"Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan tiada aku termasuk di antara orang-orang yang musyrik" (QS Yusuf:108)

30 May, 2012


Ada Apa dengan Halal Haram?



Manusia seringkali lupa daratan. Statusnya sebagai makhluk dan hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala seringkali bias dalam kepribadian. Makna kehidupan yang hakikatnya adalah berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mentauhidkan-Allah Subhanahu wa Ta’ala, tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala  dengan penuh ketaatan, serta berlepas diri dari kesyirikan dan para pelakunya seringkali terlupakan dalam kehidupan. Halal dan haram tak lagi dipedulikan. Yang penting senang, yang penting puas, walaupun harus melanggar berbagai aturan. Padahal hidup di dunia ini hanya sekali, sudah semestinya hidup yang berarti.
Demikianlah di antara “kenakalan” manusia dalam menjalani roda kehidupan. Semua ini mengingatkan kita akan sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam ,
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ، أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَام
“Akan datang kepada manusia suatu masa, yang ketika seseorang tidak lagi memedulikan sesuatu yang diraihnya, apakah dari hasil yang halal ataukah dari hasil yang haram.” (HR. al-Bukhari no. 2059, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Para pembaca yang mulia, suatu hari terjadi sebuah dialog yang mengesankan antara Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam dengan para sahabatnya, sebagaimana penuturan sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut,
“Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam  berkata, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang muflis itu?’ Para sahabat menjawab, ‘Setahu kami orang yang muflis itu adalah orang yang tak punya harta benda.’ Maka Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam menjelaskan, ‘Sesungguhnya orang yang muflis dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, namun dia juga membawa catatan dosa; mencela si ini, menuduh si ini, memakan harta si ini, membunuh si ini, dan memukul si ini. Akhirnya, pahala kebaikan yang dimilikinya diberikan kepada masing-masing orang yang dijahatinya itu (sebagai balasannya). Manakala pahala kebaikannya itu tidak mencukupi untuk menebus dosa kejahatan yang dilakukannya, diambillah dosa-dosa orang yang dijahatinya itu dan ditimpakan kepadanya, lalu dia dilempar ke dalam neraka’.” (HR. Muslim no. 2581)
Itulah salah satu potret buruk orang yang tak memedulikan halal dan haram dalam kehidupannya. Menghalalkan segala cara demi meloloskan kehendak hawa nafsunya. Kadang kala dengan mencela orang lain, menuduhnya, memakan hartanya, memukulnya, bahkan membunuhnya. Akhirnya menjadi muflis dan merugi di akhirat walaupun dia datang dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Wallahul Musta’an
Merujuk dari hadith di atas, maka setiap muslim dan muslimah wajib memerhatikan yang halal dan yang haram dalam kehidupannya. Yang halal diraih dan yang haram ditinggalkan. Dengannya, dia akan hidup bahagia di dunia, dan di akhirat kelak tidak termasuk orang yang muflis dan merugi.
Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam mengingatkan umatnya bahawa makanan, minuman, dan pakaian yang diperoleh dari hasil yang haram sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan dan agama seseorang. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam:
 “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala itu Mahabaik (Suci), tidaklah menerima kecuali sesuatu yang baik. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala  perintahkan kepada para rasul.
 يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Wahai Rasul-rasul, makanlah dari benda-benda yang baik lagi halal dan kerjakanlah amal-amal soleh; sesungguhnya Aku Maha Mengetahui akan apa yang kamu kerjakan”. (Surah Al-Mukminun: 51)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman lagi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari benda-benda yang baik (yang halal) yang telah Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika betul kamu hanya beribadat kepadaNya”. (Surah Al-Baqarah: 172)
 Kemudian Rasulullah  Shallahu ‘Alaihi Wassalam  menyebutkan tentang seorang laki-laki yang sedang melakukan perjalanan jauh (safar), dalam keadaan rambutnya acak-acakan dan tubuhnya dipenuhi debu, lalu menengadahkan tangannya ke langit (seraya) berdoa, ‘Ya Rabbi! Ya Rabbi!’ Sementara itu, makanannya dari hasil yang haram, minumannya dari hasil yang haram, pakaiannya dari hasil yang haram, dan (badannya) tumbuh berkembang dari hasil yang haram. Maka mana mungkin doanya akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala?” (HR. Muslim no. 1015, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang laki-laki (yang disebutkan dalam hadith di atas, -pen.) mempunyai empat kriteria (dikabulkannya sebuah doa),
1. Dia sedang melakukan perjalanan (safar) yang jauh, dan safar merupakan salah satu waktu dikabulkannya sebuah doa.
2. Rambutnya acak-acakan dan tubuhnya dipenuhi oleh debu, ini juga salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa.
3. Menengadahkan tangannya ke langit, dan ini pun merupakan salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa.
4. Dia berdoa dengan menyeru, ‘Ya Rabbi! Ya Rabbi!’, yang merupakan tawassul dengan kekuasaan (rububiyyah) Allah
Subhanahu wa Ta'ala.  Ini pun salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa.
Namun, doanya tidak dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena makanannya dari hasil yang haram, pakaiannya dari hasil yang haram, dan (badannya) pun tumbuh berkembang dari hasil yang haram.” (Diringkas dari Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)
Subhanallah… Betapa besarnya pengaruh makanan, minuman, dan pakaian yang diperoleh dari hasil yang haram bagi kehidupan seseorang. Doa dan permohonannya tak lagi didengar oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Lalu, ke manakah dia akan mengadukan berbagai permasalahannya?! Kepada siapakah dia akan meminta perlindungan dan pertolongan?! Betapa meruginya dia. Betapa sengsaranya dia, manakala Allah Subhanahu wa Ta'ala  Rabb semesta alam ini telah berlepas diri darinya.
Penentuan Halal dan Haram adalah Hak Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallahu ‘Alaihi Wassalam  
Kalau kebahagiaan di dunia dan di akhirat dapat diraih dengan sikap penuh perhatian terhadap yang halal dan yang haram dalam kehidupan ini, maka apa piawai yang halal dan yang haram itu, dan siapakah yang berhak menentukannya?
Piawain halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya  Shallahu ‘Alaihi Wassalam  dan piawai haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah  Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallahu ‘Alaihi Wassalam.
Dengan demikian, yang berhak menentukan halal dan haram itu adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallahu ‘Alaihi Wassalam. Mengapa?
Ya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala  adalah Pencipta, Pengatur, dan Penguasa alam semesta ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Mengetahui segala yang baik dan yang buruk bagi para hamba-Nya. Sehingga Dia-lah yang Maha Berhak untuk menentukan apa yang halal dan yang haram bagi para hamba-Nya, serta memilihkan apa yang terbaik bagi kehidupan mereka sesuai dengan hikmah dan kasih sayang-Nya yang sempurna. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dirancangkan berlakunya dan Dialah juga yang memilih (satu-satu dari makhlukNya untuk sesuatu tugas atau keutamaan dan kemuliaan); tidaklah layak dan tidaklah berhak bagi sesiapapun memilih (selain dari pilihan Allah). Maha Suci Allah dan Maha Tinggilah keadaanNya dari apa yang mereka sekutukan denganNya.” (Surah Al-Qasas:68)
Adapun Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam beliau adalah manusia terbaik yang diutus oleh Allah  Subhanahu wa Ta'ala  kepada seluruh umat manusia untuk menyampaikan agama yang benar dan pedoman hidup terbaik bagi mereka
Beliau Shallahu ‘Alaihi Wassalam  tiada bertutur kata selain berdasarkan wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Subhanahu wa Ta'ala  berfirman:
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
“Dan dia tidak memperkatakan (sesuatu yang berhubung dengan agama Islam) menurut kemahuan dan pendapatnya sendiri. Segala yang diperkatakannya itu (samada Al-Quran atau hadis) tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (Surah An-Najm: 3—4)
Dengan demikian, segala yang datang dari Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam  harus diambil dan apa yang dilarang oleh beliau Shallahu ‘Alaihi Wassalam  harus ditinggalkan, termasuk yang bertalian dengan permasalahan halal dan haram.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
 وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan apa jua perintah yang dibawa oleh Rasulullah (s.a.w) kepada kamu maka terimalah serta amalkan dan apa jua yang dilarangNya kamu melakukannya maka patuhilah laranganNya dan bertakwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah amatlah berat azab seksaNya (bagi orang-orang yang melanggar perintahNya).(Surah Al-Hasyr: 7)
Kewajiban Menyambut Ketetapan Allah Subhanahu wa Ta'ala  dan Rasul-Nya Shallahu ‘Alaihi Wassalam  
Di antara konsekuensi (akibat –dari suatu perbuatan) keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala  dan Rasul-Nya Shallahu ‘Alaihi Wassalam  adalah menerima dengan lapang dada segala ketetapan dari keduanya, termasuk dalam permasalahan yang bertalian dengan halal dan haram. Tidak sepatutnya seorang mukmin dan mukminah memilih selainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah harus bagi orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan apabila Allah dan RasulNya menetapkan keputusan mengenai sesuatu perkara (tidaklah harus mereka) mempunyai hak memilih ketetapan sendiri mengenai urusan mereka. Dan sesiapa yang tidak taat kepada hukum Allah dan RasulNya maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang jelas nyata”. (al-Ahzab: 36)
Dengan demikian, menerima segala ketetapan Allah Subhanahu wa Ta'ala  dan Rasul-Nya Shallahu ‘Alaihi Wassalam  adalah kewajiban setiap insan yang beriman. Bukankah dengan itu akan tercipta kehidupan yang berbahagia?!
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sahut dan sambutlah seruan Allah dan seruan RasulNya apabila Dia menyeru kamu kepada perkara-perkara yang menjadikan kamu hidup sempurna dan ketahuilah bahawa sesungguhnya Allah berkuasa mengubah atau menyekat di antara seseorang itu dengan (pekerjaan) hatinya dan sesungguhnya kepadaNyalah kamu akan dihimpunkan”. (Surah Al-Anfal: 24)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam ceramah agama yang bertajuk asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa Mahasinuha wa Dharuratu al-Basyar Ilaiha mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta'ala  menjadikan sikap menyambut seruan Allah  Subhanahu wa Ta'ala  dan Rasul-Nya sebagai kehidupan, dan sikap enggan menyambut seruan tersebut sebagai kematian. Dengan demikian, jelaslah bahawa syariat Islam adalah kehidupan bagi umat dan pangkal kebahagiaan mereka. Sungguh, tidak ada kehidupan dan kebahagiaan bagi mereka tanpa itu semua.”
Namun, ada kelompok sesat yang mencukupkan diri dengan ketetapan halal dan haram yang terdapat dalam al-Qur’an serta tak mau mengambil ketetapan halal dan haram dari Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam . Padahal telah diketahui bersama bahawa ketetapan beliau Shallahu ‘Alaihi Wassalam  itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala . Kelompok sesat itu menamakan diri dengan “Qur’aniyyun” (orang-orang yang berpegang teguh dengan al-Qur’an), padahal realitasnya mereka tidak sepenuhnya berpegang teguh dengan al-Qur’an. Buktinya, ayat-ayat al-Qur’an seputar ketaatan mutlak kepada Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam  termasuk dalam hal ketetapan halal dan haram mereka ingkari. Sungguh, mereka lebih tepat disebut “Munkirussunnah” (kelompok ingkar sunnah). Jauh-jauh hari Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam telah menyebut-nyebut mereka.
“Ingatlah, sungguh aku telah diberi (oleh Allah  Subhanahu wa Ta'ala , pen.) al-Kitab sekaligus yang semisal dengannya (al-Hadith, pen.). Ingatlah, sungguh akan ada seorang laki-laki yang kenyang perutnya sambil bertelekan di atas sofanya mengatakan, ‘Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan al-Qur’an ini. Apa yang kalian dapati padanya berupa sesuatu yang halal maka halalkanlah, dan apa yang kalian dapati padanya berupa sesuatu yang haram maka haramkanlah.’ Dan (ingatlah) sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam  itu seperti apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala  ….” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari sahabat al-Miqdam bin Ma’diy Karib z. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Misykatul Mashabih no. 163)
Menurut al-Imam ath-Thibi rahimahullah, pada pengulangan kalimat peringatan (kata: ingatlah, pen.) mengandung celaan dan herdikan (kata-kata yang kasar) yang didasari oleh kemarahan beliau Shallahu ‘Alaihi Wassalam  yang sangat besar terhadap orang yang meninggalkan as-Sunnah/al-Hadith dan tidak mau beramal dengannya, karena merasa cukup dengan al-Qur’an.
Lantas bagaimana halnya dengan orang yang mengedepankan logikanya daripada as-Sunnah/al-Hadits?!
Al-Imam al-Abhari rahimahullah  menjelaskan bahawa apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam  di luar al-Qur’an maka secara kedudukan sama dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala haramkan dalam al-Qur’an.
Demikian pula al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menegaskan bahawa apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam  hakikatnya sama dengan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala . (Lihat Tuhfatul Ahwadzi 7/356)
Menyikapi Isu Halal dan Haram
Seringkali umat Islam dibuat bingung dengan pro-kontra hukum (baca: isu halal dan haram) tentang beberapa produk makanan, minuman, obat-obatan, ataupun yang lebih luas dari itu. Bagaimanakah sikap yang benar dalam permasalahan ini?
Sikap yang benar dalam masalah ini adalah sebagai berikut.
1. Menyakini bahawa Islam adalah agama yang sempurna.
Semua ajaran dan aturannya telah tertata dengan sebaik-baiknya. Tak luput pula permasalahan halal dan haram yang ada di tengah kehidupan umat manusia. Semuanya telah ada penjelasannya. Ada yang halal dan jelas kehalalannya, ada yang haram dan jelas keharamannya, dan ada pula yang syubhat (samar) hukumnya bagi sebagian manusia namun tidak syubhat (samar) bagi sebagian lainnya.
Tentang hal ini, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam  bersabda:
“Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barang siapa menjauhi perkara-perkara yang syubhat (samar) sungguh telah melakukan penjagaan terhadap agama dan kehormatannya. Barang siapa terjatuh dalam perkara-perkara yang syubhat (samar) nescaya akan terjatuh dalam sesuatu yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar hima (kebun hijau milik pemerintah yang tak sembarang orang boleh memasukinya), suatu saat dia akan tergoda untuk menggembalakan (hewan gembalaannya) di lokasi tersebut. Ingatlah setiap raja itu mempunyai hima, dan hima milik Allah Subhanahu wa Ta'ala ladalah hal-hal yang diharamkan-Nya….” (HR. al-Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599, dari sahabat an-Nu’man bin Basyir )
2. Terhadap sesuatu yang telah jelas kehalalan dan keharamannya, setiap muslim dan muslimah harus mengikuti ketetapan yang ada dalam syariat ini.
Dengan itu, seseorang akan dimudahkan masuk ke dalam al-Jannah (surga). Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“(Suatu hari) an-Nu’man bin Qauqal  datang kepada  Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam  seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku menegakkan shalat lima waktu, aku haramkan sesuatu yang haram dan aku halalkan sesuatu yang halal, apakah aku boleh masuk al-Jannah (surga)?’ Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam  bersabda, ‘Ya’.” (HR. Muslim no. 16)
3. Adapun masalah yang syubhat (samar) dan menjadi pro-kontra di tengah umat, maka setiap muslim dan muslimah tidak boleh bermudah-mudahan mengatakan (secara dusta) bahawa ini halal dan ini haram, kemudian menyandarkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا
عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu berdusta dengan sebab apa yang disifatkan oleh lidah kamu: Ini halal dan ini haram, untuk mengada-adakan sesuatu yang dusta terhadap Allah; sesungguhnya orang-orang yang berdusta terhadap Allah tidak akan Berjaya”. (Surah An-Nahl: 116)
4. Kita tidak boleh larut dengan isu halal dan haram tersebut, apalagi tergesa-gesa menyiarkannya tanpa tatsabbut (klarifikasi) dan bimbingan ulama.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ
رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا 
فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila datang kepada mereka sesuatu berita mengenai keamanan atau kecemasan, mereka terus menghebahkannya; padahal kalau mereka kembalikan sahaja hal itu kepada Rasulullah dan kepada "Ulil-Amri" (orang-orang yang berkuasa) di antara mereka, tentulah hal itu dapat diketahui oleh orang-orang yang layak mengambil keputusan mengenainya di antara mereka dan jika tidaklah kerana limpah kurnia Allah dan belas kasihanNya kepada kamu, tentulah kamu (terbabas) menurut Syaitan kecuali sedikit sahaja (iaitu orang-orang yang teguh imannya dan luas ilmunya di antara kamu)”. (Surah An-Nisa’: 83)
Al Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini adalah teguran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk para hamba-Nya tentang perbuatan mereka yang tidak patut. Seyogianya, ketika datang kepada mereka suatu berita penting dan terkait dengan kemaslahatan bersama, baik yang berkaitan dengan keamanan dan hal yang menggembirakan kaum mukminin, maupun berkaitan dengan ketakutan yang merupakan musibah bagi mereka, hendaknya mereka melakukan tatsabbut (klarifikasi) dan tidak tergesa-gesa menyiarkan berita tersebut. Bahkan, hendaknya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, iaitu orang-orang yang mempunyai idea (pemikiran) cemerlang, berilmu, kaya nasihat, cerdas, objektif, dapat memahami masalah dengan baik, serta mengetahui kadar maslahat dan mafsadah. Jika mereka (Rasul dan ulil amri) memandang bahawa disiarkannya berita tersebut berbuah maslahat, mengangkat mental kaum mukminin, menggembirakan hati mereka, dan lebih menjaga dari musuh-musuh mereka, hendaknya berita tersebut disiarkan. Namun, jika mereka (Rasul dan ulil amri) memandang bahawa disiarkannya berita tersebut tidak berbuah maslahat ( sesuatu yang mendatangkan kebaikan)atau ada maslahatnya tetapi mudaratnya lebih besar daripada maslahatnya, berita tersebut tidak boleh disiarkan.” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 90)
5. Mengembalikan masalah yang syubhat (samar) dan menjadi pro-kontra di tengah umat itu kepada para ulama mumpuni (ulil amri) dengan menanyakannya kepada mereka dan mengikuti bimbingan mereka dengan sebaik-baiknya.
Perkara ini sebagaimana dituntunkan oleh al-Qur’an dalan surat an-Nisa’ ayat 83 di atas dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut ini.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (Surah An-Nahl: 43)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Selagi para ulama masih ada, umat pun masih dalam kebaikan. Para syaitan dari kalangan jin dan manusia tidak akan leluasa untuk menyesatkan mereka. Sebab, para ulama itu tidak akan berdiam diri untuk menerangkan jalan kebaikan dan kebenaran, sebagaimana halnya mereka akan selalu memperingatkan umat dari jalan kebinasaan.” (Ma Yajibu Fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hlm. 7)
Mudah-mudahan kajian “Manhaj” ini bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam menyikapi isu halal dan haram yang merebak di tengah umat.   Wallahu a’lam bish-shawab.
(Disalin dari Majalah Asysyariah - ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi - di-edit oleh: HAR)

No comments: