Kesempurnaan Agama Islam
Penulis: Al Ustadz Muslim Abu Ishaq
Islam
sebagai satu-satunya agama yang dipilih oleh Allah Ta'ala sebagaimana
firman-Nya :
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ
"Sesungguhnya
agama (yang benar dan diredhai) di sisi Allah ialah Islam."
(Ali Imran :
19)
Merupakan kebenaran mutlak yang datang dari Allah Ta'ala dan tidak ada kebenaran selain Islam, maka siapa yang menginginkan selain Islam bererti dia memilih kebathilan dan dalam keadaan merugi.
Allah
Ta'ala berfirman :
أَفَغَيْرَ دِينِ اللّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي
السَّمَاوَاتِ
وَالأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
"Apakah selain agama Allah (Islam) yang
mereka inginkan, padahal hanya kepada Allah-lah berserah diri segala apa yang
ada di langit dan di bumi baik dengan tunduk (taat) maupun dipaksa dan hanya
kepada-Nya mereka dikembalikan." (Ali Imran : 83)
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ
وَهُوَ فِي
الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Dan siapa yang menginginkan selain Islam
sebagai agamanya maka tidak akan diterima darinya agama tersebut dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang merugi." (Ali Imran : 85).
Agama yang haq ini telah disempurnakan oleh Allah Ta'ala dalam segala segi,
segala yang diperlukan hamba untuk kehidupan dunia dan akhiratnya telah
dijelaskan, sehingga tidak luput satu percakapan melainkan Islam telah
mengaturnya.
Allah
Ta'ala berfirman :
الإِسْلاَمَ دِينًا أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْيَوْمَ
"Aku telah
sempurnakan bagimu agama kamu, dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan
Aku telah redhakan Islam itu menjadi agamamu."(Al Maidah :3)
Al
Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya berkata : "Ini merupakan nikmat Allah yang terbesar bagi ummat ini, dimana
Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka sehingga mereka tidak perlu
kepada selain agama Islam dan tidak perlu kepada Nabi selain Nabi mereka
shalawatullahi wasalaamu alaihi. Karena itulah Allah menjadikan Nabi ummat ini
(Muhammad shallallahu alahi wasallam, pent.) sebagai penutup para Nabi dan
Allah mengutusnya untuk kalangan manusia dan jin, maka tidak ada perkara yang
haram kecuali apa yang dia haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang dia
syariatkan. Segala sesuatu yang dia kabarkan adalah kebenaran dan kejujuran
tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada penyuluhan." (Tafsir Al
Quranul Adzim 3/14. Dar Al Ma'rifat).
Pernah
datang seorang Yahudi kepada Umar Ibnul Khattab Radhiyallahu 'anhu lalu ia
berkata : [ Wahai Amirul Mukminin! Seandainya ayat ini : "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan
telah Kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku redha Islam sebagai agama
kalian."... turun atas kami, nescaya kami akan jadikan hari turunnya
ayat tersebut sebagai hari raya. Maka Umar menjawab :
"Sesungguhnya aku tahu pada hari apa turun ayat
tersebut, ayat ini turun pada hari Arafah bertepatan dengan hari Jum'at." (Riwayat Bukhari
dalam Shahih-nya nomor 45,4407,4606).
Ayat
yang menunjukkan kesempurnaan Islam ini memang patut dibanggakan dan hari
turunnya patut dirayakan sebagai hari besar. Namun kita tidak perlu
membuat-buat hari raya baru kerana Allah menurunkannya tepat pada hari besar
yang dirayakan oleh seluruh kaum Muslimin, iaitu hari Arafah dan hari Jum'at.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan Allah Ta'ala kepada ummat ini telah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah dari Allah dengan sempurna. Maka tidaklah beliau shallallahu alaihi wasallam wafat melainkan beliau telah menjelaskan kepada ummatnya seluruh apa yang mereka perlukankan.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : "Sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam berkhutbah di hadapan kami dengan suatu khutbah yang beliau tidak meninggalkan sedikitpun perkara yang akan berlangsung sampai hari kiamat kecuali beliau sebutkan ilmunya ... ." (Shahih Bukhari nomor 6604).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan Allah Ta'ala kepada ummat ini telah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah dari Allah dengan sempurna. Maka tidaklah beliau shallallahu alaihi wasallam wafat melainkan beliau telah menjelaskan kepada ummatnya seluruh apa yang mereka perlukankan.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : "Sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam berkhutbah di hadapan kami dengan suatu khutbah yang beliau tidak meninggalkan sedikitpun perkara yang akan berlangsung sampai hari kiamat kecuali beliau sebutkan ilmunya ... ." (Shahih Bukhari nomor 6604).
Imam
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (juz 4 halaman 2217) dari Abu Zaid Amr bin
Akhthab radhiallahu 'anhu, ia berkata : "Rasullullah shallallahu alaihi
wasallam shalat Shubuh bersama kami.(Selesai shalat) beliau naik ke mimbar lalu
berkhutbah di hadapan kami hingga tiba waktu zuhur, beliau turun dari mimbar
dan shalat zuhur. Kemudian beliau naik lagi ke mimbar lalu berkhutbah di
hadapan kami hingga tiba waktu Ashar, kemudian beliau turun dari mimbar dan
shalat Ashar. (Setelah shalat Ashar) beliau naik ke mimbar lalu mengkhutbahi
kami hingga tenggelam matahari. Dalam khutbah tersebut beliau mengabarkan pada
kami apa yang telah berlangsung dan apa yang akan berlangsung ... ."
Bid'ah Adalah Kesesatan
Dengan kesempurnaan yang dimiliki, syariat Islam tidak lagi memerlukan penambahan,
pengurangan, ataupun perubahan, atau lebih ringkasnya perkara-perkara ini diistilahkan bid'ah dalam agama yang telah
diperingatkan dengan keras oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam
sabda beliau :
"Sesungguhnya
sebaik-baik ucapan adalah ucapan Allah dan sebaik-baik ajaran adalah ajaran
Rasulullah. Dan sesungguhnya seburuk-buruknya perkara adalah sesuatu yang
diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya sesuatu yang baru diada-adakan
(dalam agama) adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan." (HR. Muslim no. 867)
Mengapa Bid'ah Dan
Pembuatnya Dikatakan Sesat ?
Kerana, pertama, mungkin pembuat bid'ah itu menganggap ajaran agama ini belum sempurna hingga perlu penyempurnaan dari hasil pemikiran manusia. Dengan anggapan demikian berarti ia mendustakan firman Allah Ta'ala yang memberikan kesempurnaan agama ini.
Kedua, mungkin ia menganggap agama ini telah sempurna, namun ada perkara yang belum disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang bererti ia menuduh beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah berkhianat dalam penyampaian risalah. Padahal para shahabat seperti Abu Dzar radliyallahu anhu mempersaksikan : "Rasulullah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau menyebutkan ilmunya pada kami."
Kerana, pertama, mungkin pembuat bid'ah itu menganggap ajaran agama ini belum sempurna hingga perlu penyempurnaan dari hasil pemikiran manusia. Dengan anggapan demikian berarti ia mendustakan firman Allah Ta'ala yang memberikan kesempurnaan agama ini.
Kedua, mungkin ia menganggap agama ini telah sempurna, namun ada perkara yang belum disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang bererti ia menuduh beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah berkhianat dalam penyampaian risalah. Padahal para shahabat seperti Abu Dzar radliyallahu anhu mempersaksikan : "Rasulullah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau menyebutkan ilmunya pada kami."
Abu
Dzar kemudian berkata :
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : "Tidaklah tertinggal sesuatu yang dapat mendekatkan ke Shurga dan menjauhkan dari Neraka kecuali telah diterangkan pada kalian." (HR. Thabrani dalam Mu'jamul Kabir, lihat As Shahihah karya Syaikh Albani rahimahullah 4/416 dan hadits ini memiliki pendukung dari riwayat lain).
Imam Malik rahimahullah berkata : Barangsiapa yang mengada-adakan dalam Islam sesuatu kebid'ahan dan menganggapnya baik bererti ia telah menuduh Rasulullah telah berkhianat dalam menyampaikan risalah.
Karena Allah telah berfirman : "Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian." Maka apa yang waktu itu (pada masa Rasulullah dan para shahabat beliau) bukan bahagian dari agama, (maka) pada hari ini pun bukan bahagian dari agama." (Lihat Al I'tisham oleh Imam Syathibi halaman 37)
Ketiga, mungkin pembuat bid'ah itu menganggap dirinya lebih berilmu disbanding dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga dia tahu ada amalan baik yang tidak diketahui dan tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Apakah Teranggap Niat
Baik Seseorang Ketika Berbuat Bid'ah ?
Bagaimana bila ada orang yang berkata bahwa ia membuat-buat amalan bid'ah atau
mengerjakannya dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah ? Maka dijawab bahawa
syarat diterimanya suatu amalan tidaklah sekedar niat baik atau ikhlas, namun
juga harus bersama dengan Mutaba'ah Ar Rasul
(mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam), adakah contohnya dari
beliau atau tidak.
Ibnu
Katsir rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala (yang artinya) :
Beliau
rahimahullah berkata : [ Firman Allah : " ... hendaklah ia melakukan amal shalih
... ." Yang sesuai dengan syariat Allah. Dan firman-Nya : " ... dan
janganlah dia menyekutukan Rabb-nya dengan seorang pun dalam peribadatan
kepada-Nya." Yang diinginkan dalam beribadah tersebut adalah wajah Allah
saja tanpa menyekutukan-Nya. Dua rukun diterimanya amalan adalah (pertama)
harus dilakukan ikhlas karena Allah dan (kedua) amalan tersebut benar dan
sesuai dengan syariat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam." (Tafsir
Ibnu Katsir 3/114) ].
Terhadap
firman Allah Ta'ala :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ
أَحْسَنُ عَمَلًا
وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
"Dialah yang
menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kamu, siapakah diantara kamu
yang lebih amalnya;dan Ia Maha Kuasa lagi Maha Pengampun."
(QS. Al Mulk :
2)
Al
Fudlail bin Iyadl rahimahullah berkata :
"Amalan yang paling baik adalah amalan yang
paling ikhlas dan paling benar/tetap. Kerana amalan yang hanya disertai
keikhlasan namun tidak benar maka amalan itu tidak diterima. Dan sebaliknya,
bila amalan itu benar namun tidak dibarengi keikhlasan juga tidak akan diterima."
Pernah datang tiga orang shahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam ke rumah isteri-isteri
beliau guna menanyakan tentang ibadah beliau. Tatkala diberitahukan kepada
mereka, mereka menganggapnya kecil dan mereka berkata : "Apa kedudukan kita dibanding Nabi shallallahu alaihi wasallam,
beliau telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang belakangan." Berkata
salah seorang dari mereka : "Aku
akan shalat sepanjang malam tanpa tidur selamanya." Yang kedua berkata
: "Aku akan berpuasa sepanjang tahun
dan tidak akan berbuka." Yang terakhir berkata : "Aku akan menjauhi wanita maka aku tidak akan menikah
selamanya."
Lalu datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ucapan-ucapan mereka
disampaikan kepada beliau, maka beliau bersabda :
"Apakah kalian
yang mengatakan begini dan begitu ?! Ketahuilah! Demi Allah, aku adalah orang
yang paling takut kepada Allah dibanding kalian dan paling bertakwa kepada-Nya,
akan tetapi aku puasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku juga
menikahi wanita. Siapa yang benci (berpaling) terhadap sunnahku maka ia bukan
dari golonganku (orang-orang yang menjalankan sunnahku)." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Kalau kita lihat keberadaan tiga orang ini maka kita dapatkan niat mereka yang baik iaitu untuk bersungguh-sungguh melakukan ibadah kepada Allah, namun apakah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyetujui perbuatan mereka? Jawabannya dapat kita lihat dari pernyataan beliau shallahu "Alaihi Wa Sallam di-atas.
Kalau kita lihat keberadaan tiga orang ini maka kita dapatkan niat mereka yang baik iaitu untuk bersungguh-sungguh melakukan ibadah kepada Allah, namun apakah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyetujui perbuatan mereka? Jawabannya dapat kita lihat dari pernyataan beliau shallahu "Alaihi Wa Sallam di-atas.
Orang-orang yang mengadakan bid'ah itu walaupun niatnya baik tetap tertolak dengan dalil hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam :
"Siapa yang
mengada-adakan sesuatu amalan di dalam urusan (agama) kami ini dengan yang
bukan bagian dari agama ini maka amalan itu tertolak." (HR. Bukhari dan
Muslim dalam Shahih keduanya)
Dan beliau bersabda :
Dan beliau bersabda :
"Siapa yang
mengamalkan suatu amalan yang tidak ada
perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim).
perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim).
Adakah Bid'ah
Hasanah ?
Tidak ada dalam agama ini istilah pembagian bid'ah menjadi bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) dan bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang jelek) karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menegaskan : "Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka." (HR. Muslim dalam Shahih-nya, sedang tambahannya diriwayatkan dalam Sunan Nasa'i) Lalu bagaimana dengan ucapan Umar radhiallahu anhu ketika melihat pelaksanaan shalat tarawih secara berjama'ah : "Sebaik-baik bid'ah adalah perbuatan ini." (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya)
Maka kita katakan bahwa yang dimaukan oleh Umar dengan ucapannya tersebut adalah pengertian bid'ah secara bahasa, bukan secara syari'at, karena Umar mengucapkan perkataan demikian sehubungan dengan berkumpulnya manusia di bawah satu imam dalam pelaksanaan shalat tarawih, sementara shalat tarawih secara berjama'ah telah disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dimana beliau sempat mengerjakannya selama beberapa malam secara berjama'ah dengan para shahabatnya, kemudian beliau tinggalkan karena khawatir hal itu diwajibkan atas mereka. Sehingga setelah itu manusia mengerjakan tarawih secara sendiri-sendiri atau dengan jama'ah yang terpisah-pisah (berbilang/berkelompok-kelompok).
Lalu
pada masa pemerintahannya Umar radhiallahu 'anhu, Umar radhiallahu 'anhu
mengumpulkan mereka di bawah pimpinan satu imam sebagaimana pernah dilakukan di
zaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, karena wahyu telah berhenti turun dengan
meninggalnya beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan berarti tidak ada lagi
kekhawatiran diwajibkannya perkara tersebut.
Dengan
demikian Umar radhiallahu 'anhu menghidupkan kembali sunnah tarawih secara
berjama'ah dan ia mengembalikan sesuatu yang sempat terputus, maka teranggaplah
perbuatannya tersebut sebagai bid'ah dalam pengertian bahasa, bukan pengertian
syari'at, karena bid'ah yang syar'i hukumnya haram, tidak mungkin Umar
radhiallahu 'anhu ataupun selainnya dari kalangan shahabat melakukan hal
tersebut, sementara mereka tahu peringatan keras dari Nabi radhiallahu 'anhu
akan perbuatan bid'ah. (Dzahirut Tabdi’, halaman 43-44).
Adapun
di masa Abu Bakar radiallahu anhu, sunnah tarawih secara berjama'ah ini tidak
sempat dihidupkan karena khilafah beliau hanya sebentar dan ketika itu beliau
disibukkan dengan orang-orang yang murtad dan enggan membayar zakat, demikian
keterangan Imam Syathibi dalam kitabnya Al I'tisham, wallahu a'lam. Semoga
Allah merahmati shahabat Nabi, Abdullah Bin Umar radiallahu anhuma yang berkata
:
Hukum Membuat Bid'ah Dalam Agama
Hukum membuat bid'ah dalam agama adalah haram berdasarkan Al Qur'an, As Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama), karena membuat bid'ah berarti menetapkan syariat yang menyaingi syariat Allah, yang berarti menentang dan mengadakan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya. (Hurmatul Ibtida' fid Dien wa Kullu Bid'atin Dlalalah, Abu Bakar Jabir Al Jazairi, halaman 8)
Contoh Bid'ah Dalam
Hari Raya/Hari Besar Yang Disandarkan Kepada Islam
Dalam syariat agama yang mulia ini hanya dikenal adanya dua hari raya/ied, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Anas bin Malik radhiallahu 'anhu :
Nabi shallallahu alaihi wasallam datang ke Madinah dan ketika itu penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bisa bersenang-senang di dalamnya pada masa
jahiliyyah, maka beliau bersabda :
Dalam syariat agama yang mulia ini hanya dikenal adanya dua hari raya/ied, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Anas bin Malik radhiallahu 'anhu :
Nabi shallallahu alaihi wasallam datang ke Madinah dan ketika itu penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bisa bersenang-senang di dalamnya pada masa
jahiliyyah, maka beliau bersabda :
Iedul Adha dan Iedul Fitri lebih baik daripada dua hari raya yang dimiliki penduduk Madinah karena Iedul Adha dan Iedul Fitri ditetapkan dengan syariat Allah yang dipilih-Nya untuk hamba-Nya dan kedua hari raya tersebut mengiringi dua amalan besar dalam Islam yaitu haji dan puasa. Sedangkan hari Nairuz dan Mahrajan ditetapkan dengan pilihan manusia. (Ahkamul Iedain fis Sunnatil Muthahharah, halaman15-16)
Apabila kita telah mengetahui bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, maka selain dari dua hari raya ini adalah hari raya yang diada-adakan (bid'ah), kemudian dinisbahkan kepada agama.
Contohnya seperti :
- Isra' Mi'raj. Perayaan ini meniru perayaan Paskah (kenaikan Isa Al Masih) umat Nashrani, padahal kita dilarang meniru orang-orang kafir, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sendiri memperingatkan : "Siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk golongan kaum tersebut."
- Perayaan Nuzul Qur'an
- Perayaan tahun baru Islam 1 Muharram, yang meniru perayaan tahun baru Masehi.
- Maulid Nabi, yang meniru Nashrani dalam perayaan
- Dan lain-lain.
Bila
ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang mengadakan dan merayakan perayaan
seperti Maulid Nabi adalah karena cinta kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam
dan mengagungkan beliau, maka kita jawab bahwa para shahabat
Nabi shallallahu alaihi wasallam dan generasi terbaik setelah mereka (generasi Salafus Shalih) tidak pernah melakukan hal tersebut, padahal mereka adalah orang-orang yang tidak diragukan kecintaannya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan tidak disangsikan pengagungan mereka kepada beliau, serta mereka adalah orang-orang yang sangat bersemangat untuk melakukan amalan kebajikan. Seandainya perayaan Maulid itu baik, niscaya mereka adalah orang pertama yang melakukannya. Dan demikian yang kita katakan terhadap setiap amalan yang diada-adakan dalam agama ini. Seandainya amalan itu baik maka para pendahulu kita yang shalih tentunya telah mendahului kita dalam mengamalkannya.
Ketahuilah, pernyataan cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukan diwujudkan dengan mengadakan perayaan seperti Maulid, namun bukti cinta kepada beliau diwujudkan (dibuktikan) dengan mengikuti beliau, menaati, mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnahnya baik secara lahir maupun batin, menyebarkan dakwah beliau, berjihad untuk menegakkan dakwah baik dengan hati, lisan, maupun anggota badan. Inilah jalan yang ditempuh oleh As Sabiqunal Awwaluna dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Nabi shallallahu alaihi wasallam dan generasi terbaik setelah mereka (generasi Salafus Shalih) tidak pernah melakukan hal tersebut, padahal mereka adalah orang-orang yang tidak diragukan kecintaannya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan tidak disangsikan pengagungan mereka kepada beliau, serta mereka adalah orang-orang yang sangat bersemangat untuk melakukan amalan kebajikan. Seandainya perayaan Maulid itu baik, niscaya mereka adalah orang pertama yang melakukannya. Dan demikian yang kita katakan terhadap setiap amalan yang diada-adakan dalam agama ini. Seandainya amalan itu baik maka para pendahulu kita yang shalih tentunya telah mendahului kita dalam mengamalkannya.
Ketahuilah, pernyataan cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukan diwujudkan dengan mengadakan perayaan seperti Maulid, namun bukti cinta kepada beliau diwujudkan (dibuktikan) dengan mengikuti beliau, menaati, mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnahnya baik secara lahir maupun batin, menyebarkan dakwah beliau, berjihad untuk menegakkan dakwah baik dengan hati, lisan, maupun anggota badan. Inilah jalan yang ditempuh oleh As Sabiqunal Awwaluna dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Jalan Keluar dari
Kebid'ahan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan dalam banyak haditsnya jalan keluar dari kebid'ahan jauh sebelum terjadinya bid'ah. Beliau bersabda :
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan dalam banyak haditsnya jalan keluar dari kebid'ahan jauh sebelum terjadinya bid'ah. Beliau bersabda :
"Aku
tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalau kalian berpegang teguh
dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku selamanya, yaitu
Kitabullah dan Sunnahku." (HR. Hakim dan dishahihkan dalam Shahihul
Jami’ oleh Syaikh Albani rahimahullah)
Beliau juga menasehatkan :
Beliau juga menasehatkan :
"Aku wasiatkan kepada kalian untuk takwa kepada
Allah Azza wa Jalla, taat dan mendengar sekalipun kalian dipimpin oleh seorang
hamba sahaya karena siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku niscaya
dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka (ketika itu) wajib atas kalian
berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat
petunjuk setelahku. Gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dari
perkara-perkara yang baru karena setiap yang bid'ah itu sesat." (HR. Abu Daud dan
Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
Satu-satunya jalan menyelamatkan diri dari bid'ah adalah berpegang teguh pada dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam serta Petunjuk Salafus Shalih, pemahaman mereka, manhaj mereka, dan pengamalan mereka terhadap dua wahyu, karena mereka adalah orang yang paling besar cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, paling kuat ittiba'-nya, paling dalam ilmunya dan paling luas pemahamannya terhadap Al Qur'an dan As Sunnah.
Satu-satunya jalan menyelamatkan diri dari bid'ah adalah berpegang teguh pada dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam serta Petunjuk Salafus Shalih, pemahaman mereka, manhaj mereka, dan pengamalan mereka terhadap dua wahyu, karena mereka adalah orang yang paling besar cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, paling kuat ittiba'-nya, paling dalam ilmunya dan paling luas pemahamannya terhadap Al Qur'an dan As Sunnah.
Dengan
cara ini seorang Muslim akan mampu berpegang teguh dengan agamanya dan bebas
dari segala kotoran yang mencemari dan jauh dari semua kebid'ahan yang
menyesatkan. Dan jalan ini mudah bagi yang dimudahkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam bishawwab.
(Dinukil dari majalah Salafy, oleh Al Ustadz Muslim Abu Ishaq - murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi'y rahimahullah, Yaman)
Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam bishawwab.
(Dinukil dari majalah Salafy, oleh Al Ustadz Muslim Abu Ishaq - murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi'y rahimahullah, Yaman)
No comments:
Post a Comment