"Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan tiada aku termasuk di antara orang-orang yang musyrik" (QS Yusuf:108)

22 May, 2012



Ulumul Hadits » Pembagian Hadith Secara Umum

Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadith yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadith tersebut tidaklah mudah karena hadith yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.  

1. Hadith Mutawatir

A. Ta'rif Hadith Mutawatir

Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.

Sedangkan menurut istilah ialah: 

"Suatu hasil hadith tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."

"Hadith mutawatir ialah suatu (hadith) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."

Tidak dapat dikategorikan dalam hadith mutawatir, iaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.

Hadith yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadith itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadith itu atau orang-orang yang menyampaikan hadith itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadith tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadith. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadith itu. 

Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahawa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.

B. Syarat-Syarat Hadith Mutawatir

Suatu hadith dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Hadith (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahawa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadith mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak. 

2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeza pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.

a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.

b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.

c. Sebahagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).

A065

Wahai Nabi, perangsangkanlah orang-orang yang beriman itu untuk berperang. Jika ada diantara kamu dua puluh yang sabar, nescaya mereka dapat menewaskan dua ratus orang (dari pihak musuh yang kafir itu); dan jika ada di antara kamu seratus orang, nescaya mereka dapat menewaskan seribu orang dari golongan yang kafir, disebabkan mereka (yang kafir itu) orang-orang yang tidak mengerti.

d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:

A064

"Wahai nabi, cukuplah Allah menjadi penolongmu, dan juga pengikut-pengikut dari orang-orang yang yang bberiman" (QS. Al-Anfal: 64).

3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadith mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadith mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahawa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadith, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadith mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadith mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

C. Faedah Hadith Mutawatir

Hadith mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahawa Nabi Muhammad SAW benar-benar bersabda atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahawa penelitian terhadap rawi-rawi hadith mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadith mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadith mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadith mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).

D. Pembagian Hadith Mutawatir

Para ulama membahgikan hadith mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :

1. Hadith Mutawatir Lafzi

Muhadditsin memberi pengertian Hadith Mutawatir Lafzi antara lain :

"Suatu (hadith) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya." 

Pengertian lain hadith mutawatir lafzi adalah :

"Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi." 
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :

"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."

Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :


Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadith tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadith itu diterima 200 sahabat.


2. Hadith mutawatir maknawi 

Hadith mutawatir maknawi adalah :

"Hadith yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum."

"Hadith yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbezaan pada lafaz."

Jadi hadith mutawatir maknawi adalah hadith mutawatir yang para perawinya berbeza dalam menyusun redaksi hadith tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.

CONTOH:
Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)

Hadith yang semakna dengan hadith tersebut di atas ada banyak, iaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeza-beza. Antara lain hadith-hadith yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :

"Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."

3. Hadis Mutawatir Amali

Hadith Mutawatir Amali adalah :

"Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahawa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu."

CONTOH :
Kita melihat dimana saja bahawa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah raka'at sebanyak 4 (empat) raka'at dan kita tahu bahawa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahawa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.

Di samping pembagian hadith mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadith mutawatir menjadi 2 (dua) macam sahaja. Mereka memasukkan hadith mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadith mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.

2. Hadis Ahad

A. Pengertian hadis ahad

Menurut Istilah ahli hadith, tarif hadith ahad antara lain adalah:

"Suatu hadith (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadith mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahawa hadith tersebut masuk ke dalam hadith mutawatir: " 

Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut: 

"Suatu hadith yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir." 

B. Faedah hadith ahad

Para ulama sependapat bahawa hadith ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadith mutawatir. Hadith ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahawa, hadith tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahawa hadith tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadith mutawatir. Bahawa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadit, ialah memeriksa "Apakah hadith tersebut maqbul ataumardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.

Kemudian apabila telah nyata bahawa hadith itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadith itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.

Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.

Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadith, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.

B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS


Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadith bergantung kepada tiga perkara, iaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga perkara tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadith. Bila dua buah hadith menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadith yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadith yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadith yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadith yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.

Jika dua buah hadith memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadith yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadith yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadith yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadith yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.

"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan." 

Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahawa saksi zina itu ada empat orang.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niatnya" HR Bukhari-Muslim,

Awal hadith tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka haditth yang demikian bukan termsuk hadith mutawatir.

Kata kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) saperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahawa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahawa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadith memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadith yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadith yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadith ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadith berasal dari Rasulullah.


Hadith yang tinggi tingkatannya berarti hadith yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadith itu berasal Rasulullah SAW. Hadith yang rendah tingkatannya berarti hadith yang rendah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu haditth menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadit sebagai sumber hukum atau sumber Islam.

Para ulama membagi hadith ahad dalam tiga tingkatan, iaitu hadith sahih, hadith hasan, dan hadith daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadith-hadith tersebut menjadi hadith sahih, hasan, dan daif.
1. Hadis Sahih

Hadith sahih menurut bahasa berarti hadith yang bersih dari cacat, hadith yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadith sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :

"Hadith sahih adalah hadith yang susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadith mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."

Keterangan lebih luas mengenai hadith sahih diuraikan pada bab tersendiri.

2. Hadis Hasan

Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :

"yang kami sebut hadith hasan dalam kitab kami adalah hadith yang sannadnya baik menurut kami, iaitu setiap hadith yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadithnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadith yang demikian kami sebut hadis hasan."

3. Hadis Daif

Hadith daif menurut bahasa berarti hadith yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil atau rendah) tentang benarnya hadith itu berasal dari Rasulullah SAW.

"Hadith daif adalah hadith yang tidak menghimpun sifat-sifat hadith sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadith hasan."

Jadi hadith daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadith sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadith hasan. Pada hadith daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadith tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH

Sebagaimana telah dijelaskan bahawa suatu hadith perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pembahasan yang seksama khususnya hadith ahad, karena hadith tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeza dengan hadith mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, iaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan perkara tersebut di atas, hadith ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam iaitu hadis maqbul dan hadis mardud.

A. Hadis Maqbul

Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:

"Hadith yang menunjuki suatu keterangan bahawa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."

Jumhur ulama berpendapat bahawa hadith maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadith maqbul adalah:

* Hadith sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
* Hadith hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.

Kedua macam hadith tersebut di atas adalah hadith-hadith maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahawa tidak semua hadith yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadith-hadith yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yang juga ditetapkan oleh hadith Rasulullah SAW.

Adapun hadith maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan) disebut dengan hadith nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadith mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadith-hadith maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadith yang kuat disebut dengan hadith rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadith marjuh.

Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadith maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadith maqbulun bihi dan hadith gairu ma'mulin bihi.

1. Hadith maqmulun bihi 

Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:

a. Hadith muhkam, iaitu hadith yang tidak mempunyai perlawanan 
b. Hadith mukhtalif, iaitu dua hadith yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin
    dikompromikan dengan mudah
c. Hadith nasih
d. Hadith rajih.

2. Hadith gairo makmulinbihi

Hadith gairu makmulinbihi ialah hadith maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadith-hadith maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:

a. Hadith mutawaqaf, iaitu hadith muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat
    ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadith mansuh
c. Hadith marjuh.

B. Hadith Mardud 

Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadith mardud ialah :

"Hadith yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."

Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:

"Hadith yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadith Maqbun."

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahawa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadith-hadith maqbul, maka sebaliknya setiap hadith yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).

Jadi, hadith mardud adalah semua hadith yang telah dihukumi daif.

D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA

1. Hadith Muttasil - Hadit muttasil disebutjuga Hadith Mausul.

"Haditth muttasil adalah hadith yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadith marfu' maupun hadith mauquf."

Kata-kata "hadith yang didengar olehnya" mencakup pula hadith-hadith yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadith Mu 'an 'an, bahawa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam menyampaikan hadith yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadith yang bersangkutan dari batas Hadith Muttasil.

Contoh Hadis Muttasil Marfu' adalah hadith yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahawa Rasulullah SAW bersabda:

"Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya"

Contoh hadith mutasil maukuf adalah hadith yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahawa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:

"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya."


Masing-masing hadith di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.

Adapun hadith Maqtu yakni hadith yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahawa hadith maqtu termasuk jenis hadith muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, "Hadith maqtu tidak dapat disebut hadith mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membezakannya dengan Hadith mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadith ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadith maqtu sebagai hadith mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadith mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, iaitu hadis yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadith maqtu. Secara etimologis hadith maqtu' adalah lawan Hadith mausul. Oleh karena itu, mereka membezakannya dengan menyadarkannya kepada tabi'in.

2. Hadis Munqati'

Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqita' adalah lawan kata ittisal(bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebahagian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeza pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbezaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.

Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:

"Hadith Munqati adalah setiap hadith yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."

Hadith yang tidak bersambung sanadnya adalah hadith yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan: 

"Setiap hadith yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadith Munqati' (terputus) persambungannya."

Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadith, An-Nawawi berkata, "Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian, hadith munqati' merupakan suatu judul yang umum yang mencakup segala macam hadith yang terputus sanadnya.

Adapun ahli hadith Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:

"Hadith Munqati adalah hadith yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahawa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."

Definisi ini menjadikan hadith munqati' berbeza dengan hadith-hadith yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadith mu'dal; dengan kata-kata, "Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadith mursal; dan dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadith muallaq.

No comments: