Ketika
Orang Islam Telah Meniru Orang Kafir
Islam dengan konsep, aturan,
dan jalannya telah meletakkan jurang pemisah antara kekafiran dan keimanan,
kesyirikan dan ketauhidan, kebatilan dan kebenaran, kebid’ahan dan sunnah.
Jurang pemisah ini sesungguhnya menjadi ujian besar bagi manusia dalam hidup.
Maukah mereka tunduk pada aturan itu atau mereka lebih memilih kebebasan dari
semua tuntutan itu? Islam, sebagai agama yang telah disempurnakan, menjunjung
tinggi nilai-nilai ketinggian dan kesakralan (Kesucian), melindungi kehormatan,
darah, dan harta benda manusia. Islam sebagai agama yang penuh kasih sayang
mengajak orang-orang kafir untuk meninggalkan agama mereka dan masuk ke dalam
Islam. Islam pun mengobarkan (membangkit semangat) peperangan kepada siapa pun
yang menolak dan memeranginya. Jurang pemisah ini menjadi lampu merah bagi kaum
muslimin dan mukminin agar tidak meniru gaya hidup orang-orang kafir, musyrik,
dan ahlul batil.
أَلَمْ يَأْنِ
لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ
الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ
عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka).
Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab
kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka
menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang
fasik.” (al- Hadid: 16)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Kalimat: Dan jangan mereka seperti ahli kitab, ini adalah larangan
yang bersifat mutlak dalam hal meniru mereka. Ayat ini lebih khusus menekankan
larangan menyerupai mereka dalam hal kekerasan hati. Kerasnya hati adalah salah
satu buah kemaksiatan.” (Iqtidha’ ash-Shirathil
Mustaqim hlm. 81)
Berita yang Pasti, Umat Ini
Pasti Meniru Mereka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah
memberitakan:
لَتَتَّبِعُنَّ
سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ
سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh,
kalian akan mengikuti langkah orang-orang sebelum kalian sejengkal demi
sejengkal, dan sehasta demi sehasta. Kalaupun mereka menempuh jalur
lubang dhabb (binatang sejenis
biawak), niscaya kalian akan menempuhnya.” Kami mengatakan, “Ya
Rasulullah, apakah jalan orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab,
“Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. al-Bukhari
no. 3197 dan Muslim no. 4822 dari sahabat Abu
Sa’id al- Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Di dalam riwayat hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ
الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ. فَقِيلَ: يَا
رَسُولَ اللهِ، كَفَارِسَ وَالرُّومِ, فَقَالَ: وَمَنِّ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
“Tidak
akan terjadi hari kiamat, hingga umatku mengambil langkah generasi sebelumnya
sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta.” Lalu dikatakan kepada
beliau, “Ya Rasulullah, apakah bangsa Persi dan Romawi?” Beliau bersabda,
“Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR.
al-Bukhari no. 6774)
Berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ini sesungguhnya sebagai pemberitahuan akan terjadinya sikap meniru orang kafir dalam semua lini kehidupan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Berita ini
menggambarkan sebuah kenyataan yang akan terjadi sekaligus sebagai celaan atas orang yang mengerjakannya. Beliau pun memberitakan apa yang akan dilakukan oleh manusia mendekati hari kiamat, berupa tanda-tanda kedatangannya berikut segala
perkara yang diharamkan. Maka dari itu,
diketahui bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam mencela umat ini apabila menyerupai Yahudi, Nasrani, Persi, dan Romawi. Inilah faedah yang dicari.” (Iqtidha’ ash-Shirathil
Mustaqim hlm. 44)
Allah Subhanahu wa ta’ala telah melarang keras kaum muslimin meniru mereka, sebagaimana firman-Nya:
وَلَا
تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ : مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا
شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Dan janganlah kalian seperti orang
musyrik. Orang-orang yang telah memecah belah agama mereka sehingga mereka
berkeping-keping dan setiap kelompok menyombongkan diri atas yang lain.” (Ar-Rum: 31—32)
Bahkan,
Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan
kita untuk berdoa agar tidak termasuk golongan mereka dalam banyak ayat. Di
antaranya:
اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ : صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami ke jalan Engkau yang
lurus. Jalan orang-orang yang Engkau telah beri nikmat atas mereka dan bukan
jalan orang-orang yang Engkau murkai dan sesatkan.” (al- Fatihah: 6—7)
Suri Teladan
dari Dua Khalilullah:
Teladan hidup, sungguh
sangat diperlukan setiap saat, lebih-lebih ketika dilanda krisis keteladanan.
Tentu saja teladan yang tidak mengecewakan kita. Tentu pula teladan itu adalah
orang-orang yang terdidik, suci dan bersih, terbaik, terhormat, orang yang
jujur, amanah, bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala,
taat beribadah kepada Allah Subhanahu w ata’ala,
serta memiliki sifat-sifat mulia dan agung lainnya. Apakah ada pendidikan yang
lebih tinggi daripada pendidikan Allah Subhanahu wa ta’ala melalui
wahyu-Nya? Adakah orang yang lebih baik dari utusan dan kepercayaan
Allah Subhanahu wa ta’ala dalam hal
mengemban (melaksanakan tugas) amanat risalah-Nya? Adakah yang paling lurus hidupnya daripada
orang yang telah didekatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada-Nya?
Adakah orang yang lebih selamat daripada seseorang yang telah dipilih oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
menapaki (menjejaki) jalan-Nya sekaligus sebagai imam dalam hal ini? Adakah
yang lebih jujur, amanah, dan lebih takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala selain para Nabi dan Rasul?
Tentu kita akan memberikan jawaban, “Tidak ada.
Oleh karena itu,
dalam al-Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala sering
menampilkan sosok manusia yang bisa dijadikan teladan di dalam hidup, teladan
yang tidak akan mengecewakan. Mereka adalah orang-orang yang telah teruji dalam
segala kondisi. Mereka telah berjuang dengan segala kemampuan, siang dan malam,
tanpa mengenal lelah dan patah semangat. Mereka telah berkorban dengan segala
yang dimilikinya, tanpa mengharapkan imbalan dari manusia sedikit pun. Mereka
hanya mengejar ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
mengutus mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan sosok Nabi Nuh,
Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad, dan nabi-nabi yang lain.
As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Tidaklah setiap orang
boleh menjadikan mereka teladan. Yang mendapatkan kemudahan untuk meneladani
mereka adalah orang yang mengharapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ganjaran pada hari
akhirat. Keimanan dan harapan akan pahala akan memudahkan setiap hamba
menghadapi segala kesulitan dan mengurangi beban hidup yang banyak. Selain itu,
keimanan akan mendorong untuk meneladani hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang saleh, para nabi dan
rasul. Dia pun akan melihat dirinya sangat memerlukannya.” (Tafsir as-Sa’di hlm.
794)
Dalam bersikap
terhadap orang kafir, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menceritakan di dalam al-Qur’an sikap dua khalil-Nya agar kita
meneladani mereka berdua.
قَدْ كَانَتْ
لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا
لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ
كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ
أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya
telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Sesungguhnya Kami
berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Kami
ingkari (kekafiran)mu serta telah nyata antara Kami dengan kalian permusuhan
dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah: 4)
قُلْ يَا
أَيُّهَا الْكَافِرُونَ {} لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ {} وَلَا أَنتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ {} وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ {}
وَلَا أَنتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ {} لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah,
“Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Ilah (sesembahan) yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah
Ilah yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku.” (Al-Kafirun: 1—6)
Karena
Kebodohan, Meniru Mereka
Kebodohan adalah penyakit
kronis, bagaikan tong sampah yang akan menampung segala kotoran dan najis.
Tidaklah mengherankan jika mereka diumpamakan bagai orang-orang yang tuli lagi
buta. Apa yang boleh dilakukan dan apa yang boleh diperbuat? Tidaklah
mengherankan jika di hadapan orang-orang jahil, yang benar menjadi salah dan
yang salah menjadi benar, yang haq menjadi batil dan yang batil menjadi haq.
Tidak pula mengherankan pula jika kaum muslimin meniru orang-orang kafir dalam
semua lini kehidupan. Mulai dari perkara yang kecil sampai kepada yang besar,
mulai dari masalah pakaian sampai kepada masalah keyakinan dan ibadah. Bahkan,
kebodohan ini sering mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan buat orang lain.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bercerita dalam
hadits yang dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dan
Muslim rahimahullahdari sahabat Abu Sa’id al- Khudri radhiyallahu ‘anhu tentang seseorang yang telah
membunuh 99 jiwa. Karena kejahilannya tentang pintu tobat, dia mencari
seseorang yang akan boleh membimbing dirinya keluar dari lumuran dosa tersebut.
Bertemulah dia dengan seorang pendeta. Ia pun mengutarakan hajatnya dan
menceritakan dosa yang telah diperbuatnya. Dengan kejahilan, sang pendeta
memberitahukan bahwa pintu tobat sudah tertutup baginya. Dengan spontan, jiwa
sang pendeta melayang di tangannya, sekaligus menggenapkan bilangan yang
ganjil, dari 99 menjadi 100. Sungguh karena ketidaktahuan itu, telah terenggut
nyawa seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mengetahui hal itu, beliau marah dengan kemarahan yang sangat. Abdullah ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu bercerita tentang peristiwa
tersebut:
: أَصَابَ رَجُلاً
جُرْحٌ فِي عَهْدِ رَسُولُ اللهِ احْتَلَمَ، فَأُمِرَ بِالْاِغْتِسَالِ،
فَاغْتَسَلَ، فَمَاتَ، فَبَلَغَ فَقَالَ: مَّ
قَتَلُوهُ؛
قَاتَلَهُمُ اللهُ، ذَلِكَ رَسُولَ اللهِ
أَلَمْ يَكُنْ شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالَ
“Di
masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ada seseorang terluka, lalu dia
bermimpi (janabah). Kemudian dia diperintahkan untuk mandi lantas dia pun
mandi. Karena itu, dia meninggal dunia. Sampailah berita tersebut kepada
Rasulullah lalu beliau bersabda, ‘Mereka telah membunuhnya dan semoga
Allah Subhanahu
wa Ta’ala memerangi mereka. Bukankah obat
tidak tahu itu adalah bertanya?” (HR. Abu Dawud no. 285)
Asy – Syaikh al –
Albani rahimahullah mengatakan, “Haditsnya hasan dan
diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban rahimahumallah dalam Shahih keduanya.” (Lihat Shahih Sunan Abu Daud no. 365)
Hukum Meniru
Orang Kafir
Saudaraku,
kita masih mengingat pembahasan al-wala’ dan al-bara’ dalam hukum agama dalam Asy-Syari’ah Vol. Vl/No. 68/1432
H/2011. Tergambar di dalamnya bentuk-bentuk loyalitas seorang
muslim terhadap orangorang kafir. Ternyata, tidak hanya dalam hal ideologi
semata, tetapi dalam hal muamalah dengan mereka yang keluar dari tuntunan
agama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika
membawakan hadits:
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang
siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk dari mereka.”
Setelah menjelaskan keadaan
para perawi haditsnya, beliau mengatakan, “Hukum yang paling ringan (dalam meniru orang kafir) di dalam hadits ini adalah keharaman, walaupun lahiriah haditsnya menunjukkan kafirnya orang yang menyerupai mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
وَمَن
يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ
“Barang
siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka.” (al-Maidah: 51)
Ini bermakna ucapan Abdullah
bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, “Barang siapa tinggal di negeri
kaum musyrikin dan melakukan hari ulang tahun mereka, pesta besar mereka, dan
meniru mereka sampai meninggal dunia, dia akan dibangkitkan bersama mereka pada
hari kiamat.” Kadang-kadang, hal ini dibawa kepada hukum tasyabuh yang bersifat
mutlak, iaitu tasyabuh yang menyebabkan seseorang kafir dan sebagiannya
mengandung hukum haram. Boleh juga dibawa pada makna bahwa dia seperti mereka
sebatas apa yang dia tiru. Jika yang dia tiru itu dalam hal kekafiran (dia
menjadi kafir, -pen.), dan jika maksiat, (ia telah bermaksiat). Jika dalam hal
syiar kekufuran mereka atau syiar kemaksiatan mereka, hukumnya semisal itu.”
(Lihat al-Iqtidha hlm. 82—83)
Kita juga telah mengetahui
bahwa hukum-hukum dalam agama tidak keluar dari lima perkara. Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan,
“Hukum-hukum yang terkait dengan ubudiyah itu ada lima, iaitu wajib, mustahab,
haram, makruh, dan mubah.” (Madarijus Salikin 1/109)
Telah dijelaskan di atas tentang haramnya meniru orang kafir secara mutlak.
Namun, ada pembolehan, yakni jika hal yang akan kita tiru tersebut tidak ada
sangkut pautnya dengan urusan agama dan keyakinan, serta tidak ada kaitannya
dengan ciri khas dan adat istiadat mereka. Hal itu bukan perilaku dan kebiasaan
mereka, melainkan sebatas ursan dunia yang tidak ada keharaman padanya. Yang
seperti ini dibolehkan. Misalnya, orang-orang kafir boleh membuat motosikal,
kereta, pesawat, atau peranti teknologi lain yang hukumnya secara zat tidak
haram, lalu kaum muslimin menirunya. Perkara ini tidak mengapa.
Akibat Meniru
Mereka
Tidaklah tersembunyi bagi
setiap muslim bahwa orang-orang kafir itu adalah musuh Allah Subhanahu wa ta’ala, para rasul, dan kaum mukminin.
Mereka adalah manusia yang telah menyandang predikat-predikat yang buruk,
jelek, dan keji dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Mereka adalah manusia yang berada dalam taraf makhluk yang paling rendah, hina,
tercela, terburuk, dan terkutuk, yang binatang ternak yang tidak berakal lebih
baik dari mereka.
أُولَٰئِكَ
كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Mereka
bagaikan binatang ternak, bahkan lebih jelek dari itu. Mereka itulah orang-orang
yang lalai.” (al-A’raf: 179)
إِنْ هُمْ
إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلً
“Tiadalah mereka itu melainkan seperti binatang ternak dan
bahkan mereka lebih jelek jalannya.” (al-Furqan: 44)
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ
الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً
خَاسِئِينَ
“Sesungguhnya
telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu
Kami berfirman kepada mereka, ‘Jadilah kamu kera yang hina’.” (al-Baqarah: 65)
فَلَمَّا عَتَوْا عَن
مَّا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
Tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka
dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, “Jadilah kamu kera yang
hina.” (al-A’raf: 166)
قُلْ هَلْ
أُنَبِّئُكُم بِشَرٍّ مِّن ذَٰلِكَ مَثُوبَةً عِندَ اللَّهِ ۚ مَن لَّعَنَهُ
اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ
وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ ۚ أُولَٰئِكَ شَرٌّ مَّكَانًا وَأَضَلُّ عَن سَوَاءِ
السَّبِيلِ
Katakanlah, “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orangorang
yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah,
yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang
dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?” Mereka itu lebih
buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (al-Maidah: 60)
Kerendahan
dan kehinaan hidup— walaupun mereka orang yang paling kaya, paling tinggi kedudukan
dan pangkatnya, dan boleh jadi paling kuat— adalah setem yang tidak akan
berubah, cap yang terus melekat, tidak akan hilang dan sirna. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghancurkan dan
membinasakan mereka ketika mereka menantang kekuasaan Allah Subhanahu w Ta’ala, iaitu saat mereka menolak dan
ingkar terhadap syariat yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah mempersiapkan pintu
kehancuran dan kebinasaan untuk mereka, di dunia dan di akhirat. Setelah ini
semua, pantaskah seseorang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, para rasul-Nya, dan hari kiamat,
meneladani, meniru, dan mencontoh mereka? Adakah akal dan hati jika seorang
yang beriman meniru gaya hidup binatang yang tidak berakal, bahkan lebih jelek
dari binatang ternak? Adakah pintu bagi orang-orang beriman untuk masuk lalu
hidup bermesraan bersama orang-orang yang rendah, hina, jelek, keji, dan
terkutuk? Pantaskah orang-orang yang beriman mengangkat orang yang divonis
(dihukum) sebagai musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Rasul-Nya, dan mereka sendiri sebagai figur hidupnya? Jika ada orang yang
mengaku beriman meniru mereka, ini berarti sebuah keputusan hidup yang akan
melemparkan dirinya ke jurang kehancuran dan kebinasaan, sebagaimana hancur dan
binasanya mereka.
Wallahu
a’lam bish-shawab.
Dituliskan oleh: Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
Posted oleh: HAR
No comments:
Post a Comment