlah diperelokkan pada pandangan orang-orang yang melampau apa yang mereka lakukan”. (Surah Yunus: 12)

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَإِذَا مَسَّ الْإِنسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيباً إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِّنْهُ نَسِيَ مَا
كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِن قَبْلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَندَاداً لِّيُضِلَّ عَن سَبِيلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ
قَلِيلاً إِنَّكَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Dan apabila manusia disentuh oleh sesuatu bahaya, ia segera berdoa kepada Tuhannya dengan keadaan rujuk kembali bertaubat kepadaNya; kemudian apabila Allah memberikannya sesuatu nikmat (sebagai kurnia) daripadaNya, lupalah ia akan segala bahaya yang menyebabkannya merayu kepada Allah sebelum itu dan ia pula menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah, untuk menyesatkan dirinya (dan orang lain) dari jalan Allah. Katakanlah (kepadanya): "Bersenang-senanglah engkau dengan kekufuranmu itu bagi sementara, sesungguhnya engkau dari penduduk neraka”. (Surah Az-Zumar: 8)

Allah Subhanahu wa ta’ala memberi jaminan untuk tidak akan menurunkan azabNya selagi masih ada dari kalangan hamba-hambaNya, orang yang mensyukuri nikmatNya.

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ
“Wahai umat manusia, kenangkanlah nikmat Allah yang telah dikurniakanNya kepada kamu; tidak ada sama sekali yang menciptakan sesuatu selain daripada Allah; Ia memberi rezeki kepada kamu dari langit dan bumi. Tiada Tuhan melainkan Dia, maka mengapa kamu rela dipalingkan (dari menyembahnya)?” (Surah Faatir: 8)


Maka jadilah orang yang tahu bersyukur akan nikmat-nikmat ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA dengan mentaati segala perintahNYA dan janganlah menjadi orang yang kufur nikmat-nikmat ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA dengan menjauhi dari melanggar segala laranganNYA.