"Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan tiada aku termasuk di antara orang-orang yang musyrik" (QS Yusuf:108)

01 December, 2014

Ash Shidq, Akhlaq yang akan Mengantarkan Kita ke Surga
Oleh: Abu Umar Al Bankawy


Di dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنَّ الصِّدقَ يَهْدِي إِلَى البرِّ ، وإنَّ البر يَهدِي إِلَى الجَنَّةِ ، وإنَّ الرَّجُلَ لَيَصدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقاً . وَإِنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الفُجُورِ ، وَإِنَّ الفُجُورَ يَهدِي إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكتَبَ عِنْدَ الله كَذَّاباً

“Sesungguhnya ash shidq (kejujuran) itu menunjukkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan ke surga dan sesungguhnya seorang bermaksud untuk jujur  sehingga dicatatlah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu menunjukkan kepada kejahatan dan sesungguhnya kejahatan itu menunjukkan kepada neraka. Sesungguhnya seorang itu bermaksud untuk berdusta sehingga dicatatlah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai seorang yang suka berdusta.” (Muttafaq ‘alaih)

Di dalam hadits ini terdapat perintah kepada kita untuk senantiasa berbuat ash shidq. Ash shidq artinya sesuainya berita yang disampaikan dengan kenyataan yang terjadi. Sebagai contoh, misalnya sekarang hari Ahad, lalu Anda ditanya hari apa ini? Kalau Anda menjawab hari Ahad bererti anda telah berucap dengan shidq (jujur) kerana memang sesuai dengan kenyataan. Tapi bila Anda jawab hari isnen, maka ini disebut dusta.

Di banyak ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kepada kita keutamaan Ash shidq. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Hai sekalian orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau semua bersama-sama dengan para shiddiqin (orang-orang yang jujur perilakunya).” 
(At Taubah: 119)

فَلَوْ صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْراً لَهُمْ

Dan andaikata mereka itu bersikap benar terhadap Allah, pastilah hal itu amat baik untuk mereka sendiri.” (Muhammad: 21)

وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Az Zumar: 33)

Macam-macam Sikap Shidq

Para ulama membagi ash shidq menjadi dua:

1. Shidq (jujur) dalam Ucapan

Yakni ketika seseorang ucapannya sesuai dengan apa yang ada di hatinya. Seperti orang yang mengatakan bahawa saya beriman dan memang di hatinya dia beriman maka dia pun telah jujur dalam ucapannya. Sebaliknya ketika dia mengucapkan bahawa dirinya beriman, tapi di hatinya justru kufur maka ini tidak lah disebut sebagai orang yang shadiq, orang yang jujur. Dari sini kita ketahui bahawa orang-orang yang munafiq bukanlah orang-orang yang beriman, kerana ucapan mereka menyelisihi apa yang ada di hati mereka.

2. Shidq (jujur) dalam Perbuatan

Yakni ketika perbuatan seseorang sesuai dengan apa yang ada di hatinya. Orang yang berbuat riya’ tidaklah disebut sebagai shadiq. Ini kerana secara lahirnya mereka memang nampak sebagai seorang yang rajin beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tapi di dalam batinnya tidaklah demikian. Ibadah yang mereka lakukan semata-mata agar dilihat oleh manusia. Demikian juga para pelaku kebid’ahan. Mereka tidaklah disebut sebagai shadiq. Kerana secara lahirnya mereka menunjukkan kecintaan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan tetapi batinnya tidaklah demikian.

Pentingnya Ash shidq dalam Mua’amalah

Ash shidq dalam muamalah adalah seorang senantiasa berucap dan bersikap jujur ketika dia berhubungan dengan sesama manusia. Di dalam keluarga, ketika bekerja, berhubungan sosial dengan yang lain seorang muslim harus menunjukkan ash shidq agar dia memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat.

Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,

إنَّ الصِّدقَ يَهْدِي إِلَى البرِّ ، وإنَّ البر يَهدِي إِلَى الجَنَّةِ

Sesungguhnya kejujuran itu menunjukkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan kepada surga.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Beliau juga mengatakan bahawa

البَيِّعَانِ بالخِيَار مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإنْ صَدَقا وَبيَّنَا بُوركَ لَهُمَا في بيعِهمَا ، وإنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بركَةُ بَيعِهِما

“Dua orang yang berjual-beli itu dengan kebebasan (boleh meneruskan jual-belinya atau membatalkannya) selama keduanya itu belum berpisah. Apabila keduanya itu jujur dan menerangkan (kekurangan barang yang diperjualbelikan), maka diberi berkahlah jual-beli keduanya, tetapi jikalau keduanya itu menyembunyikan (kekurangan barang yang diperjualbelikan) dan sama-sama berdusta, maka dileburlah keberkahan jual-beli keduanya itu.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Berdusta untuk Bercanda

Termasuk kedustaan adalah apa yang dilakukan banyak orang di zaman kita, yakni berdusta dengan maksud untuk melucu atau bercanda. Dia berdusta agar orang lain yang mendengarnya tertawa. Perkara ini adalah perkara yang dilarang di dalam agama.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Celakalah orang yang berkata dusta agar orang-orang tertawa! Celakalah dia! Celakalah dia!” (HR. Abu Daud no. 4990, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Dusta yang Diperbolehkan

Sebagaimana hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di atas, seluruh kedustaan hukumnya haram dan semuanya akan mengantarkan kepada perbuatan fujur (jahat).

Dikecualikan di sini tiga perkara sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam

لَيْسَ الكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيراً ، أَوْ يقُولُ خَيْراً . وفي رواية مسلم زيادة ، قَالَتْ : وَلَمْ أسْمَعْهُ يُرْخِّصُ في شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُهُ النَّاسُ إلاَّ في ثَلاثٍ ، تَعْنِي : الحَرْبَ ، وَالإِصْلاَحَ بَيْنَ النَّاسِ ، وَحَدِيثَ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ ، وَحَدِيثَ المَرْأةِ زَوْجَهَا

“Bukannya termasuk pendusta orang yang mendamaikan antara para manusia, lalu ia menyampaikan berita yang baik atau mengatakan sesuatu yang baik.”

Dalam riwayat Muslim disebutkan tambahannya bahwa Ummu Kultsum berkata,
“Saya tidak pernah mendengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang dibolehkannya berdusta dari ucapan-ucapan yang diucapkan oleh para manusia itu, melainkan dalam tiga hal yaitu di dalam peperangan, mendamaikan antara para manusia dan perkataan seorang suami kepada isterinya serta perkataan isteri kepada suaminya (perkataan yang dapat memperbaiki hubungan rumah tangga).”

Namun para ulama menjelaskan bahawa yang dimaksud dengan kedustaan di dalam hadits ini bukanlah kedustaan murni, tapi kedustaan yang merupakan tauriyah. Tauriyah adalah seseorang mengucapkan sesuatu yang menyelisihi niat di hatinya. Ketika dia mengucapkan hal tersebut, si pendengar akan memahami berbeza dengan apa yang diinginkan oleh orang yang berucap.

Contoh tauriyah adalah apa yang dikisahkan di dalam Ash Shahih tentang ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam ketika isteri beliau ingin diambil oleh raja yang zhalim. Beliau mengatakan “Ini saudariku” agar raja tersebut tidak mengambil isteri beliau. Yang beliau maksud dengan saudari di sini adalah saudari fillah, saudari seagama, namun yang akan difahami oleh orang lain bahawa saudari di sini adalah saudari kandung.

Demikian penjelasan tentang beberapa perkara yang berkaitan dengan ash shidq (kejujuran),semoga boleh bermanfaat dan Allah Subhanahu waTa’ala menjadikan diri kita sebagai orang-orang yang memiliki sifat ash shidq.

