PERGOLAKAN RUMAHTANGGA
Sebagaimana kita fahami sebuah perkawinan yang dilakukan tentu
mempunyai tujuan-tujuan yang tertentu yang hendak diraih-nya. Al-Quran secara
umum menjelaskan tujuan perkawinan, antara lain, disamping untuk mengembangkan
keturunan.
Saperti
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ
اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيباً
Ya-ʾayyuhan-nasu ttaqu
rabbakumu lladhi khalaqakum min nafsin waḥidatin wa-khalaqa minha
zawjaha wa-baththa minhuma rijalan kathiran wa-nisaʾan wa-ttaqu llaha lladha
tasaʾaluna bihi wal-ʾarḥama ʾinnallaha kana ʿalaykum raqiba
“Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang
diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu”. (Surah An-Nisaa: 1)
Di dalam
al-Quran dijelaskan bahawa tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan
ketenangan, ketentraman, kedamaian, kebahagiaan dan kasih saying.
Sebagaimana
dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
wa-min ʾaytihi ʾan khalaqa lakum min ʾanfusikum ʾazwajan li-taskunu ʾilayha wa-jaʿala bainakum mawaddatan
wa-raḥmatan ʾinna fi dhalika la-ʾayatin li-qawmin yatafakkarun
“Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan kekuasaannya dan
rahmatNya, bahawa Ia menciptakan untuk kamu (wahai kaum lelaki), isteri-isteri
dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya,
dan dijadikanNya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas
kasihan. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang
menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang berfikir”. (Surah Ar-Ruum: 21)
Dengan demikian, sebenarnya perkawinan itu sesuatu keperluan asasi bagi
setiap manusia. Dia tidak boleh dipisahkan dari keseluruhan
kehidupan manusia itu sendiri. Kerana itu perkawinan yang merupakan salah satu
Sunnatullah itu tidak boleh dihindari oleh setiap insan dalam meraih
tujuan-tujuan yang luhur itu. Dengan kata lain Allah Subhanahu wa Ta’ala
mensyari’atkan perkawinan adalah sebagai wasilah
(sarana) untuk meraih tujuan-tujuan luhur tersebut.
Sebaliknya,
Islam melarang perkawinan yang semata-mata untuk melepaskan hawa nafsu (kahwin
Muta’ah, misalnya) dan mengutuk terhadap orang yang kahwin sana dan kahwin sini
hanya untuk “merasakan” kepuasan hubungan seksual semata-mata.
Menurut Prof Dr Hamka, rahmah lebih tinggi kedudukannya daripada
mawaddah sebab ia kasih mesra di antara suami isteri yang bukan lagi berasaskan
keinginan syahwat, sebaliknya rasa kasih sayang murni yang tumbuh dari jiwa
yang paling dalam sehingga suami isteri merasakan kebahagiaan yang tidak
bertepi dan ketenangan yang tidak berbatas.
Islam telah memberi banyak petunjuk, antaranya hendaklah pihak
masing-masing (calon Isteri atau suami) menyedari sepenuhnya bahawa menjalin
perkawinan itu merupakan bahagian dari beribadah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, maka dari itu ia harus dilakukan secara tulus, semata-mata kereadhaan-Nya.
Masing-masing pihak diberi kebebasan seluas-luasnya untuk memilih calon
pasangan yang paling disukainya. Calon isteri atau suami sebelum melangsungkan
perkawinan dianjurkan untuk calon yang diminatinya dan mengenal pribadinya
serta keadaan keluarganya.
Dalam menjatuhkan pilihan pasangan, hendaklah calon suami maupun isteri
menjadikan kualiti ketaqwaan keislaman sebagai standardnya. Kerana ketaqwaan
akan menjadi senjata maupun dalam meredam berbagai gelojak yang timbul dalam
mengayuh perahu rumah tangga, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjamin akan
melindunginya.
Sasaran utama dari
disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi
martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan
merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pembentukan
keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara lelaki dan perempuan dari
kerosakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan
untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan,
dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (Hadits Riwayat: Ahmad, al-Bukhari, Muslim,
at-Tirmidzi, an-Nasa-I, ad-Darimi dan al-Baihaqi, dari Shahabat ‘Abdullah bin
Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.)
Pasca perkawinan, Islam juga
member banyak pertunjuk bagi pasangan
suami-isteri sebagai petunjuk dalam menjalankan perahu rumah tangga, agar
terhindar dari berbagai factor yang boleh menimbulkan krisis atau gelojak.
Petunjuk-petunjuk tersebut antara lain, Islam telah menentukan kedudukan dan
tanggung-jawabnya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَن
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ
إِصْلاَحاً وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ
عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ
wal-muṭallaqatu yatarabbaṣna bi-ʾanfusihinna thalathata
quruʾin wa-la yaḥillu lahunna ʾan yaktumna ma khalaqa
llāhu fī ʾarḥamihinna ʾin kunna yuʾminna billahi wal-yawmil-ʾakhiri wa-buʿulatuhunna ʾaḥaqqu bi-raddihinna fi dhalika ʾin ʾaradū ʾiṣlaḥan wa-lahunna mithlulladh ʿalayhinna bil-maʿrūfi walir-rijali ʿalayhinna darajatun wa-llahu ʿazizun ḥakim
“Dan isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menunggu dengan menahan
diri mereka (dari berkahwin) selama tiga kali suci (dari haid). Dan tidaklah
halal bagi mereka menyembunyikan (tidak memberitahu tentang) anak yang
dijadikan oleh Allah dalam kandungan rahim mereka, jika betul mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suami mereka berhak mengambil kembali
(rujuk akan) isteri-isteri itu dalam masa idah mereka jika suami-suami
bertujuan hendak berdamai. Dan isteri-isteri itu mempunyai hak yang sama
seperti kewajipan yang ditanggung oleh mereka (terhadap suami) dengan cara yang
sepatutnya (dan tidak dilarang oleh syarak); dalam pada itu orang-orang lelaki
(suami-suami itu) mempunyai satu darjat kelebihan atas orang-orang perempuan
(isterinya). Dan (ingatlah), Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. (Surah Al-Baqarah: 228)
Sementara kepimpinan keluarga diamanahkan kepada suami sesuai dengan
martabatnya.
Sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً
كَبِيراً
ar-rijalu qawwamana ʿalan-nisaʾi bi-ma faḍḍalallahu baʿḍahum ʿala baʿḍin wa-bi-ma ʾanfaqu min ʾamwalihim faṣ-ṣaliḥatu qanitatun ḥafiẓatun lil-ghaybi bi-ma ḥafiẓallahu wa-llati takhafuna
nushuzahunna fa-ʿiẓuhunna wa-hjuruhunna
fīl-maḍajiʿi wa-ḍribuhunna fa-ʾin ʾaṭaʿnakum fa-la tabghu ʿalayhinna sabilan ʾinnallaha kana ʿaliyyan kabira
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggungjawab
terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah telah melebihkan orang-orang lelaki
(dengan beberapa keistimewaan) atas orang-orang perempuan, dan juga kerana
orang-orang lelaki telah membelanjakan (memberi nafkah) sebahagian dari harta
mereka. Maka perempuan-perempuan yang soleh itu ialah yang taat (kepada Allah
dan suaminya), dan yang memelihara (kehormatan dirinya dan apa jua yang wajib
dipelihara) ketika suami tidak hadir bersama, dengan pemuliharaan Allah dan
pertolonganNya. Dan perempuan-perempuan yang kamu bimbang melakukan perbuatan
derhaka (nusyuz) hendaklah kamu menasihati mereka, dan (jika mereka berdegil)
pulaukanlah mereka di tempat tidur, dan (kalau juga mereka masih degil) pukulah
mereka (dengan pukulan ringan yang bertujuan mengajarnya). Kemudian jika mereka
taat kepada kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar”. (Surah An-Nisaa’: 34)
Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam juga telah bersabda:
“Setiap
orang dari antara kamu adalah pemimpin, dan setaip pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban-nya. Seorang suami adalh pemimpin ditengah keluarga-nya, dan
dia bakal dimintai pertanggungjawaban-Nya. Dan (demikian halnya) seorang isteri
adalah pemimpin ditengah keluarga suaminya dan anak-anaknya, dan dia bakal
dimintai pertanggungjawaban-nya. (Hadits Riwayat: Bukhari dan Muslim)
Diharapkan
pihak masing-masing lebih memperhatikan ketimbangan hak-haknya. Prinsip
musyawarah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
walladhina stajab li-rabbihim wa-ʾaqamus-salata wa-ʾamruhum shura bainahum
wa-mimma razaqnahum yunfiqun
“Dan juga (lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menyahut
dan menyambut perintah Tuhannya serta mendirikan sembahyang dengan sempurna;
dan urusan mereka dijalankan secara bermesyuarat sesama mereka; dan mereka pula
mendermakan sebahagian dari apa yang Kami beri kepadanya”. (Surah Asy-Syuura: 38)
Dan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala seterusnya:
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ
لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ
fa-bi-ma raḥmatin minallahi linta lahum wa-law kunta faẓẓan ghalizal-qalbi lanfaḍḍu min ḥawlika fa-ʿfu ʿanhum wa-staghfir lahum
wa-shawirhum fil-ʾamri fa-ʾidha ʿazamta fa-tawakkal ʿalallahi ʾinnallaha yuḥibbul-mutawakkilin
“Maka dengan sebab rahmat (yang melimpah-limpah) dari Allah (kepadamu
wahai Muhammad), engkau telah bersikap lemah-lembut kepada mereka
(sahabat-sahabat dan pengikutmu), dan kalaulah engkau bersikap kasar lagi keras
hati, tentulah mereka lari dari kelilingmu. Oleh itu maafkanlah mereka
(mengenai kesalahan yang mereka lakukan terhadapmu), dan pohonkanlah ampun bagi
mereka, dan juga bermesyuaratlah dengan mereka dalam urusan (peperangan dan
hal-hal keduniaan) itu. kemudian apabila engkau telah berazam (sesudah
bermesyuarat, untuk membuat sesuatu) maka bertawakalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Mengasihi orang-orang yang bertawakal kepadaNya”. (Surah Al-i’Imraan: 159)
Masing-masing pihak harus sedar bahawa manusia tetap manusia, yang tidak
boleh lepas dari kelemahan, kekurangan dan kekhilafan. Al-Quran mengajarkan
disebalik kelemahan pada salah satu pihak, justeru menjadi sumber pahala dan
kebaikan bagi pihak yang lain.
Seperti Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُواْ النِّسَاء كَرْهاً وَلاَ
تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُواْ بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلاَّ أَن يَأْتِينَ
بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ
فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً
ya-ʾayyuhalladhina ʾamanū la yahillu lakum ʾan tarithun-nisaʾa karhan wa-la taʿḍuluhunna li-tadhhabu
bi-baʿḍi ma ʾataytumuhunna ʾilla ʾan yaʾtina bi-faḥishatin mubayyinatin wa-ʿashiruhunna bil-maʿrūfi fa-ʾin karihtumuhunna fa-ʿasa ʾan takrahu shayʾan wa-yajʿalallahu fihi khayran kathira
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi
perempuan-perempuan dengan jalan paksaan, dan janganlah kamu menyakiti mereka
(dengan menahan dan menyusahkan mereka) kerana kamu hendak mengambil balik
sebahagian dari apa yang kamu telah berikan kepadanya, kecuali (apabila) mereka
melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaulah kamu dengan mereka
(isteri-isteri kamu itu) dengan cara yang baik. Kemudian jika kamu (merasai)
benci kepada mereka (disebabkan tingkah-lakunya, janganlah kamu terburu-buru
menceraikannya), kerana boleh jadi kamu bencikan sesuatu, sedang Allah hendak
menjadikan pada apa yang kamu benci itu kebaikan yang banyak (untuk kamu).” (Surah An-Nisaa: 19)
Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam juga berpesan hendaklah dalam menyikapi pribadi satu
terhadap yang lain secara adil (Komperhensif), kerana setiap orang disamping
memiliki kelemahan disatu sisi tapi disisi yang lain tentu memiliki kelebihan.
Sabda
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam:
“Janganlah
seorang lelaki Mu’min (Suami) membenci begitu saja terhadap Mu’min perempuan
(isteri) kerana jika ada perangai yang tidak disukai, dia pasti readha
(menyenangi) peranagi lain (yang baik) daripadanya.” (Hadits
Riwayat Muslim)
Sejumlah petunjuk tersebut, baik yang berupa
asas maupun petunjuk dalam kehidupan berkeluarga, merupakan upaya preventif
yang diharapkan boleh menjadi benteng pertahanan dan penangkal bagi timbulnya
kemelut dalam mengayuh perahu rumah tangga.
Namun demikian kenyataan menunjukkan tidak
semua perahu rumah tangga boleh Berjaya. Bahkan kadang-kadang perahu rumah
tangga itu terkandas atau pecah ditengah jalan. Terkandas rumah tangga, mungkin
kerana dashyat gelombang yang menerpa; dan pecah atau mungkin kerana rapuhnya
perahu itu sendiri. Jadi, yang menyebakan kegagalan meraih tujuan-tujuan
perkawinan yang luhur itu amat komplek. Mungkin juga kerana factor eksternal
(kerana dashyatnya goncangan yang menerpa), mungkin juga kerana factor-faktor
internal (kerana rapuhnya asas bangunan rumah tangga ) dan lain-lain.
Secara khusus, Agama Islam memang tidak
menentukan batas-batas yang tegas maupun rinci bagi suami-isteri dibolehkan
membuka “pintu darurat” (memutus hubungan perkawinan). Secara umum, Islam
member petunjuk: Bahawa perceraian itu boleh dilakukan apabila salah satu pihak
melanggar atau durhaka kepada Syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau, antara
kedua belah pihak sudah tidak lagi boleh diharap mampu melaksanakan
kewajipan-kewajipan rumah tangganya dengan penuh kebaikan (ma’ruf), kedamaian
maupun kasih sayang. Atau, mungkin kerana gangguan yang menyangkut akhlak,
kejiwaan (gila), mati pucuk (impoten) dan lain-lain, sehingga fungsinya sebagai
suami atau isteri tidak boleh dilakukan secara normal.
Yang perlu diperhatikan, bahawa perceraian
dengan bentuknya harus dilakukan secara ma’ruf (Baik), sopan, arif, dan penuh
pertimbangan. Tidak diperkenankan saling membuka aib atau kelemahan masing-masing.
Tentang
usaha atau tips dan tahap-tahap yang perlu dilakukan oleh pasangan suami-isteri
guna menenggelamkan pertelingkahan atau kemelut yang sedang melanda rumah
tangga, antara lain Islam memberi petunjuk sebagai berikut:
Pertama:
Bila kemelut itu datang dari pihak isteri,
maka suami hendaklah bersikap sesuai dengan petunjuk Al-Quran sebagai berikut:
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan perempuan-perempuan
yang kamu bimbang melakukan perbuatan derhaka (nusyuz) hendaklah kamu
menasihati mereka, dan (jika mereka berdegil) pulaukanlah mereka di tempat
tidur, dan (kalau juga mereka masih degil) pukulah mereka (dengan pukulan
ringan yang bertujuan mengajarnya). Kemudian jika mereka taat kepada kamu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”. (Surah An-Nisaa’:
34)
Ayat tersebut member petunjuk setidaknya ada tiga tahap yang harus dilakukan pihak
suami dalam menghadapi isteri yang “bermasalah” tersebut. Tahap pertama, dengan
pendekatan nasihat dan peringkatan secara arif dan bijak. Tahap kedua,
melakukan pisah ranjang, bukan pisah atap (Rumah). Sehingga komunikasi dan
kedekatan emosi masih dikontrol. Pisah atap, disamping boleh melahirkan
kekosongan hati, boleh mengundang datangnya pihak luar. Tidak mustahil,
kekosongan hati itu akan diisi atau pindah ke orang lain.
Apabila zaman sekarang, sarana komunikasi dan informasi demikian canggih dan “usil”.
Berbeza halnya, jika yang dilakukan hanya pisah ranjang. Komunikasi dan mata,
telinga maupun hati masih boleh dilakukan. Lagi pula bagaimana perkembangan
sang isteri, dapat dipantau secara jelas. Dengan demikian, bila masing-masing
masih berniat baik, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan membuka jalan
kesedaran. Tahap ketiga, suami diberi perkenan untuk melakukan tindakan secara
pisik (memukul). Tentu saja pada daerah yang tidak berbahaya, dan tetap sebatas
dalam rangka member “pelajaran” gar yang bersangkutan sedar dan bertaubat.
Tapi bagi seorang Muslim, tentu akan meyakini bahawa
kebijakan Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas kebijakan siapapun. Dan memang hanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala, dijagat raya ini, yang berhak membuat syari’at
(undang-undang dan aturan).
“Pemukulan” betapapun kerasnya, risikonya akan lebih kecil
dibandingkan dengan perceraian, yang juga memberi kesan pada pihak lain yang
tidak bermasaalah, misalnya, anak-anak.
Ketiga tahap tersebut harus dilakukan secara tulus, demi
kemashlahtan semua pihak, keutuhan perahu rumah tangga. Sebelum tahap pertama
dilakukan secara keseluruhan, jangan dulu pindah ke tahap berikut. Perhatikan
hujung ayat tersebut, “maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkan mereka (isteri)”.
Kedua:
Bila ternyata yang bermasaalah pihak suami, maka Al-Quran memberi
petunjuk sebagai berikut.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِنِ
امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ جُنَاْحَ
عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ
الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيراً
wa-ʾini mraʾatun khafat min baʿliha nushiuzan ʾaw ʾiʿraḍan fa-la junaḥa ʿalayhima ʾan yuṣliḥa baynahuma ṣulḥan was-sulḥu khayrun wa-ʾuḥḍiratil-ʾanfusu sh-shuḥḥa wa-ʾin tuḥsinu wa-tattaqu fa-ʾinnallaha kana bi-ma taʿmaluna khabira
“Dan jika seorang perempuan
bimbang akan timbul dari suaminya "nusyuz" (kebencian), atau tidak
melayaninya, maka tiadalah salah bagi mereka (suami isteri) membuat perdamaian
di antara mereka berdua (secara yang sebaik-baiknya), kerana perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka daripada bercerai-berai); sedang sifat bakhil kedekut
(tidak suka memberi atau bertolak ansur) itu memang tabiat semula jadi yang ada
pada manusia. Dan jika kamu berlaku baik (dalam pergaulan), dan mencegah diri
(daripada melakukan kezaliman), maka sesungguhnya Allah Maha Mendalam
PengetahuanNya akan apa yang kamu lakukan”. (Surah
An-Nisaa’: 128)
Ayat tersebut member
petunjuk bahawa seorang isteri bila merasa ada gejala yang kurang baik pada suaminya,
dia hendak durhaka atau bertindak semena-mena kepada dirinya, maka isteri
diperkenankan untuk mengajukan ishlah (perdamaian), dengan segala cara yang
mungkin. Boleh dengan nasihat, peringatan, pisah ranjang atau apa saja yang
dibenarkan Agama, demi tercapainya ishlah kerana ishlah itu lebih baik bagi
keutuhan biduk rumah tangga dari perceraian.
Boleh juga, isteri meminta
bantuan pihak lain yang mempunyai kebolehan (kompeten) yang adil dan bijak,
untuk menjadi perantara agar perdamaian boleh tercapai. Perkara ini sesuai
denagn petunjuk ayat ini.
Firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
وَإِنْ
خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً
مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ
اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً
wa-ʾin khiftum shiqaqa
baynihim fabʿathu ḥakaman min ʾahlihi wa-ḥakaman min ʾahliha ʾin yurida ʾiṣlaḥan yuwaffiqillahu
baynahuma ʾinnallaha kana ʿaliman khabira
“Dan jika kamu bimbangkan perpecahan di antara mereka berdua (suami
isteri) maka lantiklah "orang tengah" (untuk mendamaikan mereka,
iaitu), seorang dari keluarga lelaki dan seorang dari keluarga perempuan. Jika
kedua-dua "orang tengah" itu (dengan ikhlas) bertujuan hendak
mendamaikan, nescaya Allah akan menjadikan kedua (suami isteri itu) berpakat
baik. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengetahui, lagi Amat mendalam
pengetahuanNya”. (Surah An-Nisaa’: 35)
Demikianlah antara
lain, secara garis besar, upaya atau kaedah dan tahap-tahap untuk menanggulangi
kemelut atau krisis yang sedang melanda rumah tangga menurut Agama (Islam)
Posted by: Huszaini Rahman