Ulumul Hadits » Pembagian Hadith Secara Umum
Hadits yang dapat dijadikan
pegangan adalah hadith yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan
hadith tersebut tidaklah mudah karena hadith yang ada sangatlah banyak dan
sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.
1. Hadith Mutawatir
A. Ta'rif Hadith
Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau
berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
"Suatu hasil hadith tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut
kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
"Hadith mutawatir ialah suatu (hadith) yang diriwayatkan
sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal
tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat
kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
Tidak dapat dikategorikan
dalam hadith mutawatir, iaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak
bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia,
baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan
oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan
berita-berita secara dusta.
Hadith yang dapat
dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya.
Karena kita tidak mendengar hadith itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka
jalan penyampaian hadith itu atau orang-orang yang menyampaikan hadith itu
harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadith tersebut. Dalam
sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan
hadith. Ada
yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan
pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu,
dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadith itu.
Apabila jumlah yang
meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahawa sekian
banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu
adalah secara mutawatir.
B. Syarat-Syarat Hadith
Mutawatir
Suatu hadith dapat
dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadith (khabar) yang
diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap)
pancaindera. Artinya bahawa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan
hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan
yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak
didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut
hadith mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi
mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam
hal ini para ulama berbeza pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan
sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang
diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi'i
menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi
yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebahagian ulama
menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang
telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat
mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat
Al-Anfal ayat 65).
Wahai Nabi, perangsangkanlah orang-orang yang beriman itu untuk berperang. Jika ada diantara kamu dua puluh yang sabar, nescaya mereka dapat menewaskan dua ratus orang (dari pihak musuh yang kafir itu); dan jika ada di antara kamu seratus orang, nescaya mereka dapat menewaskan seribu orang dari golongan yang kafir, disebabkan mereka (yang kafir itu) orang-orang yang tidak mengerti.
d. Ulama yang lain
menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan
dengan firman Allah:
"Wahai nabi, cukuplah
Allah menjadi penolongmu, dan juga pengikut-pengikut dari orang-orang yang yang bberiman" (QS.
Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para
perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadith mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini
tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa
hadith mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian
ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada,
tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani
berpendapat bahawa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadith, kelakuan dan
sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadith mutawatir itu banyak
jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada
beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadith mutawatir, seperti Al-Azharu
al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam
As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir,
susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
C. Faedah Hadith Mutawatir
Hadith mutawatir memberikan
faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang
diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti), dengan
seyakin-yakinnya bahawa Nabi Muhammad SAW benar-benar bersabda atau
mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah
dikatakan bahawa penelitian terhadap rawi-rawi hadith mutawatir tentang keadilan
dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya
mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh
karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadith
mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadith mutawatir seperti
tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari
hadith mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang
berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
D. Pembagian Hadith Mutawatir
Para ulama membahgikan hadith
mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadith Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi
pengertian Hadith Mutawatir Lafzi antara lain :
"Suatu (hadith) yang
sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan
maknanya."
Pengertian lain hadith mutawatir lafzi adalah :
"Suatu yang
diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari
sejumlah rawi."
Contoh Hadits Mutawatir
Lafzi :
"Rasulullah SAW
bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah
ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."
Silsilah/urutan rawi hadits
di atas ialah sebagai berikut :
Menurut Abu Bakar
Al-Bazzar, hadith tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian
Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadith itu diterima
200 sahabat.
2. Hadith mutawatir maknawi
Hadith mutawatir maknawi
adalah :
"Hadith yang berlainan
bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna
yang umum."
"Hadith yang disepakati
penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbezaan pada lafaz."
Jadi hadith mutawatir
maknawi adalah hadith mutawatir yang para perawinya berbeza dalam menyusun redaksi hadith tersebut,
namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
CONTOH:
Rasulullah SAW tidak
mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa'
dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua
ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)
Hadith yang semakna dengan
hadith tersebut di atas ada banyak, iaitu tidak kurang dari 30 buah dengan
redaksi yang berbeza-beza. Antara lain hadith-hadith yang ditakrijkan oleh Imam
ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
"Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak
beliau."
3. Hadis Mutawatir Amali
Hadith Mutawatir
Amali adalah :
"Sesuatu yang mudah
dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara
kaum muslimin bahawa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya
atau serupa dengan itu."
CONTOH :
Kita melihat dimana saja
bahawa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah raka'at sebanyak 4 (empat) raka'at dan
kita tahu bahawa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita
mempunyai sangkaan kuat bahawa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau
memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian
hadith mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadith mutawatir menjadi 2 (dua) macam sahaja. Mereka memasukkan hadith mutawatir amali
ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadith mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
A. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadith,
tarif hadith ahad antara lain adalah:
"Suatu hadith (khabar)
yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadith mutawatir;
baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan
seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahawa hadith tersebut masuk ke dalam hadith mutawatir: "
"Suatu hadith yang padanya tidak
terkumpul syara-syarat mutawatir."
B. Faedah hadith ahad
Kemudian apabila telah
nyata bahawa hadith itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muridnya yang
berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadith itu kita
sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita
takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak
mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu
kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil,
kita pandang nasikh.
Jika kita tidak
mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih,
kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat
kita dapat berhujjah dengan suatu hadith, sesudah nyata sahih atau hasannya,
baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
B. DARI SEGI KUALITAS
SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadith bergantung kepada tiga perkara, iaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga perkara tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadith. Bila dua buah hadith menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadith yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadith yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadith yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadith yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadith memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang
sama, maka hadith yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi
tingkatannya daripada hadith yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah
tingkatannya, dan hadith yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi
tingkatannya daripada hadith yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
"Dan Musa memilih
tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu
yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi
jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat
orang pertimbangan bahawa saksi zina itu ada empat orang.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
"Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niatnya" HR Bukhari-Muslim,
Awal hadith tersebut
adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka haditth yang
demikian bukan termsuk hadith mutawatir.
Bila dua hadith memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadith yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadith yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadith ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadith berasal dari Rasulullah.
Hadith yang tinggi
tingkatannya berarti hadith yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf
dugaan tentang benarnya hadith itu berasal Rasulullah SAW. Hadith yang rendah
tingkatannya berarti hadith yang rendah taraf kepastiannya atau taraf dugaan
tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan
suatu haditth menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadit sebagai sumber hukum
atau sumber Islam.
1. Hadis Sahih
Hadith sahih menurut bahasa
berarti hadith yang bersih dari cacat, hadith yang benar berasal dari Rasulullah
SAW. Batasan hadith sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
"Hadith sahih adalah
hadith yang susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat
(al-Quran), hadith mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan
dabit."
Keterangan lebih luas
mengenai hadith sahih diuraikan pada bab tersendiri.
2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan
berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
"yang kami sebut hadith hasan
dalam kitab kami adalah hadith yang sannadnya baik menurut kami, iaitu setiap
hadith yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang
dicurigai berdusta, matan hadithnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad
yang lain pula yang sederajat. Hadith yang demikian kami sebut hadis
hasan."
3. Hadis Daif
Hadith daif menurut bahasa
berarti hadith yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil atau rendah) tentang benarnya hadith itu berasal dari Rasulullah SAW.
"Hadith daif adalah
hadith yang tidak menghimpun sifat-sifat hadith sahih, dan juga tidak menghimpun
sifat-sifat hadith hasan."
Jadi hadith daif itu bukan
saja tidak memenuhi syarat-syarat hadith sahih, melainkan juga tidak memenuhi
syarat-syarat hadith hasan. Pada hadith daif itu terdapat hal-hal yang
menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadith tersebut bukan berasal
dari Rasulullah SAW.
C. DARI SEGI KEDUDUKAN
DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah
dijelaskan bahawa suatu hadith perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan
pembahasan yang seksama khususnya hadith ahad, karena hadith tersebut tidak
mencapai derajat mutawatir. Memang berbeza dengan hadith mutawatir yang
memfaedahkan ilmu darury, iaitu suatu keharusan
menerima secara bulat. Sehubungan dengan perkara tersebut di atas, hadith ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam iaitu hadis maqbul dan hadis
mardud.
A. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan.
Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:
"Hadith yang menunjuki
suatu keterangan bahawa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."
Jumhur ulama berpendapat
bahawa hadith maqbul ini
wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadith maqbul adalah:
* Hadith sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
* Hadith hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
* Hadith hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadith tersebut
di atas adalah hadith-hadith maqbul yang wajib diterima, namun demikian para
muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahawa tidak semua hadith yang
maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadith-hadith yang
telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn
yang juga ditetapkan oleh hadith Rasulullah SAW.
Adapun hadith maqbul yang
datang kemudian (yang menghapuskan) disebut dengan hadith nasikh, sedangkan
yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadith mansukh. Disamping
itu, terdapat pula hadith-hadith maqbul yang maknanya berlawanan antara satu
dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini
hadith yang kuat disebut dengan hadith rajih, sedangkan yang lemah disebut
dengan hadith marjuh.
Apabila ditinjau dari
segi kemakmurannya, maka hadith maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadith maqbulun
bihi dan hadith gairu
ma'mulin bihi.
1. Hadith maqmulun bihi
Hadis maqmulun bihi adalah
hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:
a. Hadith muhkam, iaitu
hadith yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadith mukhtalif, iaitu dua hadith yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin
b. Hadith mukhtalif, iaitu dua hadith yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin
dikompromikan dengan mudah
c. Hadith nasih
d. Hadith rajih.
c. Hadith nasih
d. Hadith rajih.
2. Hadith gairo makmulinbihi
Hadith gairu makmulinbihi ialah hadith maqbul yang tidak dapat
diamalkan. Di antara hadith-hadith maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a. Hadith mutawaqaf, iaitu
hadith muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat
ditansihkan dan
tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadith mansuh
c. Hadith marjuh.
b. Hadith mansuh
c. Hadith marjuh.
B. Hadith Mardud
Mardud menurut bahasa
berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf
Muhaddisin, hadith mardud ialah :
"Hadith yang tidak
menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang
kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya
bersamaan."
"Hadith yang tidak
terdapat di dalamnya sifat hadith Maqbun."
Sebagaimana telah
diterangkan di atas bahawa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadith-hadith maqbul, maka sebaliknya setiap hadith yang mardud tidak boleh diterima dan tidak
boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadith mardud adalah
semua hadith yang telah dihukumi daif.
D. DARI SEGI PERKEMBANGAN
SANADNYA
1. Hadith Muttasil - Hadit muttasil disebutjuga
Hadith Mausul.
"Haditth muttasil adalah
hadith yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai
kepada ujung sanadnya, baik hadith marfu' maupun hadith mauquf."
Kata-kata "hadith yang didengar olehnya" mencakup pula hadith-hadith yang diriwayatkan melalui
cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di
atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan
demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka
menjelaskan, sehubungan dengan hadith Mu 'an 'an, bahawa para ulama Mutaakhirin
menggunakan kata 'an dalam menyampaikan hadith yang diterima melalui Al-Ijasah
dan yang demikian tidaklah menafikan hadith yang bersangkutan dari batas Hadith Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil Marfu' adalah hadith yang diriwayatkan oleh
Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahawa Rasulullah SAW bersabda:
"Orang yang tidak
mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan
hartanya"
Contoh hadith mutasil
maukuf adalah hadith yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahawa ia mendengar
Abdullah bin Umar berkata:
"Barang siapa yang
mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan
membayarnya."
Masing-masing hadith di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadith Maqtu yakni hadith yang disandarkan kepada
tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahawa hadith maqtu
termasuk jenis hadith muttasil; tetapi jumhur mudaddisin
berkata, "Hadith maqtu tidak dapat disebut hadith mausul atau muttasil
secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membezakannya dengan
Hadith mausul sebelumnya.
Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadith ini bersambung sampai kepada
Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan
penyebutan hadith maqtu sebagai hadith mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan
kepada kedua hadith mausul di
atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, iaitu hadis yang berpangkal
pada tabi'in dinamai hadith maqtu. Secara etimologis hadith maqtu' adalah lawan Hadith mausul.
Oleh karena itu, mereka membezakannya dengan menyadarkannya kepada tabi'in.
2. Hadis Munqati'
Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa
berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus.
Kata inqita' adalah
lawan kata ittisal(bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya
sebahagian rawi pada rangkaian sanad. Para
ulama berbeza pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbezaan yang tajam.
Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari
masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang
dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:
"Hadith Munqati adalah
setiap hadith yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi
SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."
Hadith yang tidak
bersambung sanadnya adalah hadith yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa
orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun
Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:
"Setiap hadith yang tidak
bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadith Munqati'
(terputus) persambungannya."
Demikianlah para ulama
Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadith, An-Nawawi berkata, "Klasifikasi
tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr,
dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian, hadith munqati' merupakan suatu
judul yang umum yang mencakup segala macam hadith yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadith Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:
"Hadith Munqati adalah
hadith yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau
beberapa tempat, dengan catatan bahawa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak
lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."
Definisi ini menjadikan
hadith munqati' berbeza
dengan hadith-hadith yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan
"Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadith mu'dal;
dengan kata-kata, "Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadith mursal; dan dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal sanad"
definisi ini tidak mencakup hadith muallaq.
No comments:
Post a Comment