Ada Apa dengan Halal Haram?
Manusia seringkali lupa daratan. Statusnya sebagai makhluk dan
hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala seringkali
bias dalam kepribadian. Makna kehidupan yang hakikatnya adalah berserah diri kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan
mentauhidkan-Allah Subhanahu wa Ta’ala,
tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan penuh ketaatan, serta berlepas
diri dari kesyirikan dan para pelakunya seringkali terlupakan dalam kehidupan.
Halal dan haram tak lagi dipedulikan. Yang penting senang, yang penting puas,
walaupun harus melanggar berbagai aturan. Padahal hidup di dunia ini hanya
sekali, sudah semestinya hidup yang berarti.
Demikianlah di antara
“kenakalan” manusia dalam menjalani roda kehidupan. Semua ini mengingatkan kita
akan sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam ,
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ
مِنْهُ، أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَام
“Akan datang kepada
manusia suatu masa, yang ketika seseorang tidak lagi memedulikan sesuatu yang
diraihnya, apakah dari hasil yang halal ataukah dari hasil yang haram.” (HR. al-Bukhari no. 2059,
dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu)
“Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam berkata, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang
muflis itu?’ Para sahabat menjawab, ‘Setahu
kami orang yang muflis itu adalah orang yang tak punya harta benda.’ Maka
Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wassalam menjelaskan, ‘Sesungguhnya orang yang muflis dari
umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat,
puasa, dan zakat, namun dia juga membawa catatan dosa; mencela si ini,
menuduh si ini, memakan harta si ini, membunuh si ini, dan memukul si ini.
Akhirnya, pahala kebaikan yang dimilikinya diberikan kepada masing-masing orang
yang dijahatinya itu (sebagai balasannya). Manakala pahala kebaikannya itu
tidak mencukupi untuk menebus dosa kejahatan yang dilakukannya, diambillah
dosa-dosa orang yang dijahatinya itu dan ditimpakan kepadanya, lalu dia
dilempar ke dalam neraka’.” (HR. Muslim no. 2581)
Itulah salah satu potret buruk orang yang tak memedulikan halal
dan haram dalam kehidupannya. Menghalalkan segala cara demi meloloskan kehendak
hawa nafsunya. Kadang kala dengan mencela orang lain, menuduhnya, memakan
hartanya, memukulnya, bahkan membunuhnya. Akhirnya menjadi muflis dan merugi di
akhirat walaupun dia datang dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat.
Wallahul Musta’an
Merujuk dari hadith di
atas, maka setiap muslim dan muslimah wajib memerhatikan yang halal dan yang
haram dalam kehidupannya. Yang halal diraih dan yang haram ditinggalkan.
Dengannya, dia akan hidup bahagia di dunia, dan di akhirat kelak tidak termasuk
orang yang muflis dan merugi.
Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam mengingatkan
umatnya bahawa makanan, minuman, dan pakaian yang diperoleh dari hasil yang
haram sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan dan agama seseorang. Sebagaimana
dalam sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam:
“Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala
itu Mahabaik (Suci), tidaklah menerima kecuali sesuatu yang baik. Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan kepada para rasul.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Wahai Rasul-rasul, makanlah dari benda-benda yang baik lagi halal dan kerjakanlah amal-amal soleh; sesungguhnya Aku Maha Mengetahui akan apa yang kamu kerjakan”. (Surah Al-Mukminun: 51)
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman lagi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah
dari benda-benda yang baik (yang halal) yang telah Kami berikan kepada kamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika betul kamu hanya beribadat kepadaNya”. (Surah Al-Baqarah: 172)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
rahimahullah berkata, “Seorang
laki-laki (yang disebutkan dalam hadith di atas, -pen.) mempunyai empat
kriteria (dikabulkannya sebuah doa),
1. Dia sedang melakukan
perjalanan (safar) yang jauh, dan safar merupakan salah satu waktu
dikabulkannya sebuah doa.
2. Rambutnya acak-acakan dan tubuhnya dipenuhi oleh debu, ini juga salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa.
3. Menengadahkan tangannya ke langit, dan ini pun merupakan salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa.
4. Dia berdoa dengan menyeru, ‘Ya Rabbi! Ya Rabbi!’, yang merupakan tawassul dengan kekuasaan (rububiyyah) AllahSubhanahu wa Ta'ala. Ini pun salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa.
2. Rambutnya acak-acakan dan tubuhnya dipenuhi oleh debu, ini juga salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa.
3. Menengadahkan tangannya ke langit, dan ini pun merupakan salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa.
4. Dia berdoa dengan menyeru, ‘Ya Rabbi! Ya Rabbi!’, yang merupakan tawassul dengan kekuasaan (rububiyyah) AllahSubhanahu wa Ta'ala. Ini pun salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa.
Namun, doanya tidak dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena makanannya dari hasil yang
haram, pakaiannya dari hasil yang haram, dan (badannya) pun tumbuh berkembang
dari hasil yang haram.” (Diringkas dari Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, karya
asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)
Subhanallah… Betapa besarnya pengaruh makanan, minuman, dan
pakaian yang diperoleh dari hasil yang haram bagi kehidupan seseorang. Doa dan
permohonannya tak lagi didengar oleh Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Lalu, ke manakah dia akan mengadukan berbagai permasalahannya?!
Kepada siapakah dia akan meminta perlindungan dan pertolongan?! Betapa
meruginya dia. Betapa sengsaranya dia, manakala Allah Subhanahu wa Ta'ala Rabb semesta alam ini telah berlepas diri
darinya.
Penentuan Halal dan Haram adalah Hak Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallahu ‘Alaihi Wassalam
Kalau kebahagiaan di dunia dan di akhirat dapat diraih dengan
sikap penuh perhatian terhadap yang halal dan yang haram dalam kehidupan ini,
maka apa piawai yang halal dan yang haram itu, dan siapakah yang berhak
menentukannya?
Piawain halal
adalah apa yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallahu
‘Alaihi Wassalam dan piawai haram adalah apa yang diharamkan oleh
Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallahu ‘Alaihi Wassalam.
Dengan demikian, yang
berhak menentukan halal dan haram itu adalah Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallahu ‘Alaihi Wassalam. Mengapa?
Ya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
adalah Pencipta, Pengatur,
dan Penguasa alam semesta ini. Allah Subhanahu
wa Ta'ala Maha Mengetahui segala yang baik dan yang buruk bagi para
hamba-Nya. Sehingga Dia-lah yang Maha Berhak untuk menentukan apa yang halal
dan yang haram bagi para hamba-Nya, serta memilihkan apa yang terbaik bagi
kehidupan mereka sesuai dengan hikmah dan kasih sayang-Nya yang sempurna. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا
يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى
عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan
Tuhanmu menciptakan apa yang dirancangkan berlakunya dan Dialah juga yang
memilih (satu-satu dari makhlukNya untuk sesuatu tugas atau keutamaan dan
kemuliaan); tidaklah layak dan tidaklah berhak bagi sesiapapun memilih (selain
dari pilihan Allah). Maha Suci Allah dan Maha Tinggilah keadaanNya dari apa
yang mereka sekutukan denganNya.” (Surah Al-Qasas:68)
Adapun Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wassalam beliau adalah manusia terbaik yang diutus oleh
Allah Subhanahu
wa Ta'ala kepada seluruh
umat manusia untuk menyampaikan agama yang benar dan pedoman hidup terbaik bagi
mereka
Beliau Shallahu ‘Alaihi Wassalam tiada bertutur kata selain berdasarkan wahyu
yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنْ هُوَ
إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
“Dan dia tidak memperkatakan (sesuatu yang
berhubung dengan agama Islam) menurut kemahuan dan pendapatnya sendiri. Segala
yang diperkatakannya itu (samada Al-Quran atau hadis) tidak lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan kepadanya”. (Surah An-Najm: 3—4)
Dengan demikian, segala
yang datang dari Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam harus diambil dan apa yang dilarang oleh
beliau Shallahu
‘Alaihi Wassalam harus
ditinggalkan, termasuk yang bertalian dengan permasalahan halal dan haram.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala :
وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan apa jua perintah yang dibawa oleh
Rasulullah (s.a.w) kepada kamu maka terimalah serta amalkan dan apa jua yang
dilarangNya kamu melakukannya maka patuhilah laranganNya dan bertakwalah kamu
kepada Allah; sesungguhnya Allah amatlah berat azab seksaNya (bagi orang-orang
yang melanggar perintahNya).(Surah Al-Hasyr: 7)
Kewajiban Menyambut Ketetapan Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallahu
‘Alaihi Wassalam
Di antara konsekuensi
(akibat –dari suatu perbuatan) keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallahu ‘Alaihi Wassalam adalah menerima dengan lapang dada segala
ketetapan dari keduanya, termasuk dalam permasalahan yang bertalian dengan
halal dan haram. Tidak sepatutnya seorang mukmin dan mukminah memilih
selainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ
وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ
مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ
يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah harus bagi orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan apabila Allah dan RasulNya menetapkan keputusan
mengenai sesuatu perkara (tidaklah harus mereka) mempunyai hak memilih
ketetapan sendiri mengenai urusan mereka. Dan sesiapa yang tidak taat kepada
hukum Allah dan RasulNya maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan
yang jelas nyata”. (al-Ahzab: 36)
Dengan demikian, menerima segala ketetapan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallahu ‘Alaihi Wassalam adalah
kewajiban setiap insan yang beriman. Bukankah dengan itu akan tercipta
kehidupan yang berbahagia?!
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ
لِمَا يُحْيِيكُمْ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sahut dan
sambutlah seruan Allah dan seruan RasulNya apabila Dia menyeru kamu kepada
perkara-perkara yang menjadikan kamu hidup sempurna dan ketahuilah bahawa
sesungguhnya Allah berkuasa mengubah atau menyekat di antara seseorang itu
dengan (pekerjaan) hatinya dan sesungguhnya kepadaNyalah kamu akan
dihimpunkan”.
(Surah Al-Anfal: 24)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
dalam ceramah agama yang bertajuk asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa Mahasinuha wa
Dharuratu al-Basyar Ilaiha mengatakan, “Allah Subhanahu
wa Ta'ala menjadikan sikap
menyambut seruan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
Rasul-Nya sebagai kehidupan, dan sikap enggan menyambut seruan tersebut sebagai
kematian. Dengan demikian, jelaslah bahawa syariat Islam adalah kehidupan bagi
umat dan pangkal kebahagiaan mereka. Sungguh, tidak ada kehidupan dan
kebahagiaan bagi mereka tanpa itu semua.”
Namun, ada kelompok sesat yang mencukupkan diri dengan ketetapan
halal dan haram yang terdapat dalam al-Qur’an serta tak mau mengambil ketetapan
halal dan haram dari Rasulullah Shallahu ‘Alaihi
Wassalam . Padahal telah diketahui bersama bahawa ketetapan beliau Shallahu ‘Alaihi Wassalam itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala . Kelompok
sesat itu menamakan diri dengan “Qur’aniyyun” (orang-orang yang berpegang teguh
dengan al-Qur’an), padahal realitasnya mereka tidak sepenuhnya berpegang teguh
dengan al-Qur’an. Buktinya, ayat-ayat al-Qur’an seputar ketaatan mutlak kepada
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam termasuk dalam hal ketetapan halal dan haram mereka
ingkari. Sungguh, mereka lebih tepat disebut “Munkirussunnah” (kelompok ingkar
sunnah). Jauh-jauh hari Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wassalam telah menyebut-nyebut mereka.
“Ingatlah, sungguh aku telah diberi (oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
, pen.) al-Kitab sekaligus yang semisal dengannya (al-Hadith,
pen.). Ingatlah, sungguh akan ada seorang laki-laki yang kenyang perutnya
sambil bertelekan di atas sofanya mengatakan, ‘Wajib bagi kalian berpegang
teguh dengan al-Qur’an ini. Apa yang kalian dapati padanya berupa sesuatu yang
halal maka halalkanlah, dan apa yang kalian dapati padanya berupa sesuatu yang
haram maka haramkanlah.’ Dan (ingatlah) sesungguhnya apa yang diharamkan oleh
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam itu seperti apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ….”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari sahabat al-Miqdam bin Ma’diy Karib z.
Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Misykatul Mashabih no. 163)
Menurut al-Imam ath-Thibi rahimahullah,
pada pengulangan kalimat peringatan (kata: ingatlah, pen.) mengandung celaan
dan herdikan (kata-kata yang kasar) yang didasari oleh kemarahan beliau Shallahu ‘Alaihi Wassalam yang sangat besar terhadap orang yang meninggalkan
as-Sunnah/al-Hadith dan tidak mau beramal dengannya, karena merasa cukup dengan al-Qur’an.
Lantas bagaimana halnya dengan orang yang mengedepankan logikanya
daripada as-Sunnah/al-Hadits?!
Al-Imam al-Abhari rahimahullah menjelaskan bahawa apa yang diharamkan oleh
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam di luar al-Qur’an maka secara kedudukan sama
dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala
haramkan dalam al-Qur’an.
Demikian pula al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menegaskan bahawa apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam hakikatnya sama dengan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala . (Lihat Tuhfatul Ahwadzi 7/356)
Demikian pula al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menegaskan bahawa apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam hakikatnya sama dengan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala . (Lihat Tuhfatul Ahwadzi 7/356)
Menyikapi Isu Halal dan Haram
Seringkali umat Islam dibuat bingung dengan pro-kontra hukum
(baca: isu halal dan haram) tentang beberapa produk makanan, minuman,
obat-obatan, ataupun yang lebih luas dari itu. Bagaimanakah sikap yang benar
dalam permasalahan ini?
Sikap yang benar dalam masalah ini adalah sebagai berikut.
1. Menyakini bahawa Islam adalah agama yang sempurna.
Semua ajaran dan aturannya
telah tertata dengan sebaik-baiknya. Tak luput pula permasalahan halal dan
haram yang ada di tengah kehidupan umat manusia. Semuanya telah ada
penjelasannya. Ada
yang halal dan jelas kehalalannya, ada yang haram dan jelas keharamannya, dan
ada pula yang syubhat (samar) hukumnya bagi sebagian manusia namun tidak
syubhat (samar) bagi sebagian lainnya.
Tentang hal ini, Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah
jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (samar) yang tidak
diketahui oleh banyak orang. Maka barang siapa menjauhi perkara-perkara yang
syubhat (samar) sungguh telah melakukan penjagaan terhadap agama dan
kehormatannya. Barang siapa terjatuh dalam perkara-perkara yang syubhat (samar)
nescaya akan terjatuh dalam sesuatu yang haram, seperti seorang penggembala
yang menggembala di sekitar hima (kebun hijau milik pemerintah yang tak sembarang orang boleh
memasukinya), suatu saat dia akan tergoda untuk menggembalakan (hewan
gembalaannya) di lokasi tersebut. Ingatlah setiap raja itu mempunyai hima, dan hima milik Allah Subhanahu wa Ta'ala ladalah hal-hal yang diharamkan-Nya….”
(HR. al-Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599, dari sahabat an-Nu’man bin Basyir )
2. Terhadap sesuatu yang
telah jelas kehalalan dan keharamannya, setiap muslim dan muslimah harus
mengikuti ketetapan yang ada dalam syariat ini.
Dengan itu, seseorang akan dimudahkan masuk ke dalam al-Jannah
(surga). Dari sahabat Jabir radhiyallahu
‘anhu, ia berkata:
“(Suatu hari) an-Nu’man bin Qauqal
datang kepada Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana
pendapatmu jika aku menegakkan shalat lima waktu, aku haramkan sesuatu yang
haram dan aku halalkan sesuatu yang halal, apakah aku boleh masuk al-Jannah
(surga)?’ Rasulullah Shallahu ‘Alaihi
Wassalam bersabda, ‘Ya’.” (HR.
Muslim no. 16)
3. Adapun masalah yang syubhat (samar) dan menjadi pro-kontra di
tengah umat, maka setiap muslim dan muslimah tidak boleh bermudah-mudahan
mengatakan (secara dusta) bahawa ini halal dan ini haram, kemudian
menyandarkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا
تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا
عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ
إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu berdusta dengan sebab
apa yang disifatkan oleh lidah kamu: Ini halal dan ini haram, untuk
mengada-adakan sesuatu yang dusta terhadap Allah; sesungguhnya orang-orang yang
berdusta terhadap Allah tidak akan Berjaya”. (Surah An-Nahl: 116)
4. Kita tidak boleh larut dengan isu halal dan haram tersebut,
apalagi tergesa-gesa menyiarkannya tanpa tatsabbut (klarifikasi) dan bimbingan
ulama.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ
مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ
رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ
وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ
مِنْهُمْ وَلَوْلَا
فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila datang kepada mereka sesuatu
berita mengenai keamanan atau kecemasan, mereka terus menghebahkannya; padahal
kalau mereka kembalikan sahaja hal itu kepada Rasulullah dan kepada
"Ulil-Amri" (orang-orang yang berkuasa) di antara mereka, tentulah
hal itu dapat diketahui oleh orang-orang yang layak mengambil keputusan
mengenainya di antara mereka dan jika tidaklah kerana limpah kurnia Allah dan
belas kasihanNya kepada kamu, tentulah kamu (terbabas) menurut Syaitan kecuali
sedikit sahaja (iaitu orang-orang yang teguh imannya dan luas ilmunya di antara
kamu)”. (Surah
An-Nisa’: 83)
Al Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini adalah
teguran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala
untuk para hamba-Nya tentang perbuatan mereka yang tidak patut. Seyogianya,
ketika datang kepada mereka suatu berita penting dan terkait dengan
kemaslahatan bersama, baik yang berkaitan dengan keamanan dan hal yang
menggembirakan kaum mukminin, maupun berkaitan dengan ketakutan yang merupakan musibah bagi mereka, hendaknya mereka
melakukan tatsabbut (klarifikasi) dan tidak tergesa-gesa menyiarkan berita
tersebut. Bahkan, hendaknya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di
antara mereka, iaitu orang-orang yang mempunyai idea (pemikiran) cemerlang,
berilmu, kaya nasihat, cerdas, objektif, dapat memahami masalah dengan baik,
serta mengetahui kadar maslahat dan mafsadah. Jika mereka (Rasul dan ulil amri)
memandang bahawa disiarkannya berita tersebut berbuah maslahat, mengangkat
mental kaum mukminin, menggembirakan hati mereka, dan lebih menjaga dari
musuh-musuh mereka, hendaknya berita tersebut disiarkan. Namun, jika mereka
(Rasul dan ulil amri) memandang bahawa disiarkannya berita tersebut tidak
berbuah maslahat ( sesuatu yang mendatangkan kebaikan)atau ada maslahatnya
tetapi mudaratnya lebih besar daripada maslahatnya, berita tersebut tidak boleh
disiarkan.” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 90)
5. Mengembalikan masalah
yang syubhat (samar) dan menjadi pro-kontra di tengah umat itu kepada para
ulama mumpuni (ulil amri) dengan menanyakannya kepada mereka dan mengikuti
bimbingan mereka dengan sebaik-baiknya.
Perkara ini sebagaimana dituntunkan oleh al-Qur’an dalan surat an-Nisa’ ayat 83 di
atas dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
berikut ini.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kalian
tidak mengetahui.” (Surah An-Nahl: 43)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Selagi para ulama masih ada, umat pun masih dalam kebaikan. Para
syaitan dari kalangan jin dan manusia tidak akan leluasa untuk menyesatkan
mereka. Sebab, para ulama itu tidak akan berdiam diri untuk menerangkan jalan
kebaikan dan kebenaran, sebagaimana halnya mereka akan selalu memperingatkan
umat dari jalan kebinasaan.” (Ma Yajibu Fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hlm. 7)
Mudah-mudahan kajian “Manhaj” ini bermanfaat bagi kita semua,
terutama dalam menyikapi isu halal dan haram yang merebak di tengah umat. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Disalin dari Majalah Asysyariah - ditulis
oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi - di-edit oleh: HAR)
No comments:
Post a Comment