Ash Shidq, Akhlaq yang akan Mengantarkan Kita ke Surga
Oleh:
Abu Umar Al Bankawy
Di dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
إنَّ الصِّدقَ
يَهْدِي إِلَى البرِّ ، وإنَّ البر يَهدِي إِلَى الجَنَّةِ ، وإنَّ الرَّجُلَ
لَيَصدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقاً . وَإِنَّ الكَذِبَ يَهْدِي
إِلَى الفُجُورِ ، وَإِنَّ الفُجُورَ يَهدِي إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ
لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكتَبَ عِنْدَ الله كَذَّاباً
“Sesungguhnya
ash shidq (kejujuran) itu menunjukkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan
itu menunjukkan ke surga dan sesungguhnya seorang bermaksud untuk jujur sehingga dicatatlah di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu menunjukkan
kepada kejahatan dan sesungguhnya kejahatan itu menunjukkan kepada neraka.
Sesungguhnya seorang itu bermaksud untuk berdusta sehingga dicatatlah di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai seorang yang suka berdusta.” (Muttafaq ‘alaih)
Di dalam hadits ini terdapat perintah kepada kita untuk senantiasa
berbuat ash shidq. Ash shidq artinya sesuainya berita yang
disampaikan dengan kenyataan yang terjadi. Sebagai contoh, misalnya sekarang
hari Ahad, lalu Anda ditanya hari apa ini? Kalau Anda menjawab hari Ahad bererti
anda telah berucap dengan shidq (jujur) kerana memang sesuai dengan
kenyataan. Tapi bila Anda jawab hari isnen, maka ini disebut dusta.
Di banyak ayat, Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengabarkan kepada kita keutamaan Ash shidq. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai sekalian
orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau semua
bersama-sama dengan para shiddiqin (orang-orang yang jujur perilakunya).”
(At Taubah: 119)
فَلَوْ
صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْراً لَهُمْ
“Dan
andaikata mereka itu bersikap benar terhadap Allah, pastilah hal itu amat baik
untuk mereka sendiri.” (Muhammad: 21)
وَالَّذِي
جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Dan orang yang membawa kebenaran
dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Az Zumar: 33)
Macam-macam Sikap
Shidq
Para ulama membagi ash shidq menjadi dua:
1. Shidq
(jujur) dalam Ucapan
Yakni ketika seseorang ucapannya sesuai dengan apa yang ada di hatinya.
Seperti orang yang mengatakan bahawa saya beriman dan memang di hatinya dia
beriman maka dia pun telah jujur dalam ucapannya. Sebaliknya ketika dia
mengucapkan bahawa dirinya beriman, tapi di hatinya justru kufur maka ini tidak
lah disebut sebagai orang yang shadiq, orang yang jujur. Dari sini
kita ketahui bahawa orang-orang yang munafiq bukanlah orang-orang yang beriman,
kerana ucapan mereka menyelisihi apa yang ada di hati mereka.
2. Shidq (jujur) dalam Perbuatan
Yakni ketika perbuatan seseorang sesuai dengan apa yang ada di hatinya.
Orang yang berbuat riya’ tidaklah disebut sebagai shadiq.
Ini kerana secara lahirnya mereka memang nampak sebagai seorang yang rajin
beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tapi di dalam batinnya tidaklah
demikian. Ibadah yang mereka lakukan semata-mata agar dilihat oleh manusia.
Demikian juga para pelaku kebid’ahan. Mereka tidaklah disebut sebagai shadiq.
Kerana secara lahirnya mereka menunjukkan kecintaan mereka kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam akan tetapi batinnya tidaklah demikian.
Pentingnya Ash shidq dalam Mua’amalah
Ash shidq dalam muamalah adalah seorang senantiasa berucap dan bersikap jujur
ketika dia berhubungan dengan sesama manusia. Di dalam keluarga, ketika
bekerja, berhubungan sosial dengan yang lain seorang muslim harus menunjukkan ash
shidq agar dia
memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat.
Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
إنَّ الصِّدقَ
يَهْدِي إِلَى البرِّ ، وإنَّ البر يَهدِي إِلَى الجَنَّةِ
“Sesungguhnya
kejujuran itu menunjukkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu
menunjukkan kepada surga.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Beliau juga mengatakan bahawa
البَيِّعَانِ
بالخِيَار مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإنْ صَدَقا وَبيَّنَا بُوركَ لَهُمَا في
بيعِهمَا ، وإنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بركَةُ بَيعِهِما
“Dua orang yang berjual-beli itu dengan kebebasan (boleh
meneruskan jual-belinya atau membatalkannya) selama keduanya itu belum
berpisah. Apabila keduanya itu jujur dan menerangkan (kekurangan barang yang
diperjualbelikan), maka diberi berkahlah jual-beli keduanya, tetapi jikalau
keduanya itu menyembunyikan (kekurangan barang yang diperjualbelikan) dan
sama-sama berdusta, maka dileburlah keberkahan jual-beli keduanya itu.” (Muttafaqun
‘alaihi)
Berdusta untuk Bercanda
Termasuk kedustaan adalah apa yang dilakukan banyak orang di zaman kita,
yakni berdusta dengan maksud untuk melucu atau bercanda. Dia berdusta agar
orang lain yang mendengarnya tertawa. Perkara ini adalah perkara yang dilarang
di dalam agama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَيْلٌ
لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang berkata dusta agar orang-orang tertawa!
Celakalah dia! Celakalah dia!” (HR. Abu Daud no. 4990,
dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Dusta yang Diperbolehkan
Sebagaimana hadits
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
di atas, seluruh kedustaan hukumnya haram dan semuanya akan mengantarkan kepada
perbuatan fujur (jahat).
Dikecualikan di sini tiga perkara sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
لَيْسَ
الكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيراً ، أَوْ يقُولُ
خَيْراً . وفي رواية مسلم زيادة ، قَالَتْ : وَلَمْ أسْمَعْهُ يُرْخِّصُ في شَيْءٍ
مِمَّا يَقُولُهُ النَّاسُ إلاَّ في ثَلاثٍ ، تَعْنِي : الحَرْبَ ، وَالإِصْلاَحَ
بَيْنَ النَّاسِ ، وَحَدِيثَ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ ، وَحَدِيثَ المَرْأةِ زَوْجَهَا
“Bukannya
termasuk pendusta orang yang mendamaikan antara para manusia, lalu ia
menyampaikan berita yang baik atau mengatakan sesuatu yang baik.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan tambahannya bahwa Ummu Kultsum berkata,
“Saya tidak pernah mendengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang dibolehkannya berdusta dari ucapan-ucapan yang diucapkan oleh para manusia itu, melainkan dalam tiga hal yaitu di dalam peperangan, mendamaikan antara para manusia dan perkataan seorang suami kepada isterinya serta perkataan isteri kepada suaminya (perkataan yang dapat memperbaiki hubungan rumah tangga).”
“Saya tidak pernah mendengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang dibolehkannya berdusta dari ucapan-ucapan yang diucapkan oleh para manusia itu, melainkan dalam tiga hal yaitu di dalam peperangan, mendamaikan antara para manusia dan perkataan seorang suami kepada isterinya serta perkataan isteri kepada suaminya (perkataan yang dapat memperbaiki hubungan rumah tangga).”
Namun para ulama menjelaskan bahawa yang dimaksud dengan kedustaan di
dalam hadits ini bukanlah kedustaan murni, tapi kedustaan yang merupakan tauriyah.
Tauriyah adalah
seseorang mengucapkan sesuatu yang menyelisihi niat di hatinya. Ketika dia
mengucapkan hal tersebut, si pendengar akan memahami berbeza dengan apa yang
diinginkan oleh orang yang berucap.
Contoh tauriyah adalah apa yang dikisahkan di dalam Ash
Shahih tentang ucapan
Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam ketika
isteri beliau ingin diambil oleh raja yang zhalim. Beliau mengatakan “Ini
saudariku” agar raja tersebut tidak mengambil isteri beliau. Yang beliau maksud
dengan saudari di sini adalah saudari fillah, saudari seagama, namun yang akan
difahami oleh orang lain bahawa saudari di sini adalah saudari kandung.
Demikian penjelasan tentang beberapa perkara yang berkaitan dengan ash
shidq (kejujuran),semoga
boleh bermanfaat dan Allah Subhanahu
waTa’ala menjadikan
diri kita sebagai orang-orang yang memiliki sifat ash shidq.
Kejujuran
عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ
“Kamu harus selalu jujur, maka
sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan…”
Jujur dalam erti sempit adalah sesuainya ucapan lisan dengan
kenyataan. Dan dalam pengertian yang lebih umum adalah sesuainya lahir dan
batin. Maka orang yang jujur bersama Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan bersama manusia adalah yang sesuai lahir dan batinnya. Karena
itulah, orang munafik disebutkan sebagai kebalikan orang yang jujur.
Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
لِّيَجْزِيَ
اللهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ
“Supaya
Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya,
dan menyiksa orang munafik…” (QS. Al-Ahzab:24)
Dan jujur adalah akibat terhadap janji seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مِّنَ
الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ
Di
antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka
janjikan kepada Allah; (QS. Al-Ahzab:23)
Dan
kejujuran itu sendiri dengan berbagai pengertiannya membutuhkan keikhlasan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
mengamalkan perjanjian yang diletakkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di pundak setiap muslim
Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا . لِّيَسْئَلَ الصَّادِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ
Dan
Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh, agar Dia
menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka…(QS. Al-Ahzab:7-8)
Maka apabila
orang-orang yang benar (jujur) akan ditanya, maka bagaimana pertanyaan dan
hisab bagi orang-orang yang berdusta dan munafik?
Jujur
termasuk akhlak utama yang terbagi menjadi beberapa bagian. Al-Harits
al-Muhasibi rahimahullah berkata: ‘Ketahuilah -semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepadamu- sesungguhnya jujur
dan ikhlas adalah pondasi segala sesuatu. Maka dari sifat jujur, tercabang
beberapa sifat, seperti: sabar, qana’ah, zuhud, dan
ridha. Dan dari sifat ikhlas tercabanglah beberapa sifat, seperti: yakin, khauf (takut), Mahabbah (cinta), ijlal
(membesarkan), haya’ (malu dan ta’dzim (pengagungan). Jujur terdiri
dari tiga bagian yang tidak sempurna kecuali dengannya:
1) Kejujuran
hati dengan iman secara benar,
2) Niat yang
benar dalam perbuatan,
3) Kata-kata
yang benar dalam ucapan. (Risalah
al-Murtasyidin hal. 170)
Dan tatkala kejujuran mempunyai ikatan kuat dengan iman, maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam rmemaafkan (memakluminya) terjadinya sifat yang tidak
terpuji dari seorang mukmin, namun beliau menolak bahawa seorang mukmin
terjerumus dalam kebohongan, kerana sangat jauhnya hal itu dari seorang mukmin.
Para sahabat pernah bertanya:
يَارَسُوْلَ اللهِ,
أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ جَبَّانًا؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقِيْلَ لَهُ: أَيَكُوْنُ
الْمُؤْمِنُ بَخِيْلاً؟ قَالَ: نَعَمْ. قِيْلَ لَهُ: أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا؟ قَالَ: لاَ
“Ya Rasulullah, apakah orang beriman ada
yang penakut? Beliau menjawab,’Ya.’ Maka ada yang bertanya kepada beliau,
‘Apakah orang beriman ada yang bakhil (kedekut, kikir).’ Beliau menjawab, ‘Ya.’
Ada lagi yang bertanya, ‘Apakah ada orang beriman yang pendusta?’ Beliau
menjawab, ‘Tidak. (Hadits Riwayat: Malik
dalam al-Muwaththa` 2/990 secara mursal dalam ucapan…dan ia termasuk hadits
hasan mursal (Jami’ al-Ushul 10/598, hadits no. 8183.)
Maka berwaspada dan berhati-hatilah dalam berkata-kata,
sesungguhnya dengan demikian itu menunjukkan ketaqwaan dan lebih wara'.Jika
bertemu seseorang yang tidak mejaga pertuturannya dan banyak pula bicaranya,
maka ketahuilah sesungguhnya dia berada di dalam bahaya yang besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
كَفَى
بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah
seseorang dipandang berdusta bahawa ia membicarakan semua yang didengarnya.” (HR. Muslim dan Abu Daud (Jami’ al-Ushul 10/600,
no. 8189.)
Banyak berbicara boleh menjerumuskan seseorang itu kepada
pembohongan dengan menceritakan tentang sesuatu yang tidak pernah terjadi,
sedangkan dia tidak memahaminya, atau menyampaikan sesuatu dari seseorang yang
berdusta sedangkan dia tahu akan dusta itu, maka dia juga adalah seorang
pendusta.
Setiap akhlak
yang baik, boleh diusahakan dengan membiasakannya dan bersungguh-sungguh
menekuninya, serta berusaha mengamalkannya, sehingga pelakunya mencapai
kedudukan yang tinggi, naik dari tingkatan pertama kepada yang lebih tinggi
darinya dengan akhlaknya yang baik.
Kerana itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي
إِلَى الْجَنَّةِ. وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ
حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا
“Kamu
harus selalu bersifat jujur, maka sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada
kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan membawa ke surga. Dan senantiasa seseorang bersifat
jujur dan menjaqa kejujuran, sehingga ia ditulis di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala sebagai orang yang jujur.”
وَإِيَّاكُمْ
وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ
يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ, وَمَايَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ
حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Jauhilah
kebohongan, maka sesungguhnya kebohongan membawa kepada kefasikan, dan
sesungguhnya kefasikan membawa ke neraka. Senantiasa seseorang berbohong, dan
mencari-cari kebohongan, sehingga ia ditulis di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai pembohong”. (HR.
al-Bukhari, Muslim, al-Muwaththa`, Abu Daud, dan at-Tirmidzi, dan ini adalah
lafazhnya (Jami’ al-Ushul 6/442, hadits no. 4641.)
Di antara
pengaruh kejujuran adalah teguhnya pendirian, kuatnya hati, dan jelasnya
persoalan, yang memberikan ketenangan kepada pendengar. Dan di antara tanda
dusta adalah ragu-ragu, gagap, bingung, dan bertentangan, yang membuat
pendengar merasa ragu dan tidak tenang. Dan kerana itulah:
فَإِنَّ
الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ
“Maka
sesungguhnya jujur adalah ketenangan dan bohong adalah keraguan.” (HR. at-Tirmidzi dengan lafazhnya, dan isnadnya shahih
(Jami’ al-Ushul 6/442 no.4642).
Kesudahan
jujur adalah kebaikan –sekalipun yang berbicara menduga terjadi keburukan.
Firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
فَلَوْ
صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ
“Tetapi jikalau mereka benar (imannya)
tehadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad :21)
Dan dalam
cerita taubatnya Ka’ab bin Malik radhiallahu
'anhu, Ka’ab radhiallahu 'anhu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah turunnya ayat yang menjelaskan bahawa Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat tiga
orang yang ketinggalan dalam perang Tabuk: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan
aku dengan kejujuran, dan sesungguhnya termasuk taubatku bahawa aku tidak akan
berbicara kecuali yang benar selama hidupku.” Dan ia berkata pula: ‘Maka demi
Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah Subhanahu
wa Ta’ala tidak pernah memberikan nikmat kepadaku selamanya, setelah
memberikan petunjuk Islam kepadaku, yang lebih besar dalam diriku daripada
kejujuranku kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, bahawa
aku tidak berbohong kepadanya, lalu (kalau aku berbohong) aku menjadi binasa
sebagaimana binasanya orang-orang yang berdusta….( Shahih al-Bukhari, kitab al-Maghazi (peperangan), bab ke-79,
no. 4418.)
Ibnu
al-Jauzi rahimahullah meriwayatkan dalam manaqib (riwayat
hidup) Imam Ahmad, sesungguhnya dikatakan kepadanya: ‘Bagaimana engkau boleh selamat dari pedang khalifah
al-Mu’tashim dan cambuk khalifah al-Qatsiq? Maka ia menjawab, ‘Jikalau
kebenaran diletakkan di atas luka, niscaya luka itu menjadi sembuh.’
( Dari hasyiyah Risalah al-Mustarsyidin, tahqiq Syaikh Abu
Ghuddah hal. 72) Dan pada hari kiamat, dikatakan kepada manusia:
هَذَا يَوْمُ
يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat
bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. …”. (QS. Al-Maidah :119)
Kejujuran akan menjadikan seseorang itu bersikap berani
kerana dia seorang yang berpendirian dan tegas, dan kerana dia berpegang teguh
tanpa ragu-ragu. kerana itu disebutkan dalam salah satu definasi jujur adalah:
berkata benar walau di tempat yang membinasakan (Tahzhib Madarijus salikin hal. 399.)Hakikat jujur adalah tetap bersikap
jujur walau hanya pembohongan yang dapat menyelamatkan engkau dari bahaya yang
sedang engkau hadapi.( Tahdzhib Madarijus
salikin hal. 401.)
Ramai orang suka memperkatakan perkara yang tidak elok
hanya untuk menarik perhatian, dan juga untuk berjenaka. Mereka merasa gembira
dapat berbuat demikian, sedangkan mereka juga telah mendapat dosa dengan
berbohong.
Sebagaimana
disebutkan dalam hadits:
وَيْلٌ
لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِاْلحَدِيْثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ, فَيَكْذِب, وَيْلٌ
لَهُ وَيْلٌ لَهُ.
“Celaka bagi orang yang berbicara
untuk membuat orang-orang tertawa, lalu ia berbohong, celakalah baginya,
celakalah baginya.” ( HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi, isnadnya
hasan (Jami’ al-Ushul 10/599 no.8186).
Sesungguhnya
dusta yang paling berat dan paling besar dosanya adalah berbohong kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, ia menyandarkan
kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang bukan darinya, dan mengaku dalam syari’at yang dia tidak mengetahui, membuat
nash-nash yang tidak ada dasarnya –ia melakukan hal itu kerana menghendaki
kebaikan atau keburukan-, hal itu merupakan dusta yang sangat jahat terhadap
agama Allah Subhanahu wa Ta’ala
.
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ, فَمَنْ كَذبَ
عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya
berdusta terhadapku bukan seperti berdusta terhadap orang lain, maka
barangsiapa yang berdusta secara sengaja terhadapku, maka hendaklah ia
menyiapkan tempatnya di neraka.“ (HR.
al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi (Jami’ al-Ushul 10/611. no.8206).
Oleh kerana
itulah, sebahagian sahabat merasa khawatir meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam yang terlalu banyak, kerana takut terjatuh dalam kesalahan yang tidak
disengaja, bererti mereka menyandarkan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam yang tidak pernah beliau katakan. Dan termasuk
hal itu adalah Anas bin Malik radiallahu
anhu ketika ia
berkata: “Sesungguhnya
menghalangi aku meriwayatkan hadits terlalu banyak”.
Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
تَعَمَّدَ عَلَىَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa
yang sengaja berbohong kepadaku, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di
neraka.” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi (Jami’ al-Ushul
10/610, no. 8204).
Dan termasuk
perkara yang menunjukkan tambahan berhemat mereka dalam mengutip hadis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahawa
mereka tidak menambah dan tidak mengurangkan. Pendirian itulah yang
diriwayatkan oleh Muslim, ketika Busyair al-‘Adawi meriwayatkan hadits di
hadapan Ibnu Abbas radiallahu anhu dan Ibnu Abbas radiallahu anhu tidak memperdulikannya,
tidak memperhatikannya dan tidak memandang kepadanya.
Maka Busyair
berkata, ‘Wahai
Ibnu Abbas, kenapa engkau tidak mendengarkan pembicaraanku, aku menceritakan kepada
engkau tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan engkau tidak
mendengarkan?
Ibnu Abbas radiallahu anhu berkata, “Sesungguhnya kami,
apabila mendengar seseorang berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,’ pandangan kami
langsung serius dan kami memperhatikannya dengan pendengarannya. Maka tatkala
manusia menaiki kesusahan dan kemudahan (menganggap mudah persoalan hadits, wallau
a’lam),
kami tidak mengambil dari manusia kecuali yang kami kenal.”
(HR. Muslim dalam Muqaddimah ash-Shahih hal 13 (Jami’
al-Ushul 10/612 no. 8208).
Maksudnya, apabila mereka memperkatakan tentang perkara
yang rumit mahupun mudah, mereka tidak perduli dan tidak berhati-hati jika
ianya salah, oleh itu kita seharusnya berhati-hati ketika mengambil ilmu dari
sumber mana pun.
Berhati-hatilah terhadap mereka yang terburu-buru berfatwa
tanpa pengetahuan tentang agama, lalu berbohong tentang agama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Takutilah mereka
yang menyebarkan hadits-hadits mungkar dan maudhi' dan janganlah ikut serta
berbohong terhadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Memetik ucapan seseorang: aku tidak tahu - sekalipun
berat untuk mengikut nafsunya - lebih mudah baginya, daripada berbohong kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Agar kehidupanmu berada di jalan yang
benar, dihimpun pada hari kiamat bersama orang-orang yang jujur, maka
jadikanlah tempat masukmu itu tempat yang benar dan tempat keluarmu juga benar,
jadikanlah pertuturanmu kata-kata yang benar. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberi rezeki kepadamu langkah yang benar dan tempat yang benar. Maka, jujur
adalah ketegasan dan keberterusterangan, dan berpaling darinya adalah
menyimpang dari keadaan orang yang beriman dan jujur.
إِنَّمَا
يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لا َيُؤْمِنُونَ بِئَايَاتِ اللهِ وَأُوْلَئِكَ
هُمُ الْكَاذِبُونَ
Sesungguhnya
yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada
ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. (QS. An-Nahl :105)
Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala
alihi washahbihi ajma’in.
Rujukan:
– Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin
– Shahihul Adab wal Akhlaq, Iraqi
Muhammad Hamid.
POSTED/EDITED BY: HAR
No comments:
Post a Comment