"Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan tiada aku termasuk di antara orang-orang yang musyrik" (QS Yusuf:108)

24 May, 2012



Kaum Hedonis


Islam adalah ajaran yang sempurna, sebuah sistem dan cara pandang hidup yang lengkap, senang, dan mudah. Islam memberikan tuntunan berkait dengan perkara yang bersifat individu dan yang berkaitan masalah kemasyarakatan. Semua itu telah diatur oleh Islam. 
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, telah Ku-cukupkan untukmu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)

Islam mengajak manusia ke alam nan bercahaya, terang benderang. Islam menarik manusia dari kegelapan dan mengarahkannya menuju kehidupan yang penuh bermakna. Islam membebaskan manusia dari kehampaan hidup, kekeringan jiwa, dan kehilangan arah kendalian hidup. Melalui Islam, manusia menjadi mulia dan sukakan perkara mulia. Ia termasuk dalam perkara dakwah dan perjuangan. Kebodohan yang tergumpal di dada manusia kacau (gelisah),.berpecah-pecah tidak keruan. Islam dengan sinarnya yang kemilau menghapuskan kebodohan yang meliputi umat. Karena itu, berbahagialah manusia yang telah diliputi oleh petunjuk, berpegang teguh dengan Islam dan menepis setiap nilai jahiliah.

Adapun orang-orang yang berpaling dan tidak mau peduli terhadap kebenaran Islam, sungguh mereka adalah orang-orang yang merugi. Hawa nafsu menjadi landasan pacu amalnya. Perilakunya senantiasa diwarnai oleh noda hitam yang pekat, tidak merujuk kepada Islam, dan lebih menyukai bersandar kepada sistem nilai kekufuran.

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka tidak akan diterima daripadanya dan dia pada hari akhirat kelak dari orang-orang yang rugi”. (Ali Imran: 85)

Lantaran keadaan mereka yang gersang dari ajaran Islam, tanpa pemahaman dan amal yang lurus dan benar, mereka lebih cenderung bergelut dengan beragam maksiat. Kehidupan dunia telah banyak memerdayakannya. Mereka berlomba menikmati material sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan nilai kebenaran walaupun semua itu palsu, tidak terkecuali dari kalangan kaum muda Islam. Dengan slogan kata ‘modern’, mereka bergumul meraup dunia. Mereka meninggalkan batas-batas dan meroboh rambu-rambu agama. Halal-haram tak lagi menjadi pertimbangan dalam bersikap. Bagai sudah kehilangan, mereka terjerat siasat Yahudi dan Nasrani. Tidak ada lagi kecemburuan terhadap Islam. Ghirah untuk menampilkan diri sebagai keperbadian  muslim yang taat pun hilang. Mata, hati, dan pendengaran sudah tidak dapat lagi membezakan mana yang benar dan mana yang salah. Mereka tidak ubahnya bagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.


Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan fenomena ini dalam ayat-Nya,


“Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (al-A’raf: 179)
Karena keadaan hati yang buta dan tuli, banyak manusia menolak kebenaran. Bahkan, tidak sedikit yang melontarkan caci maki terhadap Islam dan kaum muslimin yang taat kepada ajarannya. Bagi mereka, Islam dianggap sebagai ajaran yang kolot, kuno, dan ortodoks. Islam hanya akan menegahkan kebebasan manusia, berekspresi, dan berperilaku. Orang-orang yang setia dan mengagungkan Islam mereka tuduh sebagai manusia yang tidak luas pengetahuan nya. Singkat kata, Islam hanya akan mengeluarkan pendapat yang apa yang diinginkannya dan hanya akan menyulitkan manusia. Islam hanya akan mempersempit ruang gerak kehidupannya, memasung kebebasannya, dan menyepitkan pergaulannya.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman:
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78)

مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى
Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (Thaha: 2—3)
Percakapan  mereka hakikatnya menunjukkan bahawa mereka tidak memahami Islam secara baik dan benar. Mungkin perkara itu, karena kedengkian yang ada pada hati mereka. Kemungkinan-kemungkinan itu boleh saja terjadi. Namun, yang jelas sikap kurang penyelidikan mereka terhadap Islam sangat merugikan. Celah ini dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Upaya mereka untuk memadamkan cahaya Islam seakan mendapat angin segar. Inilah gerakan yang diperingatkan melalui firman-Nya:
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (ash-Shaf:8 )
Akibat sikap buruk terhadap Islam, mereka pun menetapkan aturan-aturan hidup yang bersumber dari hawa nafsu. Mereka bangga melaksanakannya meskipun kemudian menimbulkan kerosakan di semua garisan kehidupan. Dalam pergaulan antara jenis manusia, kerosakan kronis telah begitu kuat mencengkeram. Kebebasan seksual, perilaku kerahiban (hidup membujang), homoseks, lesbian, dan perilaku penyimpangan seksual lainnya telah dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Hubungan yang bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram tidak lagi dianggap sebagai dosa yang harus dijauhi.
Anehnya, tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang meniru dan bangga dengan hal itu. Tanpa rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa malu, dan tanpa merasa malu mereka tiru mentah-mentah perbuatan yang menyelisihi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya . Nabi SAW berkata:
“Sesungguhnya dari apa yang telah manusia peroleh dari perkataan kenabian yang pertama, ‘Jika engkau tak memiliki rasa malu, berbuatlah sekehendakmu’.” (HR. al-Bukhari no. 6120 dari sahabat Abu Mas’ud as)
Menjelaskan hadith di atas, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizahullah berkata, “Malu adalah perangai yang agung. Sikap malu menyebabkan seseorang tercegah dari sesuatu yang akan mengantarkan kepada perkara yang tak patut, saperti perbuatan-perbuatan yang rendah dan hina, serta akhlak buruk. Oleh karena itu, sikap malu ini termasuk dari cabang keimanan.” (al-Minhatu ar-Rabbaniyyah fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 181)
Jika malu sudah tidak lagi ada di dada, sikap tidak nyaman lantaran melanggar ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya SAW menjadi sesuatu yang biasa. Tidak ada lagi kata malu. Jangankan malu, malu saja tidak.
Dengan berbuat seperti itu, seakan-akan mereka menganggap diri mereka sebagai orang yang menerapkan sistem modern. Kalau tidak berbuat dan menerapkan perkara demikian, bakal merugikan kehidupannya, masa depannya, dan segenap usahanya. Apa yang dilakukannya seakan-akan merupakan langkah yang baik, selaras dengan prinsip hidup modern, dan sesuai dengan keadaan masyarakat.
Fenomena ini digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا
أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad): Mahukah Kami khabarkan kepada kamu akan orang-orang yang paling rugi amal-amal perbuatannya? (Iaitu) orang-orang yang telah sia-sia amal usahanya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahawa mereka sentiasa betul dan baik pada apa sahaja yang mereka lakukan”. (al-Kahfi: 103—104)
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Patutkah mereka berkehendak lagi kepada hukum-hukum jahiliah? Padahal kepada orang-orang yang penuh keyakinan, tidak ada sesiapa yang boleh membuat hukum yang lebih baik dari Allah”. (al-Maidah: 50)
Padahal, apa yang dibanggakannya boleh menjadi sumber bencana. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”
(an-Nur: 63)
Maka dari itu, yang sekiranya perkara itu merupakan perbuatan yang dilarang, hendaknya dijauhi. Sekiranya itu merupakan perintah untuk dipraktikkan, maka tunaikanlah.
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang telah kularang padamu darinya, tinggalkanlah (jauhilah). Apa yang telah kuperintahkan dengannya, tunaikanlah semampumu.” (HR. al-Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337 dari sahabat Abu Hurairah as)
Meskipun demikian, masih ada sekelompok manusia yang menyandarkan falsafah hidupnya hanya untuk meraup kesenangan. Ia tidak peduli kesenangan yang didapatnya ditempuh dengan apa-apa cara pun. Baginya, kesenangan adalah satu-satunya kebaikan. Prinsip hidup “asal senang” ini adalah prinsip hidup kaum hedonis. Dalam KamusDewan Bahasa, hedonisme diertikan sebagai pegangan atau pan­dang­an hidup yg mementingkan kese­ronokan atau kesenangan hidup. Doktrin hedonisme (asal katanya adalah hedone, bahasa Yunani yang berarti kesenangan) dibawa oleh salah seorang murid Socrates yang bernama Aristippus.
Filsafat hedonisme mengajarkan prinsip “Apa yang dilakukan dalam rangka meraup kesenangan atau menghindari penderitaan. Kesenangan adalah satu-satunya kebaikan, dan mencapai puncak kesenangan adalah satu-satunya kebajikan.” (Sejarah Pemahaman Psikologi dari Masa Kelahiran sampai Masa Modern, Dr. C. George Boeree, hlm. 55)
Pemahaman ini diusung pula oleh Sigmund Freud, seorang keturunan Yahudi yang melontarkan idea Principle of Pleasure (Prinsip-Prinsip Kenikmatan). Freud melemparkan idea bahawa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia akan bermuara pada soal ekspresi dan nafsu seks. Dengan demikian, atas dasar kenikmatan dan kesenangan ini, tanpa memerhatikan norma yang ada, serbuan pemahaman yang bertitik tekan pada kesenangan dan kenikmatan hidup semata menyeruak masuk ke benak sebahagian manusia. Tidak mengherankan apabila kemudian di tengah masyarakat muncul iklan-iklan yang diwarnai oleh citra seksual. Begitu pula di sisi kehidupan media massa lainnya. Berita dan cerita yang beraroma nafsu berahi cenderung meningkat dan digila-gila. Sadar atau tidak, gaya hidup hedonis telah meresap dan menjadi bahagian hidup sebahagian masyarakat.
Gaya hidup hedonis membentuk sikap mental manusia yang rapuh, mudah putus asa, cenderung tidak mau bersusah payah, selalu ingin mengambil jalan pintas, tidak hidup prihatin, dan bekerja keras. Seseorang yang terjebak gaya hidup hedonis akan mengambil bahagian yang menyenangkan saja. Adapun perkara yang bakal meyusahkan, dia hindari. Dia tidak mau peduli  atau ambil berat bagaimana orang tuanya bekerja keras siang dan malam, sementara itu dirinya hanya boleh melepak di pasar raya, berkumpul dengan kalangan berduit, selalu memilih barang berharga mahal meskipun menggunakan barang yang relatif murah. Asalkan dapat.
 Apa yang melekat pada dirinya harus selalu bergaya mewah dan elegan.
Padahal hidup di dunia ini hanyalah main-main dan sendau gurau belaka. Adapun kampung akhirat adalah perkara yang lebih utama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
"Dan tidak (dinamakan) kehidupan dunia melainkan permainan yang sia-sia dan hiburan yang melalaikan dan demi sesungguhnya negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Oleh itu, tidakkah kamu mahu berfikir?" (al-An’am: 32)
Rasulullah SAW mengibaratkan kehidupan dunia bagaikan seorang pengembara yang beristirahat di bawah pohon. ketika letih telah hilang dari tubuhnya, penembara itu pun melanjutkan perjalanannya. Pohon tempatnya berteduh dia tinggalkan. Itulah dunia beserta kehidupan di dalamnya, sekadar tempat rehat seketika.
 Nabi SAW bersabda,
مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apalah arti dunia bagiku. Tiadalah (bagi) aku dalam perkara dunia melainkan seperti seorang pengelana yang beristirahat di bawah pohon, lalu setelah itu meninggalkan (pohon) tersebut.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan hadits ini sahih dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir wa Ziyadatuhu no. 5669)
Dalam sebuah hadith dari Abul Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’idi as disebutkan,
“Seorang lelaki datang kepada Nabi SAW. Laki-laki itu berkata kepada Nabi SAW, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang apabila aku mengamalkannya Allah akan mencintaiku dan manusia akan mencintaiku.’ Jawab Rasulullah SAW, ‘Zuhudlah dalam urusan dunia, Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, nescaya manusia akan mencintaimu’.” (HR. Ibnu Majah no. 4102, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani t. Lihat ash-Shahihah no. 944)
Sikap zuhud boleh dilakukan oleh seorang hamba yang fakir ataupun yang memiliki harta kekayaan yang melimpah. Bagi orang fakir, hendaknya dia berzuhud dengan tetap bersemangat mencurahkan segenap kemampuannya bagi kehidupan akhiratnya. Adapun bagi yang diberi limpahan harta kekayaan, dia berzuhud dengan segenap kemampuan dari hartanya kegunaan kepentingan Islam dan kaum muslimin. Harta yang disalurkan untuk hal itu akan membawa kebaikan baginya dan tidak akan membinasakannya. (asy-Syaikh Muhammad al-Imam, Tahdzirul Basyar, hlm. 95)
Menyikapi kehidupan dunia dengan bimbingan syariat, nescaya akan menyelamatkan hamba dari tekanan hedonisme. Seseorang tidak akan diperbudak oleh dunia, tidak pula silau oleh kemilau dalam dunia yang menipu. Dunia hanyalah tempat singgah sementara, sedangkan kampung akhirat adalah tempat tujuan yang hakiki, tujuan nan abadi.


وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Adapun kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-A’la: 17)


Saat seseorang meninggalkan dunia fana ini menuju kampung akhirat, segenap harta kekayaan yang telah dikumpulkan selama hidupnya tidak akan dibawanya, kecuali kain kafan yang menyelimutinya. 
Perkara ini dinyatakan oleh Rasulullah SAW;
يَتْبَعُ الْمَيَّتَ ثَلَاثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Orang yang meninggal dunia itu diikuti oleh tiga hal: keluarganya, hartanya, dan amalnya. Yang dua akan kembali, adapun yang satu tetap tinggal. Yang kembali adalah keluarganya dan hartanya. Adapun yang tetap (bersamanya) adalah amalnya.” (HR. al-Bukhari no. 6514 dan Muslim no. 5)


Begitulah dunia, dia tidak akan selalu bersama pemiliknya. Dia akan terpisah, meninggalkan pemiliknya. Kaum hedonis amat sukar menerima kenyataan ini.


Wallahu a’lam.
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Edit: HAR

No comments: