(ditulis oleh:
Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi)
"Demikian banyaknya nikmat yang Allah
berikan. Tidak ada sesiapapun yang dapat menghitungnya, walau dengan
menggunakan alat secanggih manapun. Pernahkah kita terfikir, untuk apa Allah Subhanahu wa ta’ala mengurniakan
demikian banyak nikmat kepada hamba-hambaNya? Adakah untuk sekadar menghabiskan
nikmat-nikmat tersebut atau ada tujuan lain?"
Luasnya
Pemberian Allah Subhanahu wa ta’ala
Sesungguh
terlalu besar dan banyak nikmat yang telah dikurniakan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada kita.
Setiap hari kita dikurniakan nikmat kemudian beralih ke nikmat yang lain,
demikianlah secara berganti-ganti. Di mana ada masanya kita tidak dapat
membayangkan akan beroleh sesuatu sebelum ianya terjadi, tetapi apabila telah
dikurniakan, kita mendapat pula sesuatu yang tidak disangkakan. Terlalu besar
dan banyak kurniaan ini, malah tidak dapat dihalang atau dikira dengan alat
secanggih manapun yang ada ketika ini.
Semua ini
adalah untuk membuat kita berfikir bahawa betapa besarnya kurnia dan kasih
sayang Allah Subhanahu wa ta’ala
kepada hamba-hambaNya. Dalam kehidupan kita seharian, kita menemukan keadaan
yang membimbangkan, di mana manusia berada dalam keadaan yang ingkar dan kufur
kepada Pemberi Nikmat. Kemuncaknya adalah menyamakan Pemberi Nikmat dangan
makhluk, yang mana keadaan makhluk itu sendiri adalah sangat memerlukan kepada
Allah Subhanahu wa ta’ala (Pemberi
Nikmat). Tentulah hal ini termasuk dalam kezaliman di atas kezaliman itu
sendiri.
Sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam firman-Nya:
إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya
perbuatan syirik itu adalah satu kezaliman yang besar". (Surah Luqman: 13)
Walau
bagaimana pun, Allah Subhanahu wa ta’ala
tetap memberikan kepada mereka sebahgian kurnia-Nya disebabkan “kasih
sayang-Nya mendahului kemurkaan-Nya” dan membukakan bagi mereka pintu untuk
bertaubat.
Oleh sebab itu tidak
ada alasan bagi hamba ini untuk:
-
Ingkar dan kufur kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala serta menyamakan Allah Subhanahu
wa ta’ala dengan makhluk-Nya yang sangat memerlukan kepada-Nya.
- Menyombongkan diri serta
angkuh dengan tidak mau melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala dan meninggalkan larangan-larangan-Nya atau
tidak mau menerima kebenaran dan mementingkan orang lain.
-
Tidak mensyukuri pemberian Allah Subhanahu
wa ta’ala.
Allah
Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا بِكُم
مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ
“Dan
apa-apa nikmat yang ada pada kamu maka adalah ia dari Allah”. (Surah Al-Nahl:
53)
Dan
juga Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
وَإِن
تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللّهِ لاَ تُحْصُو
“Dan jika kamu menghitung
nikmat Allah (yang dilimpahkannya kepada kamu), tiadalah kamu akan dapat
menghitungnya satu persatu; (Surah Al-Nahl: 18)
Pemberian
Allah Subhanahu wa ta’ala untuk Satu
Tujuan yang Mulia
فَمَنْ وَجَدَ
خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُومَنَّ
إِلَّا نَفْسَهُ
…barangsiapa yang mendapatkan
kebaikan, maka pujilah Allah. Barangsiapa yang mendapati selain itu, maka
janganlah mencela kecuali dirinya sendiri
“Dari
sekian nikmat yang telah dikurniakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepada
kita, mari kita mencuba menghitungnya. Sudah berapakah dalam perhitungan kita
nikmat yang telah kita syukuri dan dari sekian nikmat yang telah kita
pergunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Jika kita menemukan perhitungan yang
baik, maka pujilah Allah Subhanahu wa ta’ala kerana Dia telah memberimu
kesempatan yang baik. Jika kita menemukan sebaliknya maka janganlah engkau
mencela melainkan dirimu sendiri.”
Demikianlah
makna yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 4674) dari shahabat Abu Dzar al-Ghifari radiallahu anhu.
Setiap
orang boleh mengatakan bahawa semua yang ada di dunia ini merupakan pemberian
Allah Subhanahu wa ta’ala. Tahukah
anda apa rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu
wa ta’ala tersebut?
Ketahuilah bahawa kenikmatan yang berlimpah ruah
bukanlah tujuan diciptakannya manusia dan bukan pula sebagai wujud cinta Allah Subhanahu wa ta’ala kepada manusia
tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala
menciptakan manusia untuk sebuah kemuliaan baginya dan menjadikan segala nikmat
itu sebagai perantara untuk menyampaikan kepada kemuliaan tersebut. Tujuan itu
adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala saja, sebagaimana hal ini disebutkan dalam firman-Nya:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan
(ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mereka
menyembah dan beribadat kepadaKu”.
(Surah Adz-Dzaariyaat: 56)
Bagi
orang yang berakal akan berusaha mencari rahsia di balik pemberian Allah Subhanahu wa ta’ala yang berlimpah ruah
tersebut. Setelah dia menemukan jawabannya, iaitu untuk beribadah kepada-Nya
saja, maka dia akan mengetahui pula bahawa dunia bukan sebagai tujuan.
Sebagai bukti iaitu adanya kematian setelah
hidup ini dan adanya kehidupan setelah kematian diiringi dengan persidangan dan
pengadilan serta pembalasan dari Allah Subhanahu
wa ta’ala. Itulah kehidupan yang hakiki di akhirat nanti. Kesimpulan
seperti ini akan mengantarkan kepada:
1.
Dunia bukan tujuan hidup.
2. Kenikmatan yang ada padanya bukan
tujuan diciptakan manusia, akan tetapi sebagai perantara untuk suatu tujuan
yang mulia.
3. Semangat
beramal untuk tujuan hidup yang hakiki dan kekal.
Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan: “Ketahuilah
bahawa nikmat itu ada dua bentuk, nikmat yang menjadi tujuan dan nikmat yang
menjadi perantara menuju tujuan. Nikmat yang merupakan tujuan adalah
kebahagiaan akhirat dan nilainya akan kembali kepada empat perkara:-
Pertama: Kekekalan dan tidak ada kebinasaan
setelahnya,
Kedua: Kebahagian yang tidak ada duka
setelahnya,
Ketiga: Ilmu yang tidak ada kejahilan setelahnya;
Keempat: Kaya yang
tidak ada kefakiran setelahnya.
Semua
ini merupakan kebahagiaan yang hakiki. Adapun bahgian yang kedua (dari dua
jenis nikmat) adalah sebagai perantara menuju kebahagiaan yang disebutkan dan
ini ada empat perkara:
Pertama: Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan
akhlak yang baik.
Kedua: Keutamaan
pada badan seperti kekuatan dan kesihatan dan sebagainya.
Ketiga: Keutamaan
yang terkait dengan badan seperti harta, kedudukan, dan keluarga.
Keempat: Sebab-sebab yang menghimpun nikmat-nikmat tersebut
dengan segala keutamaan seperti hidayah, bimbingan, kebaikan, pertolongan, dan semua
nikmat ini adalah besar.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 282)
Untaian kata-kata
Indah dari Ibnu Qudamah:
“Ketahuilah bahawa
segala yang dicari oleh setiap orang adalah nikmat. Akan tetapi kenikmatan yang
hakiki adalah kebahagiaan di akhirat kelak dan segala nikmat selainnya akan
lenyap. Semua perkara yang disandarkan kepada kita ada empat macam:
Pertama: Sesuatu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat
seperti ilmu dan akhlak yang baik. Inilah kenikmatan yang hakiki.
Kedua: Sesuatu yang
memudaratkan di dunia dan di akhirat. Ini merupakan bala’ (kerugian) yang
hakiki.
Ketiga: Bermanfaat
di dunia akan tetapi memudaratkan di akhirat seperti berlezat-lezat dan
mengikuti hawa nafsu. Ini sesungguhnya bala bagi orang yang berakal, sekalipun
orang jahil menganggapnya nikmat. Seperti seseorang yang sedang lapar lalu
menemukan madu yang bercampur racun. Bila tidak mengetahuinya, dia menganggap
sebuah nikmat dan jika mengetahuinya dia menganggapnya sebagai malapetaka.
Keempat: Memudaratkan di dunia namun akan bermanfaat di
akhirat sebagai nikmat bagi orang yang berakal. Contohnya obat, bila dirasakan
sangat pahit dan pada akhirnya akan menyembuhkan (dengan seizin Allah Subhanahu wa ta’ala).
Syukur dalam Tinjauan
Bahasa dan Agama
Adapun
dalam tinjauan agama, syukur adalah: Nampaknya pengaruh nikmat Allah Subhanahu wa ta’ala atas seorang hamba
melalui lisannya dengan cara memuji dan mengakuinya; melalui hati dengan cara
meyakininya dan cinta; serta melalui anggota badan dengan penuh ketundukan dan
ketaatan. (Madarijus Salikin,
2/244)
Ada
juga yang mendefinisikan syukur dengan makna lain seperti:
1. Mengakui nikmat yang
diberikan dengan penuh ketundukan.
2. Memuji yang memberi nikmat
atas nikmat yang diberikannya.
3. Cinta hati kepada yang
memberi nikmat dan (tunduknya) anggota badan dengan ketaatan serta lisan dengan cara memuji dan menyanjungnya.
4. Menyaksikan kenikmatan dan
menjaga (diri dari) keharaman.
5. Mengetahui kelemahan diri
dari bersyukur.
6. Menyandarkan nikmat
tersebut kepada pemberinya dengan ketenangan.
7. Engkau melihat dirimu orang
yang tidak pantas untuk mendapatkan nikmat.
8. Mengikat nikmat yang ada
dan mencari nikmat yang tidak ada.
Masih
banyak lagi definisi para ulama tentang syukur, akan tetapi semuanya kembali
kepada penjelasan Ibnul Qayyim sebagaimana disebutkan di atas.
Yang jelas, syukur adalah sebuah istilah yang
digunakan pada pengakuan/ pengetahuan akan sebuah nikmat. Karena mengetahui
nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Dzat yang memberi nikmat. Oleh karena
itu Allah Subhanahu wa ta’ala
menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur`an dengan syukur. Dari sini diketahui
bahawa mengetahui sebuah nikmat merupakan rukun dari rukun-rukun syukur.
(Madarijus Salikin, 2/247)
Apabila
seorang hamba mengetahui sebuah nikmat maka dia akan mengetahui yang memberi nikmat.
Ketika seseorang mengetahui yang memberi nikmat tentu dia akan mencintai-Nya
dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmat-Nya. (Madarijus
Salikin, 2/247, secara ringkas)
Syukur tidak Sempurna melainkan dengan
mengetahui apa yang dicintai Allah Subhanahu
wa ta’ala Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan: “Ketahuilah
bahawa syukur dan tidak kufur tidak akan sempurna melainkan dengan mengetahui
segala apa yang dicintai oleh Allah Subhanahu
wa ta’ala. Sebab makna syukur adalah mempergunakan segala karunia Allah Subhanahu wa ta’ala kepada apa yang
dicintai-Nya, dan kufur nikmat adalah sebaliknya. Boleh juga dengan tidak
memanfaatkan nikmat tersebut atau mempergunakannya pada apa yang dimurkai-Nya.”
Makna Syukur
Syukur
memiliki tiga makna.
Pertama: Mengetahui kurniaan Allah
itu adalah nikmat kehidupan. Ertinya, seseorang itu telah benar-benar memahami,
memperakui dan memillihnya. Perkara ini akan tersemat di sanubari sebagaimana
wujud kenyataannya. Kerana ramai orang yang jika kita berbuat baik kepada
mereka, walhal mereka tidak mengetahui bahawa ianya perbuatan baik. Perkara ini
bukanlah gambaran rasa kesyukuran
Kedua: Menerima nikmat tersebut dengan sikap
memerlukannya. Dan nikmat itu sampai kepadanya bukan sebagai satu keharusan hak
baginya dari Allah Subhanahu wa ta’ala,
tanpa perlu membayar apa-apa harga. Bahkan dia melihat dirinya di hadapan Allah
seperti seorang tetamu yang tidak diundang.
Ketiga:
Memuji yang memberi nikmat. Dalam hal ini ada dua bentuk, iaitu umum dan
khusus. Pujian yang bersifat umum adalah menyifati pemberi nikmat dengan sifat
dermawan, kebaikan, luas pemberiannya, dan sebagainya. Pujian yang bersifat
khusus adalah menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukan bahawa nikmat
tersebut sampai kepada dia karena sebab Sang Pemberi tersebut. Sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
وَأَمَّا
بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Adapun
nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau sebut-sebutkan (dan zahirkan) sebagai
bersyukur kepadaNya.” (Surah Adh-Dhuha: 11) [Madarijus Salikin, 2/247-248]
Menceritakan Sebuah Nikmat Termasuk Syukur
Menceritakan
sebuah nikmat yang dia dapatkan kepada orang lain termasuk dalam kategori
syukur. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَلْيَجْزِ
بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَا يَجْزِي بِهِ فَلْيُثْنِ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى
عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ
كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ وَمَنْ تَحَلَّى
بِمَا لَمْ يُعْطَ كَانَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ
“Barangsiapa yang
diberikan kebaikan kepadanya hendaklah dia membalasnya dan jika dia tidak
mendapatkan sesuatu untuk membalasnya hendaklah dia memujinya. Karena jika dia
memujinya sungguh dia telah berterima kasih dan jika dia menyembunyikannya
sungguh dia telah kufur. Dan barangsiapa yang berhias dengan sesuatu yang dia
tidak diberi, sama halnya dengan orang yang memakai dua baju kedustaan.” (HR.
Abu Dawud no. 4179, At-Tirmidzi no. 1957 dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu
‘anhuma)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَأَمَّا
بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Adapun
nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau sebut-sebutkan (dan zahirkan) sebagai
bersyukur kepadaNya. (Surah Adh-Dhuha: 11)
Menceritakan nikmat yang diperintahkan di
dalam ayat ini ada dua pendapat di kalangan para ulama.
Pertama:
Menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukannya kepada orang lain saperti
dengan ucapan:
“Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku pelbagai nikmat yang tidak
terhitung banyaknya.”
Kedua:
Menceritakan nikmat yang dimaksud di dalam ayat ini adalah berdakwah di jalan
Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyampaikan risalah-Nya dan mengajarkan umat.
Dari kedua pendapat tersebut, Ibnul Qayyim
rahimahullahu dalam Madarijus Salikin
(2/249) mentarjih dengan perkataan beliau: “Yang benar, ayat ini mencakup kedua
makna tersebut. Kerana masing-masingnya adalah nikmat yang kita diperintahkan
untuk mensyukurinya, menceritakannya, dan menampakkannya sebagai wujud
kesyukuran.”
Beliau berkata: “Dalam sebuah atsar yang
lain dan marfu’ disebutkan:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلَ لَمْ يَشْكُرِ
الْكَثِيْرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ، وَالتَّحَدُّثُ
بِنِعْمَةِ اللهِ
شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ
رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit maka dia tidak akan
mensyukuri atas yang banyak dan barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada
manusia maka dia tidak bersyukur kepada Allah. Menceritakan sebuah nikmat (yang
didapati) kepada orang lain termasuk dari syukur dan meninggalkannya adalah
kufur, bersatu adalah rahmat dan bercerai berai adalah azab.” (HR. Ahmad dari
An-Nu’man bin Basyir) [Madarijus Salikin, 2/248]
Dengan
Apa Seorang Hamba Bersyukur?
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Syukur boleh dilakukan dengan hati,
lisan, dan anggota badan. Adapun dengan hati adalah berniat untuk melakukan
kebaikan dan menyembunyikannya pada khayalak ramai. Adapun dengan lisan adalah
menampakkan kesyukuran itu dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya, menampakkan keridhaan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan hal ini sangat
dituntut, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
التَّحَدُّثُ
بِالنِّعَمِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ
‘Menceritakan nikmat itu adalah wujud kesyukuran dan
meninggalkannya adalah wujud kekufuran.’
Adapun
dengan anggota badan adalah mempergunakan nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa ta’ala tersebut dalam
ketaatan kepada-Nya dan menjaga diri dari bermaksiat dengannya. Termasuk
kesyukuran terhadap nikmat kedua mata adalah dengan cara menutup setiap aib
yang dilihat pada seorang muslim. Dan termasuk kesyukuran atas nikmat kedua
telinga adalah menutup setiap aib yang didengar. Penampilan seperti ini
termasuk wujud kesyukuran terhadap anggota badan.” (Mukhtashar Minhajul
Qashidin hal. 277)
Ibnul
Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Syukur itu boleh dilakukan oleh hati dengan
tunduk dan kepasrahan, oleh lisan dengan mengakui nikmat tersebut, dan oleh
anggota badan dengan ketaatan dan penerimaan.” (Madarijus Salikin, 2/246)
Derajat Syukur
Syukur
memiliki tiga tingkatan:
Pertama: Bersyukur karena mendapatkan
apa yang disukai.
Tingkat
syukur ini boleh juga dilakukan orang Islam dan bukan Islam, seperti Yahudi dan
Nasrani, bahkan Majusi. Namun Ibnul Qayyim
rahimahullahu menjelaskan: “Jika engkau mengetahui hakikat syukur, dan di
antara hakikat syukur adalah menjadikan nikmat tersebut membantu dalam ketaatan
kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan
mencari redha-Nya, niscaya engkau akan mengetahui bahawa kaum musliminlah yang
pantas menyandang derajat syukur ini.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah menulis surat kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu: ‘Sesungguhnya
tingkatan kewajiban yang paling kecil atas orang yang diberi nikmat adalah
tidak menjadikan nikmat tersebut sebagai jembatan untuk bermaksiat
kepada-Nya’.” (Madarijus Salikin, 2/253)
Kedua: Mensyukuri sesuatu yang tidak disukai. Orang
yang melakukan jenis syukur ini adalah orang yang sikapnya sama dalam semua
keadaan, sebagai bukti keredhaannya.
Ibnul
Qayyim rahimahullahu menjelaskan:
“Bersyukur atas sesuatu yang tidak disukai lebih berat dan lebih sulit
dibandingkan mensyukuri yang disenangi. Oleh sebab itulah, syukur yang kedua
ini di atas jenis syukur yang pertama. Syukur jenis kedua ini tidak dilakukan
kecuali oleh salah satu dari dua jenis orang:
*
Seseorang yang semua keadaannya sama. Artinya, sikapnya sama terhadap yang
disukai dan tidak disukai, dan dia bersyukur atas semuanya sebagai bukti keredhaan
dirinya terhadap apa yang terjadi. Ini merupakan (gambaran) kedudukan redha.
* Seseorang yang dapat membezakan keadaannya. Dia tidak suka akan
sesuatu yang menyusahkan dan tidak redha bila ditimpa hal tersebut. Tetapi bila
sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa dirinya, dia tetap bersyukur.
Kesyukurannya itu dijadikan sebagai pemadam kemarahan, sebagai penutup keluh
kesah, dan untuk menjaga adap serta mencari ilmu. Kerana sesungguhnya adab dan
ilmu dapat membimbing seseorang untuk bersyukur di waktu senang mahupun susah.
Tentunya
yang pertama lebih tinggi dari yang kedua. (Madarijus Salikin, 2/254)
Ketiga: Seseorang seolah-olah tidak
menyaksikan kecuali Yang memberinya kenikmatan. Artinya, bila dia melihat yang
memberinya kenikmatan dalam rangka ibadah, dia akan menganggap besar nikmat
tersebut. Dan bila dia menyaksikan yang memberi kenikmatan kerana rasa cinta,
niscaya semua yang berat akan terasa manis baginya.
Manusia dan
Syukur
Kita
telah mengetahui bahawa syukur merupakan salah satu sifat yang terpuji dan
sifat yang dicintai oleh Allah Subhanahu
wa ta’ala. Akan tetapi tidak semua orang boleh mendapatkannya. Artinya, ada
yang diberi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala
dan ada pula yang tidak.
Manusia dan
syukur terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama: Orang yang mensyukuri nikmat yang diberikan
oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kedua: Orang yang menentang nikmat yang diberikan
alias kufur nikmat.
Ketiga: Orang yang berpura-pura syukur
padahal dia bukan orang yang bersyukur. Orang yang seperti ini dimisalkan
dengan orang yang berhias dengan sesuatu yang tidak dia tidak miliki.
(Madarijus Salikin, 2/48)
Dalil-dalil
tentang Syukur
وَاشْكُرُوا
لِلهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Bersyukurlah
kepada Allah, jika betul kamu hanya beribadat kepadanya.”
(Surah Al-Baqarah: 172)
فَاذْكُرُوْنِي
أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُوْنِ
“Oleh
itu ingatlah kamu kepadaKu (dengan mematuhi hukum dan undang-undangKu), supaya
Aku membalas kamu dengan kebaikan; dan bersyukurlah kamu kepadaKu dan janganlah
kamu kufur (akan nikmatKu).” (Surah Al-Baqarah: 152)
وَاعْبُدُوْهُ وَاشْكُرُوا
لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
“Dan
sembahlah akan Dia, serta bersyukurlah kepadaNya; (ingatlah), kepada Allah
jualah kamu akan dikembalikan. “ (Surah Al-’Ankabut: 17)
وَسَيَجْزِي اللهُ
الشَّاكِرِيْنَ
“Allah
akan memberi balasan pahala kepada orang-orang yang bersyukur (akan nikmat
Islam yang tidak ada bandingannya itu).” (Surah Ali ‘Imran: 144)
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي
لَشَدِيْدٌ
“Dan
(ingatlah) ketika Tuhan kamu memberitahu: "Demi sesungguhnya! Jika kamu
bersyukur nescaya Aku akan tambahi nikmatKu kepada kamu, dan demi sesungguhnya,
jika kamu kufur ingkar sesungguhnya azabKu amatlah keras".
(Surah Ibrahim: 7)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha ia berkata:
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى
تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ
تَصْنَعُ هَذَا يَا
رَسُوْلَ اللهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا
تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ
عَبْدًا شَكُوْرًا؟
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun di malam hari sampai
pecah-pecah kedua kaki beliau lalu ‘Aisyah berkata: ‘Ya Rasulullah, kenapa
engkau melakukan yang demikian, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang
telah lewat dan akan datang?’ Beliau menjawab: ‘Apakah aku tidak suka menjadi
hamba yang bersyukur?’” (HR. Al-Bukhari no 4660 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Masih
banyak dalil lain yang menjelaskan tentang keutamaan syukur dan anjuran dari
Allah Subhanahu wa ta’ala dan
Rasul-Nya. Semoga apa yang dibawakan di sini mewakili yang tidak disebutkan.
Ancaman bagi Orang-Orang yang Tidak Bersyukur
Yang tidak bersyukur lebih banyak dari yang bersyukur. Perkara ini
tidak boleh dinafikan oleh orang yang berfikiran bersih.
Sebagaimana
orang yang ingkar kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala lebih banyak dari yang beriman. Demikianlah keterangan Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam firman-Nya:
وَقَلِيْلٌ
مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
“ Dan
sememangnya sedikit
sekali di antara hamba-hambaKu yang bersyukur..” (Surah Saba`: 13)
Sebuah peringatan tentu akan bermanfaat
bagi orang yang beriman. Di mana Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah memperingatkan dari kufur nikmat setelah memerintahkan
untuk bersyukur dan menjelaskan keutamaan yang akan di dapatinya sebagaimana
penjelasan Al-Imam As-Sa’di rahimahullahu
dalam tafsir beliau: “Jika seseorang bersyukur niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabadikan
nikmat yang dia berada padanya dan menambahnya dengan nikmat yang lain.”
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ
إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhan
kamu memberitahu: "Demi sesungguhnya! Jika kamu bersyukur nescaya Aku akan
tambahi nikmatKu kepada kamu, dan demi sesungguhnya, jika kamu kufur ingkar
sesungguhnya azabKu amatlah keras". (Surah Ibrahim:
7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan: “Jika
kalian mengkufuri nikmat, menutup-nutupinya dan menentangnya maka (azab-Ku
sangat pedih) yaitu dengan dicabutnya nikmat tersebut dan siksa Allah Subhanahu
wa Ta’ala menimpanya dengan sebab kekufurannya. Dan disebutkan dalam sebuah
hadits: ‘Sesungguhnya seseorang diharamkan untuk mendapatkan rizki karena dosa
yang diperbuatnya’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/637)
Syukur dan Sabar
Kita
akan bertanya: “Jika engkau ditimpa sebuah musibah lalu engkau mensyukurinya,
maka tentu pada sikap kesyukuranmu terdapat sifat sabar dan sifat redha
terhadap musibah yang menimpa dirimu. Dan kita mengetahui bahwa redha merupakan
bahgian dari kesabaran. Sementara syukur merupakan buah dari sifat redha.”
Ibnul
Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Syukur termasuk kedudukan yang paling
tinggi dan lebih tinggi -bahkan jauh lebih tinggi- daripada kedudukan redha. Di
mana sifat redha masuk dalam syukur, kerana mustahil syukur ada tanpa redha.” (Madarijus
Salikin, 2/242)
Kenapa Kebanyakan Orang Tidak Bersyukur?
Ibnu
Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Makhluk
ini tidak mau mensyukuri nikmat kerana padanya ada dua (sifat) iaitu kejahilan
dan kelalaian. Kedua sifat ini menghalangi mereka untuk mengetahui nikmat. Kerana
tidak tergambar bahawa seseorang boleh bersyukur tanpa mengetahui nikmat
(sebuah pemberian). Jika pun mereka mengetahui nikmat, mereka menyangka bahawa
bersyukur itu hanya sebatas mengucapkan alhamdulillah atau syukrullah dengan
lisan. Mereka tidak mengetahui bahawa makna syukur adalah mempergunakan nikmat
pada jalan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Mukhtashar Minhajul
Qashidin hal. 288)
Kesimpulan
ucapan Ibnu Qudamah rahimahullahu
adalah bahawa manusia banyak tidak bersyukur kerana ada dua perkara yang
melandasinya iaitu kejahilan dan kelalaian.
Mengobati Kelalaian dari
Bersyukur
Ibnu
Qudamah rahimahullahu menjelaskan:
“Hati yang hidup akan menggali segala macam nikmat diberikan. Adapun hati yang
jahil (lalai) tidak akan menganggap sebuah nikmat sebagai nikmat kecuali setelah
bala’ menimpanya. Caranya, hendaklah dia terus memandang kepada yang lebih
rendah darinya dan berusaha berbuat apa yang telah dilakukan oleh orang-orang
terdahulu. Mendatangi tempat orang yang sedang sakit dan melihat berbagai macam
ujian yang sedang menimpa mereka, kemudian berpikir tentang nikmat sehat dan
keselamatan. Menyaksikan jenazah orang yang terbunuh, dipotong tangan mereka,
kaki-kaki mereka dan diazab, lalu dia bersyukur atas keselamatan dirinya dari
berbagai azab.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 290)
Wallahu
a’lam.
Catatan
kaki:
1 Demikianlah makna yang telah disabdakan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 4674) dari
shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu.
Alih Bahasa: HAR/Puteri
Eliza
BUAT RENUNGAN-SIFAT
MANUSIA OLEH HAR
Sudah
menjadi lumrah, sifat kebanyakan manusia, apabila diberinya nikmat, maka dia
menjadi orang yang sangat gembira lalu mula melupakan kepada Si Pemberi Nikmat
(Allah Subhanahu wa ta’ala). Ketika
di dalam kesempitan hidup di suatu ketika dahulu, dialah orang yang paling
kerap berdoa, merayu, merintih dan menangis memohon daripada Allah Subhanahu wa ta’ala agar diperkenankan
segala permintaannya.
Allah
Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ نَعْمَاء بَعْدَ ضَرَّاء
مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ ذَهَبَ السَّيِّئَاتُ عَنِّي إِنَّهُ لَفَرِحٌ فَخُورٌ
Dan
demi sesungguhnya! kalau Kami memberinya pula kesenangan sesudah ia menderita
kesusahan, tentulah ia akan berkata: "Telah hilang lenyaplah dariku segala
kesusahan yang menimpaku". Sesungguhnya ia (dengan kesenangannya itu)
riang gembira, lagi bermegah-megah (kepada orang ramai). (Surah Hud: 10)
Allah Subhanahu
wa ta’ala lagi berfirman:
وَإِذَا مَسَّ
الإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِداً أَوْ قَآئِماً فَلَمَّا
كَشَفْنَا عَنْهُ
ضُرَّهُ مَرَّ
كَأَن لَّمْ يَدْعُنَا إِلَى ضُرٍّ مَّسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا
كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan
apabila seseorang manusia ditimpa kesusahan, merayulah ia ditimpa Kami (dalam
segala keadaan), sama ada ia sedang berbaring atau duduk ataupun berdiri; dan
manakala Kami hapuskan kesusahan itu daripadanya, ia terus membawa cara lamanya
seolah-olah dia tidak pernah merayu kepada Kami memohon hapuskan sebarang
kesusahan yang menimpanya (sebagaimana ia memandang eloknya bawaan itu)
demikianlah diperelokkan pada pandangan orang-orang yang melampau apa yang
mereka lakukan”. (Surah Yunus: 12)
Firman
Allah Subhanahu wa ta’ala:
وَإِذَا مَسَّ
الْإِنسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيباً إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ
نِعْمَةً مِّنْهُ نَسِيَ مَا
كَانَ يَدْعُو
إِلَيْهِ مِن قَبْلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَندَاداً لِّيُضِلَّ عَن سَبِيلِهِ قُلْ
تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ
قَلِيلاً
إِنَّكَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Dan
apabila manusia disentuh oleh sesuatu bahaya, ia segera berdoa kepada Tuhannya
dengan keadaan rujuk kembali bertaubat kepadaNya; kemudian apabila Allah
memberikannya sesuatu nikmat (sebagai kurnia) daripadaNya, lupalah ia akan
segala bahaya yang menyebabkannya merayu kepada Allah sebelum itu dan ia pula
menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah, untuk menyesatkan dirinya (dan orang lain)
dari jalan Allah. Katakanlah (kepadanya): "Bersenang-senanglah engkau
dengan kekufuranmu itu bagi sementara, sesungguhnya engkau dari penduduk
neraka”. (Surah Az-Zumar: 8)
Allah Subhanahu
wa ta’ala memberi jaminan untuk tidak akan menurunkan azabNya selagi masih
ada dari kalangan hamba-hambaNya, orang yang mensyukuri nikmatNya.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ
يَرْزُقُكُم مِّنَ
السَّمَاءِ
وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ
“Wahai
umat manusia, kenangkanlah nikmat Allah yang telah dikurniakanNya kepada kamu;
tidak ada sama sekali yang menciptakan sesuatu selain daripada Allah; Ia
memberi rezeki kepada kamu dari langit dan bumi. Tiada Tuhan melainkan Dia,
maka mengapa kamu rela dipalingkan (dari menyembahnya)?” (Surah Faatir: 8)
Maka
jadilah orang yang tahu bersyukur akan nikmat-nikmat ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA dengan mentaati segala perintahNYA dan
janganlah menjadi orang yang kufur nikmat-nikmat ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA dengan menjauhi dari melanggar segala
laranganNYA.