Kejujuran

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ

Kamu harus selalu jujur, maka sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan…”

Jujur dalam erti sempit adalah sesuainya ucapan lisan dengan kenyataan. Dan dalam pengertian yang lebih umum adalah sesuainya lahir dan batin. Maka orang yang jujur bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersama manusia adalah yang sesuai lahir dan batinnya. Karena itulah, orang munafik disebutkan sebagai kebalikan orang yang jujur.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لِّيَجْزِيَ اللهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ

Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik…” (QS. Al-Ahzab:24)

Dan jujur adalah akibat terhadap janji seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ

Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah; (QS. Al-Ahzab:23)

Dan kejujuran itu sendiri dengan berbagai pengertiannya membutuhkan keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengamalkan perjanjian yang diletakkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di pundak setiap muslim

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا . لِّيَسْئَلَ الصَّادِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ

Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh,  agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka…(QS. Al-Ahzab:7-8)

Maka apabila orang-orang yang benar (jujur) akan ditanya, maka bagaimana pertanyaan dan hisab bagi orang-orang yang berdusta dan munafik?

Jujur termasuk akhlak utama yang terbagi menjadi beberapa bagian. Al-Harits al-Muhasibi rahimahullah berkata: ‘Ketahuilah  -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala  memberi rahmat kepadamu- sesungguhnya jujur dan ikhlas adalah pondasi segala sesuatu. Maka dari sifat jujur, tercabang beberapa sifat, seperti: sabar, qana’ah, zuhud, dan ridha. Dan dari sifat ikhlas tercabanglah beberapa sifat, seperti: yakin, khauf (takut), Mahabbah (cinta), ijlal (membesarkan), haya’ (malu dan ta’dzim (pengagungan). Jujur terdiri dari tiga bagian yang tidak sempurna kecuali dengannya:

1) Kejujuran hati dengan iman secara benar,

2) Niat yang benar dalam perbuatan,

3) Kata-kata yang benar dalam ucapan. (Risalah al-Murtasyidin hal. 170)

Dan tatkala kejujuran mempunyai ikatan kuat dengan iman, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam rmemaafkan (memakluminya) terjadinya sifat yang tidak terpuji dari seorang mukmin, namun beliau menolak bahawa seorang mukmin terjerumus dalam kebohongan, kerana sangat jauhnya hal itu dari seorang mukmin. Para sahabat pernah bertanya:

يَارَسُوْلَ اللهِ, أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ جَبَّانًا؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقِيْلَ لَهُ: أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ بَخِيْلاً؟ قَالَ: نَعَمْ. قِيْلَ لَهُ:  أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا؟ قَالَ: لاَ

“Ya Rasulullah, apakah orang beriman ada yang penakut? Beliau menjawab,’Ya.’ Maka ada yang bertanya kepada beliau, ‘Apakah orang beriman ada yang bakhil (kedekut, kikir).’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Ada lagi yang bertanya, ‘Apakah ada orang beriman yang pendusta?’ Beliau menjawab, ‘Tidak. (Hadits Riwayat:  Malik dalam al-Muwaththa` 2/990 secara mursal dalam ucapan…dan ia termasuk hadits hasan mursal (Jami’ al-Ushul 10/598, hadits no. 8183.)

Maka berwaspada dan berhati-hatilah dalam berkata-kata, sesungguhnya dengan demikian itu menunjukkan ketaqwaan dan lebih wara'.Jika bertemu seseorang yang tidak mejaga pertuturannya dan banyak pula bicaranya, maka ketahuilah sesungguhnya dia berada di dalam bahaya yang besar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Cukuplah seseorang dipandang berdusta bahawa ia membicarakan semua yang didengarnya.” (HR. Muslim dan Abu Daud (Jami’ al-Ushul 10/600, no. 8189.)

Banyak berbicara boleh menjerumuskan seseorang itu kepada pembohongan dengan menceritakan tentang sesuatu yang tidak pernah terjadi, sedangkan dia tidak memahaminya, atau menyampaikan sesuatu dari seseorang yang berdusta sedangkan dia tahu akan dusta itu, maka dia juga adalah seorang pendusta.

Setiap akhlak yang baik, boleh diusahakan dengan membiasakannya dan bersungguh-sungguh menekuninya, serta berusaha mengamalkannya, sehingga pelakunya mencapai kedudukan yang tinggi, naik dari tingkatan pertama kepada yang lebih tinggi darinya dengan akhlaknya yang baik.

Kerana itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ. وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا

Kamu harus selalu bersifat jujur, maka sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan membawa ke surga. Dan senantiasa seseorang bersifat jujur dan menjaqa kejujuran, sehingga ia ditulis di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala sebagai orang yang jujur.”

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ, وَمَايَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

Jauhilah kebohongan, maka sesungguhnya kebohongan membawa kepada kefasikan, dan sesungguhnya kefasikan membawa ke neraka. Senantiasa seseorang berbohong, dan mencari-cari kebohongan, sehingga ia ditulis di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai pembohong”. (HR. al-Bukhari, Muslim, al-Muwaththa`, Abu Daud, dan at-Tirmidzi, dan ini adalah lafazhnya (Jami’ al-Ushul 6/442, hadits no. 4641.)

Di antara pengaruh kejujuran adalah teguhnya pendirian, kuatnya hati, dan jelasnya persoalan, yang memberikan ketenangan kepada pendengar. Dan di antara tanda dusta adalah ragu-ragu, gagap, bingung, dan bertentangan, yang membuat pendengar merasa ragu dan tidak tenang. Dan kerana itulah:

فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ

Maka sesungguhnya jujur adalah ketenangan dan bohong adalah keraguan.” (HR. at-Tirmidzi dengan lafazhnya, dan isnadnya shahih (Jami’ al-Ushul 6/442 no.4642).

Kesudahan jujur adalah kebaikan –sekalipun yang berbicara menduga terjadi keburukan.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَلَوْ صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ

“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) tehadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad :21)

Dan dalam cerita taubatnya Ka’ab bin Malik radhiallahu 'anhu, Ka’ab radhiallahu 'anhu  berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah turunnya ayat yang menjelaskan bahawa Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat tiga orang yang ketinggalan dalam perang Tabuk: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan aku dengan kejujuran, dan sesungguhnya termasuk taubatku bahawa aku tidak akan berbicara kecuali yang benar selama hidupku.” Dan ia berkata pula: ‘Maka demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah  Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah memberikan nikmat kepadaku selamanya, setelah memberikan petunjuk Islam kepadaku, yang lebih besar dalam diriku daripada kejujuranku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahawa aku tidak berbohong kepadanya, lalu (kalau aku berbohong) aku menjadi binasa sebagaimana binasanya orang-orang yang berdusta….( Shahih al-Bukhari, kitab al-Maghazi (peperangan), bab ke-79, no. 4418.)

Ibnu al-Jauzi rahimahullah meriwayatkan dalam manaqib (riwayat hidup) Imam Ahmad, sesungguhnya dikatakan kepadanya: ‘Bagaimana engkau boleh selamat dari pedang khalifah al-Mu’tashim dan cambuk khalifah al-Qatsiq? Maka ia menjawab, ‘Jikalau kebenaran diletakkan di atas luka, niscaya luka itu menjadi sembuh.’ (  Dari hasyiyah Risalah al-Mustarsyidin, tahqiq Syaikh Abu Ghuddah hal. 72) Dan pada hari kiamat, dikatakan kepada manusia:

هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ

“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. …”. (QS. Al-Maidah :119)

Kejujuran akan menjadikan seseorang itu bersikap berani kerana dia seorang yang berpendirian dan tegas, dan kerana dia berpegang teguh tanpa ragu-ragu. kerana itu disebutkan dalam salah satu definasi jujur adalah: berkata benar walau di tempat yang membinasakan (Tahzhib Madarijus salikin hal. 399.)Hakikat jujur adalah tetap bersikap jujur walau hanya pembohongan yang dapat menyelamatkan engkau dari bahaya yang sedang engkau hadapi.( Tahdzhib Madarijus salikin hal. 401.)

Ramai orang suka memperkatakan perkara yang tidak elok hanya untuk menarik perhatian, dan juga untuk berjenaka. Mereka merasa gembira dapat berbuat demikian, sedangkan mereka juga telah mendapat dosa dengan berbohong.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِاْلحَدِيْثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ, فَيَكْذِب, وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.

Celaka bagi orang yang berbicara untuk membuat orang-orang tertawa, lalu ia berbohong, celakalah baginya, celakalah baginya.” ( HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi, isnadnya hasan (Jami’ al-Ushul 10/599 no.8186).

Sesungguhnya dusta yang paling berat dan paling besar dosanya adalah berbohong kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, ia menyandarkan kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bukan darinya, dan mengaku dalam syari’at yang dia tidak mengetahui, membuat nash-nash yang tidak ada dasarnya –ia melakukan hal itu kerana menghendaki kebaikan atau keburukan-, hal itu merupakan dusta yang sangat jahat terhadap agama Allah Subhanahu wa Ta’ala

. إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ, فَمَنْ كَذبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا  فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya berdusta terhadapku bukan seperti berdusta terhadap orang lain, maka barangsiapa yang berdusta secara sengaja terhadapku, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka. (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi (Jami’ al-Ushul 10/611. no.8206).

Oleh kerana itulah, sebahagian sahabat merasa khawatir meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang terlalu banyak, kerana takut terjatuh dalam kesalahan yang tidak disengaja, bererti mereka menyandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak pernah beliau katakan. Dan termasuk hal itu adalah Anas bin Malik radiallahu anhu  ketika ia berkata: “Sesungguhnya menghalangi aku meriwayatkan hadits terlalu banyak”.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَعَمَّدَ عَلَىَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa yang sengaja berbohong kepadaku, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka.” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi (Jami’ al-Ushul 10/610, no. 8204).

Dan termasuk perkara yang menunjukkan tambahan berhemat mereka dalam mengutip hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahawa mereka tidak menambah dan tidak mengurangkan. Pendirian itulah yang diriwayatkan oleh Muslim, ketika Busyair al-‘Adawi meriwayatkan hadits di hadapan Ibnu Abbas radiallahu anhu    dan Ibnu Abbas radiallahu anhu tidak memperdulikannya, tidak memperhatikannya dan tidak memandang kepadanya. 

Maka Busyair berkata, ‘Wahai Ibnu Abbas, kenapa engkau tidak mendengarkan pembicaraanku, aku menceritakan kepada engkau tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan engkau tidak mendengarkan?

Ibnu Abbas radiallahu anhu berkata, “Sesungguhnya kami, apabila mendengar seseorang berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,’ pandangan kami langsung serius dan kami memperhatikannya dengan pendengarannya. Maka tatkala manusia menaiki kesusahan dan kemudahan (menganggap mudah persoalan hadits, wallau a’lam), kami tidak mengambil dari manusia kecuali yang kami kenal.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah ash-Shahih hal 13 (Jami’ al-Ushul 10/612 no. 8208).

Maksudnya, apabila mereka memperkatakan tentang perkara yang rumit mahupun mudah, mereka tidak perduli dan tidak berhati-hati jika ianya salah, oleh itu kita seharusnya berhati-hati ketika mengambil ilmu dari sumber mana pun.

Berhati-hatilah terhadap mereka yang terburu-buru berfatwa tanpa pengetahuan tentang agama, lalu berbohong tentang agama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Takutilah mereka yang menyebarkan hadits-hadits mungkar dan maudhi' dan janganlah ikut serta berbohong terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Memetik ucapan seseorang: aku tidak tahu - sekalipun berat untuk mengikut nafsunya - lebih mudah baginya, daripada berbohong kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Agar kehidupanmu berada di jalan yang benar, dihimpun pada hari kiamat bersama orang-orang yang jujur, maka jadikanlah tempat masukmu itu tempat yang benar dan tempat keluarmu juga benar, jadikanlah pertuturanmu kata-kata yang benar. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rezeki kepadamu langkah yang benar dan tempat yang benar. Maka, jujur adalah ketegasan dan keberterusterangan, dan berpaling darinya adalah menyimpang dari keadaan orang yang beriman dan jujur.

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لا َيُؤْمِنُونَ بِئَايَاتِ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ

Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. (QS. An-Nahl :105)

Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

Rujukan:

 Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
 Shahihul Adab wal Akhlaq, Iraqi Muhammad Hamid.

POSTED/EDITED BY: HAR

No comments: