Jangan
Hanya Taklid Buta! & Jangan Menolak Kebenaran
Agama
Islam memerintahkan para pemeluknya untuk mengikuti dalil dan tidak
memperkenankan seorang untuk bertaklid (baca: mengekor/membeo) kecuali
dalam keadaan
darurat (mendesak), iaitu tatkala seorang tidak mampu mengetahui dan mengenal
dalil dengan pasti. Hal
ini berlaku dalam seluruh permasalahan agama, baik yang terkait dengan akidah
maupun hukum (fikih).
Oleh
karena itu, seorang yang mampu berijtihad dalam permasalahan fikih, misalnya,
tidak diperkenankan untuk bertaklid. Demikian pula seorang yang mampu untuk
meneliti berbagai nash-nash syari’at yang terkait dengan permasalahan akidah,
tidak diperbolehkan untuk bertaklid.
Mengapa
Taklid Tidak Diperkenankan?
Agama ini tidak
memperkenankan seorang untuk bertaklid pada suatu pendapat tanpa memperhatikan
dalilnya. Hal ini dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama: Allah ta’alla memerintahkan
para hamba-Nya untuk memikirkan (bertafakkur) dan merenungi (bertadabbur)
ayat-ayat-Nya. Allah ta’alla berfirman:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(iaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran:
190-191).
Kedua: Allah ta’alla mencela
taklid dan kaum musyrikin jahiliyah yang mengekor perbuatan nenek moyang mereka
tanpa didasari ilmu. Allah ta’alla berfirman:
(Tidak ada sebarang bukti bagi mereka) bahkan mereka (hanya berkata): Sesungguhnya kami telah mendapati datuk nenek kami menurut satu jalan agama, dan sesungguhnya kami beroleh pertunjuk jejak mereka sahaja) (QS. Az Zukhruf:22)
Allah ta’alla juga berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai Rabb selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera
Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31).
Ayat
ini turun terkait dengan orang-orang Yahudi yang mempertuhankan para ulama dan
rahib mereka dalam hal ketaatan dan ketundukan. Hal ini dikarenakan mereka
mematuhi ajaran-ajaran ulama dan rahib tersebut dengan membabi buta, walaupun
para ulama dan rahib tersebut memerintahkan kemaksiatan dengan mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram [lihat hadits riwayat.
At-Tirmidzi no. 3096 dari sahabat 'Ady bin Hatim].
Ketiga: Taklid hanya menghasilkan zhan (prasangka) semata dan Allah
telah melarang untuk mengikuti prasangka. Allah ta’alla berfirman:
"Dan jika engkau menurut kebanyakkan orang yang ada di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkan mu dari jalan Allah, tidaklah yang mereka turut melainkan hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan
mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. Al-An’am: 116).
Namun,
yang patut diperhatikan adalah zhan yang
tercela dalam agama ini adalah praduga yang tidak dilandasi ilmu. Adapun zhan yang berlandaskan pengetahuan,
maka ini tergolong sebagai ilmu yang membuahkan keyakinan sebagaimana firman
Allah:
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui
Rabb-nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah:
46).
Inilah
beberapa ayat al-Quran yang menerangkan bahwa taklid buta tidak semestinya
dilakukan oleh seorang muslim dan kewajiban yang mesti dilakukan oleh seorang
muslim adalah mengikuti dalil.
Perkataan Para Imam tentang Taklid
Pertama: Imam Abu
Hanifah rahimahullah, beliau
mengatakan:“Tidak boleh bagi
seorangpun berpendapat dengan pendapat kami hingga dia mengetahui dalil bagi
pendapat tersebut.”
Diriwayatkan juga
bahwa beliau mengatakan: “Haram bagi seorang berfatwa dengan pendapatku
sedang dia tidak mengetahui dalilnya.”
Kedua: Imam Malik bin
Anas rahimahulla, beliau
mengatakan: “Aku hanyalah seorang manusia, terkadang benar dan salah. Maka,
telitilah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan al-Quran dan sunnah
nabi, maka ambillah. Dan jika tidak sesuai dengan keduanya, maka
tinggalkanlah.” (Jami’ Bayan al-’Ilmi
wa Fadhlih 2/32).
Beliau juga
mengatakan: "Setiap orang sesudah nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dapat diambil dan ditinggalkan perkataannya, kecuali perkataan nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jami’
Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 2/91).
Ketiga: Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah, beliau
mengatakan: “Apabila kalian menemukan pendapat di dalam kitabku yang
berseberangan dengan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
ambillah sunnah tersebut dan tinggalkan pendapatku.” (Al-Majmu’ 1/63).
Keempat: Imam Ahmad bin
Hambal rahimahullah, beliau
mengatakan: “Janganlah kalian
taklid kepadaku, jangan pula bertaklid kepada Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i,
tapi ikutilah dalil.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/201;Asy-Syamilah,).
Beberapa
Pertanyaan Seputar Taklid
Mungkin
ada yang bertanya, “Sesungguhnya Allah hanya mencela taklid kepada orang-orang
kafir dan nenek moyang mereka yang tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak
pula berada di atas petunjuk. Allah tidak mencela taqlid orang yang taklid
kepada ulama yang memperoleh petunjuk. Bahkan, Allah memerintahkan untuk
bertanya kepada ahlu adz-dzikr, yaitu ulama. Ini taklid dan disinyalir Allah
dalam firman-Nya:
"Dan tidaklah Kami
mengutus Rasul-Rasul sebelummu (Wahai Muhammad), melainkan dari kalangan
orang-orang lelaki , yang Kami wahyukan kepada mereka. Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS.
An-Nahl: 43).
Jawaban pertanyaan
ini dikemukakan oleh imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah. Beliau mengatakan,
“Sesungguhnya Allah ta’alla mencela orang-orang yang
berpaling dari apa yang diturunkan oleh Allah kemudian bertaklid kepada
perbuatan nenek moyang. Taklid semacam inilah yang dicela dan diharamkan
menurut kesepakatan para ulama salaf dan imam yang empat (Abu Hanifah, Malik,
Ays-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal).Adapun taklid yang dilakukan oleh orang yang
sudah mengerahkan segenap upaya untuk mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah
(dalil), namun sebagian permasalahan luput dari pengetahuannya, kemudian dia
pun bertaklid kepada seseorang yang lebih alim dari dirinya, maka taklid
semacam ini terpuji, tidak dicela, diberi pahala dan tidak berdosa.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/188;Asy-Syamilah,).
Beliau juga pernah
menjawab suatu pertanyaan yang redaksinya sebagai berikut, “Sesungguhnya yang
dicela adalah orang yang bertaklid kepada seorang yang menyesatkan dari jalan
yang lurus, sedangkan bertaklid kepada seorang yang menunjukkan jalan
yang lurus, dimana letak celaan Allah kepada orang tersebut?”
Maka beliau pun
menjawab:
“Jawabannya terdapat pada pertanyaan itu sendiri.
Seorang hamba tidak akan memperoleh petunjuk sampai dia mengikuti apa yang
diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya (dalil). Orang yang bertaklid
(muqallid) ini, apabila dia mengetahui dalil (dari pendapat orang yang
diikutinya), maka dia telah memperoleh petunjuk dan (hakekatnya) dia bukanlah
seorang muqallid. Jika dia tidak mengetahui dalil (pendapat orang yang
diikutinya), maka dia adalah seorang yang jahil (bodoh) dan tersesat dengan
tindakannya yang menerapkan taklid bagi dirinya. Bagaimana bisa dia mengetahui
bahwa dirinya berada di atas petunjuk dalam tindakan taklidnya tersebut? Inilah
jawaban untuk seluruh persoalan yang terdapat dalam bab ini (yaitu bab taklid).
Mereka itu hanya (diperintahkan) untuk bertaklid kepada orang yang berada di
atas petunjuk, sehingga taklid mereka pun berada di atas petunjuk.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/189;Asy-Syamilah,).
Mengikuti Ustadz pun
Harus Berdalil!
Dari pemaparan di
atas, seorang yang mengikuti pendapat seorang imam, seyogyanya dia mengetahui
dalil yang dijadikan sandaran oleh imam tersebut. Sehingga, meski tindakannya
tersebut termasuk ke dalam taklid, namun taklid yang dilakukannya adalah taklid
yang terpuji. Taklid jenis ini, seperti yang dikatakan oleh para ulama, tetap
tergolong sebagai ittiba’ (mengikuti
dalil).
Oleh karenanya,
setiap muslim meskipun dia mengikuti pendapat seorang imam, kyai, ustadz,
ataupun da’i, betapa pun tingginya kedudukan orang tersebut, dia tetap
berkewajiban untuk mengetahui dalil dari al-Quran dan sunnah yang menjadi
landasan orang yang diikutinya tersebut. Inilah kewajiban yang mesti
dilaksanakannya. Terakhir, kami kutip perkataan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah
yang penulis harap bisa menjelaskan kewajiban kita dalam permasalahan ini.
“Oleh karena itu, para ulama berkonsensus, apabila
seorang mengetahui kebenaran, dia tidak boleh bertaklid kepada pendapat seorang
yang berseberangan (dengan kebenaran yang telah diketahuinya). Para ulama hanya berbeda pendapat mengenai legitimasi
taklid yang dilakukan oleh seorang yang mampu untuk berisitidlal (mencari dan
membahas dalil).
Apabila orang
tersebut tidak mampu untuk menampakkan kebenaran yang telah diketahuinya, maka
kondisinya layaknya seorang yang mengetahui agama Islam itu adalah agama yang
benar, namun dia hidup di lingkungan kaum Nasrani. Apabila orang ini
melaksanakan kebenaran sebatas kemampuannya, maka dia tidak disiksa atas
kebenaran yang belum sanggup untuk dikerjakannya. Kondisinya seperti Najasyi
dan semisalnya. Adapun jika dia mengikuti seorang mujtahid dan dia tidak
mampu mengetahui kebenaran secara terperinci serta dirinya setelah dirinya
berusaha dengan sungguh-sungguh, maka dirinya tidaklah disiksa (berdosa), meski
ternyata pendapat mujtahid tadi keliru.
Namun, apabila seorang
mengikuti (pendapat) suatu individu (ustadz, kyai, dan semisalnya) tanpa
mempertimbangkan (pendapat) orang lain (yang semisal dengan individu tadi),
semata-mata karena hawa nafsu dan dia membelanya dengan lisan serta tangannya
tanpa mempertimbangkan bahwa individu tersebut berada dalam kebenaran atau
tidak, maka orang ini tergolong ke dalam kalangan jahiliyah. Meskipun
(pendapat) individu yang diikutinya tersebut benar, amalan yang dikerjakannya
tetap tidak terhitung sebagai amalan yang shalih. Apabila ternyata yang
diikutinya keliru, maka orang (yang bertaklid) tadi berdosa.” (Majmu’ al-Fatawa 7/71;Asy-Syamilah).
Wallahu al-muwaffiq.
Penulis: Muhammad Nur
Ichwan Muslim
Edit: HAR
No comments:
Post a Comment