Hukum Beramal dengan hadith Dha’if
Termasuk malapetaka terbesar yang menimpa kaum muslimin sejak zaman dahulu
adalah penyebaran hadith-hadith yang dhaif (lemah) dan maudhu (palsu) di
kalangan mereka. Dan musibah ini menimpa seluruh umat Islam sehingga para
'ulama (dai') kecuali mereka yang Allah Subhanahu wa Ta’ala selamatkan dari para
imam dan pengkritik hadith. Kita juga sering mendengar nasihat atau ceramah dari salah seorang ulama atau
ustadz atau khutbah dari seorang pendakwah yang mengandungi hadith dhaif dan
Maudhu.
Hal ini sangat berbahaya karena Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُـتــَـعَمـِّدًا فَلْيــَـتـَـبَوَّ أْ
مَـقْعـَدَهُ مِنَ النـــَّـارِ . متفق عليه
“Barang siapa yang berdusta atas (nama) ku
dengan sengaja maka hendaknya menempati tempat duduknya di neraka” (Muttafaqun
alaih).
Telah berkata ibnu Hibban dalam Muqaddimah
kitab shahihnya pasal “Wajibnya masuk neraka seseorang yang menisbatkan sesuatu
(perkataan maupun perbuatan) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
padahal orang tersebut tidak mengetahui keshahihan hadith tersebut” kemudian
beliau (Ibnu Hibban) mengutip dua hadith yang menunjukkan kebenaran
perkataannya:
حَدَّثَنَا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ
أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Telah menceritakan kepada
kami Makki bin Ibrahim berkata,
telah menceritakan kepada kami Yazid
bin Abu 'Ubaid dari Salamah berkata,
"Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berkata tentangku yang
tidak pernah aku katakan, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di
neraka."
(HadithRiwayat: Bukhari No.106)
Dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘Anhu, (merupakan salah satu rawi hadits yang adil) - telah bersabda
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
مَنْ حَدَّثَ عَنـِّي بـــِحَدِ يْثٍ يُرَى أَنـــَّهُ كَذِبٌ فَهُـوَ
أَحَدُ كَاذِ بـَـيْنِ . رواه مسلم
“Barangsiapa yang mengucapkan suatu hadits dan
dia sangka atau duga bahwa hadith ini adalah dusta maka dia satu dari dua
pendusta”. (Hadith Riwayat: Muslim)
Dari keterangan di atas, adalah jelas bahawa seseorang yang menyebarkan
hadith tanpa memeriksa kesahihannya dahulu, maka dia adalah antara mereka yang
berdusta/berbohong atas
nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam padahal Beliau Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam telah bersabda:
إِنَّ كَذِبًا
عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبِ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتـَعَمــِّدًا
فَلْيــَتـَبـَوَّ أْ مَقْعـَدَهُ مِنَ النــَّـارِ . رواه البخاري و مسلم
“Sesungguhnya berdusta atas (nama) ku tidak
sama dengan berdusta atas nama seseorang (selain aku) Barang siapa berdusta
atasku dengan sengaja maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka”
(Hadith Riwayat: Bukhari dan Muslim)
Di sini, kita menyedari betapa pentingnya mengetahui
masalah yang kita sedang berbincang, kerana kebanyakan penafsir, ustadz, atau
khatib yang menyampaikan hadith dhaif dengan alasan ia adalah sebahagian dari
Fadhoilul A'mal (keutamaan-keutamaan amal).
HUKUM MERIWAYATKAN DAN MENGAMALKAN HADITH DHAIF
Para ‘ulama kita (rahimahullahu) telah
berikhtilaf dalam hukum meriwayatkan dan mengamalkan Hadit dhaif. Ikhtilaf ‘ulama ini terbagi tiga:
PERTAMA: Bahawa hadith dhaif itu tidak boleh diamalkan
secara mutlak (sama sekali) baik dalam masalah hukum, aqidah, targhib watarhib
dan lain-lainnya. Yang berpegang pada pendapat ini adalah sejumlah besar dari
kalangan ‘ulama hadith seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Ma’in, Ibnu
Taimiyyah, Imam Ibnu Hazm (rahimahullahu) dan lain-lain.
KEDUA: Boleh mengamalkan hadith dhaif dalam bab
Fadhoilul A’mal, Targhib (menggemarkan melakukan suata amalan), Tarhib
(mempertakuti diri mengerjakan suatu amal) namun tidak diamalkan dalam masalah
Aqidah, dan Hukum. Yang memegang pendapat ini adalah sebahgian ahli fiqh dan
ahli hadith seperti Al Hafidz Ibnu Abdil Barr, Al imam Nawawi, Ibnu Sholah
–rahimahullahu-.
KETIGA: Boleh mengamalkan
hadith dhaif secara mutlak jika tidak ditemukan hadith yang shahih atau hasan.
Pendapat ini disandarkan kepada Imam Ahmad dan murid beliau Abu Daud
-rahimahumallahu- .
SYARAT-SYARAT UNTUK MENGAMALKAN HADITH
DHAIF
Perlu diketahui bahwasanya para ‘ulama yang
membolehkan pengamalan hadith dhaif menetapkan beberapa syarat yang mesti
diperhatikan diantaranya:
1. Bahwa hadith tersebut tidak terlalu lemah
(bukan hadith dhaif jiddan apalagi maudhu)
2. Hadith dhaif itu tidak boleh diyakini bahawa
dia adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atau perbuatan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Maka hadith diamalkan hanya karena kehati-hatian
dari pada mengamalkan sesuatu yang tidak ada dalilnya .
3. Hadits tersebut khusus untuk Fadhoilul
A’mal atau Targhib wattarhib. Tidak boleh dalam masalah Aqidah, hukum, Tafsir
Al-Qur’an dan lain-lain yang usul (prinsip) dari Ad Dien ini.
4. Orang yang mengamalkan tidak boleh
memperkenalkan hadith tersebut kepada masyarakat awam, karena jika melihat
hadith itu mashyur dan banyak diamalkan akan mengira bahawa itu adalah sunnah
yang shahih.
Namun syarat-syarat ini telah
dijawab dan ditanggapi oleh ‘ulama yang tidak membolehkan mengamalkan hadith
dhaif secara mutlak sebagai berikut:
Syarat pertama yang mereka
kemukakan ini disepakati oleh seluruh ahli ilmu. Namun syarat ini sangat sulit
dipenuhi karena mengetahui dan membezakan antara hadith yang dhaif ringan dan
berat sangatlah susah bagi kebanyakan orang disebabkan kurangnya ‘ulama hadith
apalagi di masa saat kita sekarang ini dimana keberadaan seorang yang tidak
menyebutkan hadith kecuali hadith yang shahih dan menjelaskan kepada masyarakat
bahaya hadith dhaif sangat jarang berlaku.
Syarat ini sama dengan syarat
yang pertama dalam hal harus mengetahui kelemahan hadith tersebut. Namun
kenyataan yang kita lihat bahawa kebanyakan orang-orang saat sekarang ini tidak
mengetahui hal tersebut, sehingga ketika mengamalkan mereka mengi’tiqadkan
(meyakini hadith itu sebagai sabda atau perbuatan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam sehingga syarat inipun telah dilanggar.
Syarat yang ketiga ini mengharuskan bagi
orang yang mau membawakannya untuk tahu lebih dahulu apakah hadith ini termasuk
dalam fadhailul A’mal ataukah Aqidah atau Hukum. Lalu syarat ini tidak boleh
diterima sepenuhnya karena sesungguhnya fadhoilul ‘Amal itu juga bahgian dari
syariat, maka mana dalil yang menunjukkan bolehnya dibeza-bezakan ?
Syarat yang terakhir ini sangat banyak
dilanggar oleh kaum muslimin yang mana saat sekarang ini sangat banyak hadith
dhaif yang dikenal dan dipakai sama kedudukannya dengan hadith shahih, bahkan
lebih. Karenanya sangat banyak ibadah-ibadah yang tidak benar yang mereka
kerjakan lalu mereka meninggalkan ibadah-ibadah yang sudah jelas berdasarkan
hadith yang shahih -Wallahul Musta’an.
Dari jawaban-jawaban di atas nampak bagi kita
kuatnya pendapat yang pertama. Apalagi syarat-syarat yang ditetapkan oleh para
‘ulama yang berpegang pada pendapat kedua (membolehkan untuk fadhoilul ‘amal)
sangat susah untuk diterapkan dan telah banyak dilanggar (sengaja atau tidak
sengaja) oleh kaum muslimin sekarang.
Adapun kata-kata Imam Ahmad rahimahullahu (pendapat ketiga) bahawa Beliau -
Rahimahullahu - jika dia tidak menemukan hadith yang sahih dalam satu bab maka
dia berpegang kepada hadith yang dhaif daripada berpegang pada pendapatnya
sendiri atau pendapat lain.
Yang dimaksud hadith dhaif di sini adalah
hadith “Hasan” dengan istilah kita sekarang, karena pada zaman mereka ilmu
Mustholah belum begitu berkembang sehingga pembahgian hadith yang mereka kenal
ketika itu hanyalah shahih dan dhaif, karena yang pertama kali yang
memasyhurkan pembahgian hadith menjadi tiga (shahih,hasan, dhaif) adalah imam
At Tirmidzi yang mana beliau datang setelah imam Ahmad.
Wallahu A’lam
Penutup dan Kesimpulan
Setelah memperhatikan jawaban dan tanggapan
yang telah dikemukakan oleh para ‘ulama yang tidak membolehkan mengamalkan
hadith dha’if secara mutlak baik itu untuk fadhailul a’mal maupun yang lainnya,
maka jelaslah bagi kita bahawa meriwayatkan dan mengamalkan hadith dhaif untuk
berbagai hal adalah hal yang dilarang. berkata Asy-Syaikh Al-Muhaddits Ahmad
Syakir –rahimahullahu- “…Bahwasanya tidak ada perbezaan antara masalah ahkam
(hukum-hukum) fadhoilul ‘amal dan yang lainnya tentang tidak bolehnya mengambil
hadith dhaif sebagai pegangan, bahkan seorang tidak boleh berhujjah kecuali
dari khabar yang datangnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berupa
hadith shahih atau hasan”.
Dan perlu diingat bahawa hadith-hadith yang
shahih sangatlah banyak dan sudah cukup untuk mengamalkan Ad Dien ini dan kita
tidak memerlukan lagi hadith yang lemah. Sangat benar perkataan Imam Abdullah
bin Mubarak –rahimahullahu- :
“Pada hadith shahih kesibukan dari
(mengamalkan) hadith yang lemah”
Posted by: HAR
Sumber: “Hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadith dhaif
untuk Fadhilul ‘Amal dan yang lainnya” oleh Abu Abdillah Muhammad Yusran
Anshar.
No comments:
Post a Comment