"Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan tiada aku termasuk di antara orang-orang yang musyrik" (QS Yusuf:108)

18 December, 2008

Hati-hati dari menyerupai kaum kafir

Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam syariat bahwa tidak boleh bagi orang muslim atau muslimah untuk bertasyabbuh (meniru) orang kafir baik dalam perkara ibadah, hari raya atau tasyabbuh dalam pakaian yang menjadi ciri-ciri khas mereka. Larangan bertasyabbuh adalah kaidah yang agung dalam syariat Islam -namun keadaan-nya- saat ini banyak kaum muslimin telah keluar dari kaidah ini –termasuk juga di kalangan orang-orang yang berkepentingan terhadap perkara agama dan dakwah. Hal ini disebabkan karena kejahilan mereka terhadap agama, karena mereka mengikuti hawa nafsu, atau mereka hanyut dengan model-model masa kini serta taklid (mengikuti tanpa ilmu) kepada masyarakat barat yang kafir. Sehingga keadaan ini termasuk menjadi penyebab kaum muslimin memiliki kedudukan yang rendah dan lemah serta berkuasanya orang asing terhadap mereka.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada sesuatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri." (Surah Ar-Ra'd: 11)

Seandainya kaum muslimin mengetahui. Hendaknya diketahui, dalil–dalil atas benarnya kaidah penting ini banyak terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Jika dalil-dalil dalam Al-Qur’an bersifat umum, maka As-Sunnah menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat tersebut. Di antara dalil dari: ayat Al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَلَقَدْ آتَيْنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
وَآتَيْنَاهُم بَيِّنَاتٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَمَا اخْتَلَفُوا إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمْ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

"Dan sesungguhnya, Kami telah memberi kepada Bani Israel Kitab Taurat, dan pangkat kehakiman serta pangkat kenabian; dan Kami telah kurniakan mereka rezeki yang baik-baik, serta Kami lebihkan mereka di atas orang yang ada pada zamannya. Dan Kami telah berikan mereka keterangan yang nyata mengenai perkara agama; maka mereka tidak berselisihan kecuali setelah sampai kepada mereka ilmu kerana kedengkian di kalangan mereka. Bahawa Tuhanmu akan menghukum di antara mereka pada hari kiamat apa yang mereka perselisihkan itu. Kemudian Kami jadikan kamu menjalankan Syariat dari hukum agama; maka turutlah ia, dan janganlah diturut hawa nafsu orang yang tidak mengetahui." (Surah Al-Jaathiyah: 16-18)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ayat ini dalam kitab Iqtidha hal. 8: “Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman bahwa Dia memberikan nikmat kepada Bani Israil dengan nikmat dien dan dunia. Bani Israil berselisih setelah datangnya ilmu akibat kedengkian sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas syariat dari urusan agama itu dan Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengikuti syariat tersebut. Serta Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang beliau untuk mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

Masuk dalam pengertian (orang-orang yang tidak mengetahui) adalah semua orang yang menyelisihi syariat Rasul. Yang dimaksud dengan ahwa-ahum adalah segala sesuatu yang menjadikan mereka cenderung kepada nafsu dan segala macam kebiasaan mereka yang nampak berupa jalan hidup mereka, yang merupakan konsekuensi/akibat dari agama mereka yang batil. Mereka cenderung kepada itu semua.

Kesusuaian mereka dalam hal ini bererti mengikuti hawa nafsu mereka. Karena inilah, orang-orang kafir sangat bergembira dengan perbuatan tasyabbuh (meniru) yang dilakukan kaum muslimin dalam sebahagian perkara mereka. Bahkan orang-orang kafir pun suka untuk mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan hasil ini. Seandainya perbuatan tersebut tidak dianggap mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa menyelisihi mereka dalam hal ini justru lebih mencegah terhadap perbuatan mengikuti hawa nafsu mereka dan lebih membantu untuk mendapatkan redha Allah ketika meninggalkan perbuatan tasyabbuh ini. Dan bahwa perbuatan meniru orang kafir dalam hal itu mungkin menjadi jalan untuk meniru mereka dalam perkara yang lain. Sesungguhnya (sebagaimana penggambaran dalam sebuah hadits) barangsiapa yang menggembala di sekitar daerah larangan maka dikhawatirkan dia akan terjatuh ke dalamnya. Maka apapun dari dua keadaan itu, nescaya akan terwujud tasyabbuh itu secara umum, walaupun keadaan yang pertama lebih jelas terlihat.”

Dalam bab ini Allah subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَفْرَحُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمِنَ الأَحْزَابِ مَن يُنكِرُ بَعْضَهُ قُلْ إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ

اللّهَ وَلا أُشْرِكَ بِهِ إِلَيْهِ أَدْعُو وَإِلَيْهِ مَآبِ وَكَذَلِكَ أَنزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ

مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ وَاقٍ

Dan orang yang telah Kami berikan Kitab, mereka bersukacita dengan apa yang Kami turunkan kepadamu, dan di antara beberapa kumpulan dari orang itu ada yang mengingkari sebahagiannya.

Katakanlah:
Sesungguhnya aku hanya diperintahkan supaya menyembah Allah, dan aku tidak pula menyekutukan-Nya dengan sesuatu; kepada-Nyalah aku menyeru dan kepada-Nyalah tempat kembaliku. Demikianlah Kami menurunkan Al-Qur'an sebagai hukum dalam bahasa Arab. Dan sesungguhnya jika kamu menurut kehendak hawa nafsu mereka sesudah datang wahi pengetahuan kepadamu, maka tiadalah engkau perolehi dari Allah sesuatu pun yang dapat mengawal dan memberi perlindungan kepadamu. (Surah Ar-Ra'd: 36.37)


Kata ganti ‘mereka’ (هُمْ) dalam kata hawa ‘nafsu mereka’ (أَهْوآءَهُمْ) kembali –wallahu a’lam– kepada yang disebutkan sebelumnya iaitu al-ahzab (kelompok-kelompok) iaitu orang-orang yang mengingkari sebagian Al-Kitab. Termasuk dalam pengertian ini adalah setiap orang yang mengingkari sesuatu dari Al Qur’an, baik (dilakukan oleh) Yahudi atau Nashrani atau selain keduanya.


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ...

"Dan sesungguhnya jika kamu menurut kehendak hawa nafsu mereka sesudah datang wahi pengetahuan kepadamu,"(Surah Ar-Ra'd: 37)


Mengikuti kaum kafir dalam perkara yang dikhususkan bagi agama mereka atau mengikuti agama mereka, termasuk mengikuti hawa nafsu mereka. Bahkan boleh jadi akan menyebabkan mengikuti hawa nafsu mereka dalam perkara lain, selain perkara agama.


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن

قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ

"Belum sampaikah lagi masanya bagi orang yang beriman, untuk khusyuk hati mereka mematuhi peringatan dan pengajaran Allah serta kebenaran (Al-Qur'an) yang diturunkan? Dan janganlah pula mereka menjadi seperti orang yang telah diberikan Kitab sebelum mereka, setelah orang itu melalui masa yang lanjut maka hati mereka menjadi keras, dan banyak di antaranya orang yang fasik derhaka. " (Surah Al-Hadiid: 16)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Iqtidha hal. 43 tentang ayat ini:
“Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (وَلاَ يَكُونُوا) ‘janganlah mereka menjadi’ adalah larangan mutlak untuk menyerupai orang kafir dan dalam ayat ini secara khusus juga terdapat larangan untuk menyerupai kerasnya hati mereka. Sedangkan kerasnya hati adalah buah dari maksiat.”Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini (4/310): “Karena inilah Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kaum mukminin menyerupai orang kafir dalam satu perkara, baik dalam perkara-perkara pokok ataupun cabangnya.”


Diantara larangan tasyabbuh Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقُولُواْ رَاعِنَا وَقُولُواْ انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ْوَلِلكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mengatakan: (raai'ina), sebaliknya katakanlah: (unzurna), dan dengarlah kamu; dan (ingatlah, bahawa orang kafir itu akan beroleh azab seksa yang tidak terperi sakitnya." (Surah Al-Baqarah: 104)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini (1/148):
“Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk meniru orang kafir dalam ucapan dan perbuatan mereka. Hal ini sesungguhnya kerana orang Yahudi dahulu menggunakan kata-kata yang mengandung tauriyah (tipuan) karena mereka bermaksud untuk merendahkan martabat kaum muslimin. Semoga Allah melaknati mereka. Maka jika mereka ingin mengatakan ‘dengarkan kami’, mereka justru mengatakan (raai’ina2) - "dengar kata kami" . Mereka maksudkan makna ru’unah dengan makna dungu (bodoh, tolol dan bebal) :

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:


مِّنَ الَّذِينَ هَادُواْ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا

لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِن

لَّعَنَهُمُ اللّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلاَ يُؤْمِنُونَ إِلاَّ قَلِيلاً

"Di antara orang Yahudi ada yang mengubah Kalamullah, dari tempat dan maksud sebenar, dan berkata: Kami dengar, tapi kami tidak akan menurut. (Mereka berkata): dengarlah, (sebenarnya) kamu tidak mendengar, dan (mereka berkata): Raa'ina; dengan memutar belit lidahnya dan mencela agama. Dan kalaulah mereka berkata: Kami dengar dan kami taat, dan dengarlah serta berilah perhatian kepada kami, tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih betul. Akan tetapi Allah melaknat mereka dengan sebab kekufuran mereka. Oleh itu, mereka tidak beriman kecuali sedikit sahaja." (Surah An-Nisaa': 46)

Demikian pula terdapat hadits-hadits yang memuat berita tentang Yahudi bahwa: jika memberikan salam, mereka mengatakan "As-samu ‘alaikum", padahal As-samu berarti Al-Maut. Maka dari itulah kita diperintahkan untuk membalas (salam) mereka dengan perkataan ‘alaikum. Doa kita ini dikabulkan atas mereka dan doa mereka atas kita tidak dikabulkan.

Maksudnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kaum mukminin untuk menyerupai orang kafir dalam perkataan dan perbuatan.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata tentang ayat ini dalam hal. 22 yang ringkasnya:
“Qatadah dan selainnya berkata: Yahudi mengatakan perkataan ini kepada Nabi sebagai istihza (olok-olok). Maka Allah melarang kaum mukminin untuk mengucapkan perkataan seperti mereka.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan:
“Yahudi mengatakan kepada Nabi "ra’ina sam’aka". Mereka (bermaksud) mengolok-olok dengan ucapan ini kerana di kalangan Yahudi perkataan ini adalah sebuah ejelekan. Ini menjelaskan bahwa kata-kata ini dilarang bagi kaum muslimin untuk mengucapkannya kerana orang Yahudi mengucapkannya, walaupun orang Yahudi bermaksud memburuk-burukkan dan kaum muslimin tidak bermaksud begitu. Kerana dalam hal itu terdapat kesamaan terhadap orang kafir dan memberi jalan bagi mereka untuk mencapai tujuan mereka.”


(INI LAH JALAN HIDUP MUDA-MUDI KAFIR)

Dalam bab ini terdapat beberapa ayat lain, namun apa yang kami sebutkan sudah mencukupi. Dari ayat-ayat sebelumnya telah jelas bahwa meninggalkan jalan hidup orang kafir dan tidak meniru mereka dalam perbuatan, ucapan, dan hawa nafsu mereka merupakan maksud dan tujuan syar'iat ini. Maksud dan tujuan syar'iat itu terdapat di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan hal dengan terperincinya untuk umat ini. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini juga dalam banyak perkara dari sudut atau cabang syar'iat. Sehingga Yahudi yang tinggal di Madinah sangat mengetahui hal ini, bahkan mereka merasa bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menyelisihi mereka dalam segala urusan yang menjadi ciri khas mereka. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu:

“Sesungguhnya pada Kaum Yahudi jika ada seorang wanita di antara mereka mengalami haidh, mereka tidak bersedia makan bersama wanita tersebut dan tidak berkumpul dengan wanita itu dalam rumah. Maka para shahabat bertanya kepada Nabi tentang hal ini, maka turunlah ayat Allah: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh. (Al-Baqarah: 222)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda menjawab pertanyaan para shahabat:

“Berbuatlah segala sesuatu kecuali nikah (maksudnya jima’, red).”

Kejadian ini sampai kepada orang-orang Yahudi, merekapun berkata:

“Laki-laki ini tidak membiarkan satu perkara pun dari perkara kita kecuali dia (pasti) menyelisihi kita dalam hal itu.”

Kemudian datanglah Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin Bisyr radhiallahu 'anhuma dan keduanya bertanya:

“Ya Rasulullah (Shallallahu), sesungguhnya Yahudi berkata begini dan begitu. Tidakkah 'alaihi wa sallam kita berjima’ saja dengan para wanita (untuk menyelisihi Yahudi)?”

Berubahlah wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga kami menyangka beliau marah kepada kedua-dua shahabat itu, sampai kedua-duanya keluar (dari rumah Rasulullah). Kemudian kedua-dua shahabat itu menerima hadiah berupa susu (yang ditujukan) kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian beliau menyusulkan hadiah tersebut kepada kedua-duanya. Lantas Nabi memberi mereka berdua minuman, maka (akhirnya) mereka berdua mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ternyata tidak marah kepada mereka.

Adapun dari As-Sunnah, maka nash-nash (dalil-dalil) tentang larangan tasyabbuh jumlahnya banyak, dan sesuai untuk menguatkan kaidah yang lalu. Nash-nash dalam As-Sunnah ini tidak terbatas dalam satu bab saja dari bermacam-macam bab dalam syar'iat yang suci, misalnya shalat. Namun nash-nash ini juga meliputi hal selainnya, berupa perkara-perkara ibadah, adab, kemasyarakatan, dan adat.

Syaikhul Islam dalam Iqtidha berkata:
“Hadits ini menunjukkan banyaknya perkara yang Allah syar'iatkan kepada Nabi-Nya untuk menyelisihi kaum Yahudi, bahkan dalam setiap perkara secara umum, hingga kaum Yahudi mengatakan: '‘Laki-laki ini tidak menginginkan untuk membiarkan satu perkarapun dari perkara kita kecuali dia menyelisihi kita dalam perkara itu’'.

Adapun hukum menyelisihi - sebagaimana yang akan dijelaskan- kadang-kadang terjadi pada hukum asalnya dan kadang-kadang dalam sifat hukumnya. Menjauhi wanita yang haidh (bagi kaum Yahudi) tidak diselisihi kaum muslimin pada asal hukumnya. Namun kaum muslimin menyelisihi dalam sifatnya dari sisi bahwa Allah mensyar'iatkan mendekati wanita haidh selain dari tempat haidhnya (kemaluan). Maka ketika sebahagian shahabat melampaui- batas dalam menyelisihi (Yahudi) sampai meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala syar'iatkan, berubahlah wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Bab ini termasuk dalam perkara thaharah di mana kaum Yahudi mempunyai ikatan yang besar di dalamnya. Adapun kaum Nashrani telah membuat bida’ah dengan meninggalkan hukum thaharah ini seluruhnya sehingga mereka tidak menganggap najis sesuatu pun tanpa syar'iat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan petunjuk kepada umat yang pertengahan ini (umat Islam) dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala syar'iatkan bagi umat ini berupa hukum yang pertengahan dalam hal ini, meskipun apa yang dulu ada pada orang Yahudi juga disyar'iatkan (untuk mereka). Maka menjauhi hal yang tidak disyar'iatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menjauhinya berarti mendekati (perbuatan) Yahudi, dan mengerjakan hal yang disyar'iatkan Allah untuk menjauhinya adalah mendekati (perbuatan) Nashara. Sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Dari Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma berkata: Sesiapa yang menyerupai satu satu kaum, maka dia telah tergolong (agama) kaum itu". (Hadis Riwayat Ahmad, Abu Daud dan at-Thabrani)

Hadis di atas ini dapat memberi keyakinan dan penerangan bahawa sesiapa yang meniru kaum-kaum jahiliyah yang terdiri dari kalanganYahudi, Nasrani atau Majusi sebagai contoh ikutan, sehingga mengenepikan amalan sunnah dan merubah hukum yang telah ditetapkan oleh agama Islam, atau tidak meyakini apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa-sallam atau tidak memperdulikannya, maka peniru tersebut ditakuti tergolong dalam golongan kafir yang ditiru. Oleh itu bertaubatlah kerana taubat meyelamatkan diri dari terus bersama mereka sehingga di akhirat.

Kesahihan hadis di atas dikuatkan lagi dengan hadis sahih di bawah ini:

اَبْغَضُ النَّاسِ اِلىَ اللهِ ثَلاَثَةٌ (وَمِنْهُمْ) مُبْتَغ فِى
اْلاِسْلاَمِ سُنَّة الْجَاهِلِيَّة. رواه البخارى

Tiga jenis manusia yang dibenci oleh Allah (antara mereka) ialah penganut Islam yang masih memilih (meniru) perbuatan jahiliyah". (Hadis Riwayat Bukhari)

Dalam sebuah hadis riwayat Ibn Umar, Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa-sallam telah bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوْتَ حَشَرَ مَعَهُمْ

Sesiapa yang meniru (menyerupai) seperti mereka (orang-orang bukan Islam) sehingga ia mati, maka ia telah termasuk dalam golongan mereka (sehingga ke akhirat)".

Sila kunjung dilaman web:

WALA' DAN BARA' DALAM ISLAM

http://d1.islamhouse.com/data/id/ih_books/single/id_elievers_and_disavowal.pdf

No comments: