Dahsyatnya Ujian Wanita dan Dunia
Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan kekuasaan dan hikmah-Nya yang sempurna menjadikan dunia
serta perhiasannya yang fana ini sebagai medan ujian dan cobaan. Sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ
وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْغَفُورُ
Alladzii khalaqa almawta
waalhayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu 'amalan wahuwa al'aziizu alghafuuru
“Dia
lah yang telah mentakdirkan adanya mati dan hidup (kamu) - untuk menguji dan
menzahirkan keadaan kamu: siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya; dan
Ia Maha Kuasa (membalas amal kamu), lagi Maha Pengampun, (bagi orang-orang yang
bertaubat)”; (Surah Al-Mulk:2)
الم. أَحَسِبَ
النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
(ʾalif lām mīm), ʾa-ḥasiba n-nāsu ʾan yutrakū ʾan yaqūlū ʾāmannā wa-hum lā
yuftanūn
“Alif
laam miim. Patutkah manusia
menyangka bahawa mereka akan dibiarkan dengan hanya berkata: "Kami
beriman", sedang mereka tidak diuji (dengan sesuatu cubaan)”? (Surah (Al-’Ankabut: 1-2)
Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmah-Nya memberitahukan kepada
hamba-hamba-Nya hikmah dihadapkannya mereka kepada berbagai ujian dan cobaan
itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ فَتَنَّا
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا
وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Wa-la-qad fatannā
lladhīna min qablihim fa-la-yaʿlamanna llāhu
lladhīna ṣadaqū wa-la-yaʿlamanna l-kādhibīn
“Dan demi sesungguhnya! Kami
telah menguji orang-orang yang terdahulu daripada mereka, maka (dengan ujian
yang demikian), nyata apa yang diketahui Allah tentang orang-orang yang
sebenar-benarnya beriman, dan nyata pula apa yang diketahuiNya tentang
orang-orang yang berdusta. (Surah Al-’Ankabut: 3)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menyatakan dalam
tafsirnya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengabarkan tentang hikmah-Nya yang sempurna. Di mana sifat hikmah-Nya
mengharuskan setiap orang yang mengaku beriman tidak akan dibiarkan begitu saja
dengan pengakuannya. Pasti dia akan dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan.
Bila tidak sedemikian, niscaya tidak boleh dibezakan antara orang yang benar
dan jujur dengan orang yang dusta. Tidak boleh dibezakan pula antara orang yang
berbuat kebenaran dengan orang yang berbuat kebatilan. Sudah merupakan
ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Dia menguji (manusia) dengan kelapangan dan kesempitan, kemudahan dan
kesulitan, kesenangan dan kesedihan, serta kekayaan dan kemiskinan.”
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya: “(Agar dibezakan)
orang-orang yang benar dalam pengakuannya dari orang-orang yang dusta dalam
ucapan dan pengakuannya. Sedangkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala Maha mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan
yang akan terjadi. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengetahui cara
terjadinya sesuatu bila hal itu terjadi. Hal ini adalah prinsip yang telah
disepakati (ijma’) oleh para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan telah
mengabarkan:
وَجَعَلْنَا
بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
Wa-jaʿalnā baʿḍakum li-baʿḍin fitnatan ʾa-taṣbirūna wa-kāna rabbuka baṣīra
“Dan Kami jadikan sebahagian dari kamu
sebagai ujian dan cubaan bagi sebahagian yang lain, supaya ternyata adakah kamu
dapat bersabar (menghadapi ujian itu)? Dan (ingatlah) adalah Tuhanmu sentiasa
Melihat (akan keadaan makhluk-makhlukNya)”. (Surah Al-Furqaan: 20)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan maksud ayat di
atas dalam tafsirnya: “Seorang rasul adalah ujian bagi umatnya, yang akan
memisahkan orang-orang yang taat dengan orang-orang yang durhaka terhadap rasul
tersebut.
Maka Kami jadikan para rasul sebagai ujian dan
cobaan untuk mendakwahi kaum mereka. Seorang yang kaya adalah ujian bagi yang
miskin. Demikian pula sebaliknya. Orang miskin adalah ujian bagi orang kaya.
Semua jenis tingkatan makhluk (merupakan ujian dan cobaan bagi yang sebaliknya)
di dunia ini. Dunia yang fana ini adalah medan yang penuh ujian dan cobaan.”
Dari penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu di atas, kita dapatkan
faedah bahawa: seorang isetri adalah ujian bagi suaminya, anak adalah ujian
bagi kedua orangtuanya, pembantu adalah ujian bagi tuannya, tetangga adalah
ujian bagi tetangga yang lainnya, rakyat adalah ujian bagi pemerintahnya, dan
sebagainya. Begitu pula sebaliknya.
Selanjutnya, Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan: “Tujuannya
adalah apakah kalian mau bersabar, kemudian menegakkan berbagai perkara yang
diwajibkan atas kalian, sehingga Allah Subhanahu
wa Ta’ala akan membalas amalan kebaikan kalian. Ataukah kalian tidak mau
bersabar yang dengan sebab itu kalian berhak mendapatkan kemurkaan (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan siksaan?!
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ
حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ
مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ
وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ
الْمَآبِ
Zuyyina li-n-nāsi ḥubbu sh-shahawāti mina n-nisāʾi wa-l-banīna wa-l-qanāṭīri l-muqanṭarati mina dh-dhahabi wa-l-fiḍḍati wa-l-khayli l-musawwamati wa-l-ʾanʿāmi wa-l-ḥarthi
dhālika matāʿu l-ḥayāti d-dunyā wa-llāhu ʿindahū ḥusnu
l-maʾāb
“Dihiaskan (dan dijadikan indah) kepada
manusia: kesukaan kepada benda-benda yang diingini nafsu, iaitu
perempuan-perempuan dan anak-pinak; harta benda yang banyak bertimbun-timbun,
dari emas dan perak; kuda peliharaan yang bertanda lagi terlatih; dan
binatang-binatang ternak (Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini
ialah binatang-binatang yang termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri)
serta kebun-kebun tanaman. Semuanya itu ialah kesenangan hidup di dunia. Dan
(ingatlah), pada sisi Allah ada tempat kembali yang sebaik-baiknya (iaitu
Syurga)”. (Surah Al-Imraan: 14)
Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberitahukan bahwa kecintaan terhadap kenikmatan dan kesenangan
dunia akan ditampakkan indah dan menarik di mata manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan
hal-hal ini secara khusus kerana hal-hal tersebut adalah ujian yang paling
dahsyat, sedangkan hal-hal lain hanyalah mengikuti. Maka, tatkala hal-hal ini
dinampakkan indah dan menarik kepada mereka, disertai faktor-faktor yang
menguatkannya, maka jiwa-jiwa mereka akan bergantung dengannya. Hati-hati
mereka akan cenderung kepadanya.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 124)
Fitnah
(godaan) wanita
Betapa banyak lelaki yang menyimpang dari jalan
Allah Subhanahu wa Ta’ala kerana
godaan wanita. Betapa banyak pula seorang suami terjatuh dalam berbagai
kezaliman dan kemaksiatan disebabkan isterinya. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan
hamba-hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ
فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
Yaa ayyuhaa alladziina aamanuu inna min azwaajikum
wa-awlaadikum 'aduwwan lakum faihtsaruuhum wa-in ta'fuu watashfahuu
wataghfiruu fa-inna allaaha
ghafuurun rahiimun
“Hai orang-orang
mu'min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu ( Maksudnya: kadang-kadang isteri atau
anak dapat menjerumuskan suami atau ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang tidak dibenarkan agama) maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan
jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Surah At-Taghaabun:
14)
Al-Imam Mujahid rahimahullahu berkata: “Yakni akan menyeret orangtua atau suaminya
untuk memutuskan tali silaturahim atau berbuat maksiat kepada Rabbnya, maka
karena kecintaan kepadanya, suami atau orangtuanya tidak bisa kecuali
menaatinya (anak atau isteri tersebut).”
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Berniat dan berbuat baiklah kalian kepada para
wanita. Kerana seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok,
dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka
apabila kamu berusaha dengan keras meluruskannya, niscaya kamu akan
mematahkannya. Sedangkan bila kamu membiarkannya niscaya akan tetap bengkok.
Maka berwasiatlah kalian kepada para istri (dengan wasiat yang baik).”
(Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu)
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah
(ujian/godaan) yang lebih dahsyat bagi para lelaki selain fitnah wanita.”
(Muttafaqun ‘alaih dari Usamah bin Zaid radhiyallahu
‘anhuma)
Al-Mubarakfuri rahimahullahu berkata: “(Sisi berbahayanya fitnah wanita bagi lelaki) adalah karena keumuman tabiat seorang lelaki adalah sangat mencintai wanita. Bahkan banyak terjadi perkara yang haram (zina, perselingkuhan, pacaran, dan pemerkosaan, yang dipicu [daya tarik] wanita). Bahkan banyak pula terjadi permusuhan dan peperangan disebabkan wanita. Minimalnya, wanita atau isteri boleh menyebabkan seorang suami atau seorang lelaki bercita-cita tinggi terhadap dunia. Maka ujian apalagi yang lebih dahsyat darinya?
Al-Mubarakfuri rahimahullahu berkata: “(Sisi berbahayanya fitnah wanita bagi lelaki) adalah karena keumuman tabiat seorang lelaki adalah sangat mencintai wanita. Bahkan banyak terjadi perkara yang haram (zina, perselingkuhan, pacaran, dan pemerkosaan, yang dipicu [daya tarik] wanita). Bahkan banyak pula terjadi permusuhan dan peperangan disebabkan wanita. Minimalnya, wanita atau isteri boleh menyebabkan seorang suami atau seorang lelaki bercita-cita tinggi terhadap dunia. Maka ujian apalagi yang lebih dahsyat darinya?
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyerupakan godaan wanita itu seperti syaitan,
sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhuma, bahawa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita. Kemudian beliau mendatangi Zainab
isterinya, yang waktu itu sedang menyamak kulit hewan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
menunaikan hajatnya (menggaulinya dalam rangka menyalurkan syahwatnya kerana
melihat wanita itu).
Setelah itu, beliau keluar menuju para sahabat
dan bersabda:
“Sesungguhnya wanita itu datang dalam bentuk
syaitan dan berlalu dalam bentuk syaitan pula. Apabila salah seorang kalian
melihat seorang wanita (dan bangkit syahwatnya) maka hendaknya dia mendatangi
isterinya (menggaulinya), kerana hal itu akan mengembalikan apa yang ada pada
dirinya (meredakan syahwatnya).” (HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam Syarah Shahih Muslim (8/187): “Para
ulama mengatakan, makna hadits itu adalah bahawa penampilan wanita
membangkitkan syahwat dan mengajak kepada fitnah. Kerana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan
adanya kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam hati para lelaki,
merasa nikmat melihat kecantikannya berikut segala sesuatu yang terkait
dengannya. Sehingga seorang wanita ada sisi keserupaan dengan syaitan dalam hal
mengajak kepada kejelekan atau kemaksiatan melalui was-was serta dinampakkan
bagus dan indahnya kemaksiatan itu kepadanya.
Dapat diambil pula faedah hukum dari hadits ini
bahawa sepantasnya seorang wanita tidak keluar dari rumahnya, (berada) di
antara lelaki, kecuali kerana sebuah keperluan (darurat) yang mengharuskan dia
keluar.
Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang segala sesuatu yang akan
menyebabkan hamba-hamba-Nya terfitnah dengan wanita, seperti memandang,
berkhalwat (berduaan dengan wanita yang bukan mahram), ikhtilath (campur-baur
lelaki dan perempuan yang bukan mahram). Bahkan mendengarkan suara wanita yang
boleh membangkitkan syahwat pun dilarang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Qul lilmu/miniina yaghudhdhuu min abshaarihum wayahfazhuu
furuujahum dzaalika azkaa lahum inna allaaha khabiirun bimaayashna'uuna
“Katakanlah kepada
orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (Surah
An-Nuur: 30)
فَلاَ تَخْضَعْنَ
بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Falaa takhdha'na
bialqawli fayathma'a alladzii
fii qalbihi maradhun waqulna qawlan ma'ruufaan
“Maka janganlah kamu
tunduk (Yang dimaksud dengan
"tunduk" di sini ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan
keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka) dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya (Yang dimaksud dengan "dalam hati
mereka ada penyakit" ialah: orang yang mempunyai niat berbuat serong
dengan wanita, seperti melakukan zina) dan ucapkanlah perkataan yang baik”, (Surah Al-Ahzaab:
32)
وَلَا تَقْرَبُوا
الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Walaa taqrabuu alzzinaa innahu kaana faahisyatan
wasaa-a sabiilaan
“Dan janganlah kamu
mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan
suatu jalan yang buruk”. (Surah Al-Israa: 32)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah salah seorang kalian berduaan dengan
seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jauhi oleh kalian masuk kepada para wanita.”
Seorang lelaki Anshar bertanya: “Bagaimana pendapat anda tentang ipar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Ipar itu bererti kebinasaan (banyak terjadi zina antara seorang lelaki dengan
iparnya).” (Muttafaqun ‘alaih)
Agar hamba-hamba-Nya selamat dari godaan wanita,
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk menikah dengan wanita shalihah, yang akan saling membantu
dengan dirinya untuk menyempurnakan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنّ
Wala tankihul
musyrikati hatta yu’mina
“Dan jangan kamu menikahi
wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman”. (Surah Al-Baqarah: 221)
(Diketengahkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abu
Hatim dan Wahidi dari Muqatil, katanya, "Ayat ini diturunkan mengenai Ibnu
Abu Martsad Al-Ghunawi yang meminta izin kepada Nabi saw. untuk mengawini
seorang wanita musyrik yang cantik dan
mempunyai kedudukan tinggi).
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang wanita itu dinikahi karena empat
perkara: karena hartanya, kebaikan nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka
pilihlah wanita yang bagus agamanya, niscaya engkau akan beruntung.”
(Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu)
Godaan
dunia dan harta
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya dunia itu manis (rasanya) dan hijau
(menyenangkan dilihat). Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan sebahgian kalian dengan sebahgian
yang lain di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal dengan
dunia tersebut. Oleh kerana itu, takutlah kalian terhadap godaan dunia (yang
menggelincirkan kalian dari jalan-Nya) dan takutlah kalian dari godaan wanita,
kerana ujian yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah godaan wanita.” (HR.
Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu
‘anhu)
“Sesungguhnya setiap umat itu akan dihadapkan
dengan ujian (yang terbesar). Dan termasuk ujian yang terbesar yang menimpa
umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dari ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu)
Harta dan dunia bukanlah tolok ukur seseorang itu
dimuliakan atau dihinakan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:
فَأَمَّا
الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ
رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ
فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Fa-ammaa al-insaanu
idzaa maa ibtalaahu rabbuhu fa-akramahu wana''amahu
fayaquulu rabbii akramani. wa-ammaa idzaa maa ibtalaahu faqadara 'alayhi
rizqahu fayaquulu rabbii ahaanani
“Adapun manusia
apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan,
maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku". Adapun bila
Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: "Tuhanku
menghinakanku"
(Maksudnya: ialah Allah
menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahawa kekayaan itu adalah suatu
kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat
15 dan 16. Tetapi sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya). (Surah Al-Fajr: 15-16)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Maksud ayat-ayat tersebut adalah tidak
setiap orang yang Aku (Allah Subhanahu wa
Ta’ala) beri kedudukan dan limpahan nikmat di dunia berarti Aku limpahkan
keridhaan-Ku kepadanya. Hal itu hanyalah sebuah ujian dan cobaan dari-Ku
untuknya. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezekinya, Aku beri
sekadar keperluan hidupnya tanpa ada kelebihan, bererti Aku menghinakannya.
Namun Aku menguji hamba-Ku dengan kenikmatan-kenikmatan sebagaimana Aku
mengujinya dengan berbagai musibah.” (Ijtima’ul Juyusy, hal. 9)
Sehingga, dunia dan harta boleh menyebabkan
pemiliknya selamat serta mulia di dunia dan akhirat, apabila dia mendapatkannya
dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia juga
mensyukurinya serta menunaikan hak-haknya sehingga tidak diperbudakan oleh
dunia dan harta tersebut.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak boleh iri kecuali kepada dua golongan:
Orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
kurniakan harta kepadanya lalu dia infakkan di jalan yang benar, serta orang
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kurniakan
ilmu kepadanya lalu dia menunaikannya (mengamalkannya) dan mengajarkannya.”
(Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu)
Dan demikianlah keadaan para sahabat dahulu. Abu
Dzar radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
Beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah
mendahului kami untuk mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kami
shalat. Mereka juga berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka bersedekah
dengan kelebihan harta mereka.” (HR. Muslim)
Sebaliknya, orang yang tertipu dengan harta dan
dunia sehingga dia diperdaya olehnya, dia akan celaka dan binasa di dunia
maupun akhirat. Na’udzu billah min dzalik
(Kita berlindung kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dari hal tersebut). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan tentang hakikat harta dan
dunia itu dalam firman-Nya:
وَمَا الْحَيَاةُ
الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Wamal hayatu ad-dun-ya illa mata’u al-ghururi
Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan
kesenagan yang memperdayakan”. (Surah Ali ’Imran: 185
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas
kalian. Namun aku khawatir akan dibentangkan dunia kepada kalian sebagaimana
telah dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian
berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang sebelum kalian, maka
dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang
yang sebelum kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Amr bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu)
“Celaka hamba dinar, dirham, qathifah, dan
khamishah (keduanya adalah jenis pakaian). Bila dia diberi maka dia readha.
Namun bila tidak diberi dia tidak readha.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Allah Subhanahu
wa Ta’ala menceritakan kejahatan orang yang berilmu dan ahli ibadah dari
kalangan ahli kitab yang telah diperbudak oleh harta dan dunia dalam
firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ
كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ
بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
Yaa ayyuhaa alladziina aamanuu inna katsiiran mina al-ahbaari waalrruhbaani
laya/kuluuna amwaala alnnaasi
bialbaathili wayashudduuna 'an sabiili allaahi
“Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan
mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah”. (Surah At-Taubat: 34)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya: “Yang dimaksud ayat
tersebut adalah peringatan dari para ulama su’ (orang yang berilmu tapi jahat)
dan ahli ibadah yang sesat. Sebagaimana ucapan Suyfan ibnu Uyainah rahimahullahu: ‘Barangsiapa yang jahat
dari kalangan orang yang berilmu di antara kita, bererti ada keserupaan dengan
para pemuka Yahudi.
Sedangkan barangsiapa yang sesat dari kalangan
ahli ibadah kita, bererti ada keserupaan dengan para pendeta Nasrani. Di mana
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda dalam sebuah hadits yang shahih: ‘Sungguh-sungguh ada di antara kalian
perbuatan-perbuatan generasi sebelum kalian. Seperti bulu anak panah menyerupai
bulu anak panah lainnya.’ Para sahabat bertanya: ‘Apakah mereka orang Yahudi dan
Nasrani?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: ‘Siapa lagi?’
Dalam riwayat yang lain mereka bertanya: ‘Apakah
mereka Persia dan Romawi?’ Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’
Intinya adalah peringatan dari tasyabbuh (menyerupai) ucapan maupun perbuatan mereka.
Intinya adalah peringatan dari tasyabbuh (menyerupai) ucapan maupun perbuatan mereka.
Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَيَأْكُلُونَ
أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
laya/kuluuna amwaala alnnaasi
bialbaathili wayashudduuna 'an sabiili allaahi
“(Mereka) benar-benar memakan harta orang dengan
jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.”
(At-Taubah: 34)
Hal itu kerana mereka memakan harta orang lain
dengan kedok (bertopeng) agama.
Mereka mendapat keuntungan dan kedudukan di sisi umat, sebagaimana para pendeta
Yahudi dan Nasrani mendapatkan hal-hal tersebut dari umatnya di masa jahiliah.
Hingga ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka pun tetap berkeras di atas kejahatan, kesesatan,
kekafiran, dan permusuhannya, disebabkan cita-cita mereka terhadap kedudukan
tersebut. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala
memadamkan kesesatan itu dengan cahaya kenabian sekaligus menggantikan
kedudukan mereka dengan kehinaan serta kerendahan. Dan mereka akan kembali
menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala
membawa kemurkaan-Nya.”
Selanjutnya, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam
hafizhahullah berkata: “Bila kalian arahkan pandangan ke tengah-tengah kaum
muslimin, baik di zaman yang telah lalu maupun sekarang, niscaya engkau akan
saksikan kebanyakan orang yang tergelincir dari jalan ini (al-haq) adalah
karena tamak terhadap dunia dan kedudukan. Maka barangsiapa yang membuka pintu
ini untuk dirinya niscaya dia akan berbolak-balik. Berubah-ubah prinsip
agamanya dan akan menganggap remeh/ringan urusan agamanya. (Bidayatul Inhiraf,
hal. 141)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Setiap orang dari kalangan orang yang
berilmu yang lebih memilih dunia dan bercita-cita untuk mendapatkannya, pasti
dia akan berdusta atas nama Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam fatwanya, dalam hukum yang dia tetapkan, berita-berita yang
dia sebarkan, serta akibat yang dia nyatakan. Kerana hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala kebanyakkan
menyelisihi cita-cita manusia. Lebih-lebih cita-cita orang yang tamak terhadap
kedudukan dan orang yang diperdayakan hawa nafsunya. Cita-cita mereka tidak
boleh mereka dapatkan dengan sempurna kecuali dengan menyelisihi kebenaran dan
sering menolaknya. Apabila seorang yang berilmu atau hakim bercita-cita
terhadap jabatan dan mempertuhankan hawa nafsunya, maka cita-cita tersebut
tidak akan didapatkan dengan sempurna kecuali dengan menolak kebenaran…
Mereka pasti akan membuat-buat perkara yang baru
dalam agama, disertai kejahatan-kejahatan dalam bermuamalah. Maka terkumpullah
pada diri mereka dua perkara tersebut (kedustaan dan kejahatan).
Sungguh, mengikuti hawa nafsu itu akan membutakan
hati, sehingga tidak lagi boleh membezakan antara sunnah dengan bid’ah. Bahkan
boleh terbalik, dia lihat yang bid’ah sebagai sunnah dan yang sunnah sebagai
bid’ah. Inilah penyakit para ulama bila mereka lebih memilih dunia dan
diperbudak oleh hawa nafsunya.” (Al-Fawaid, hal 243-244)
“Ya Allah, nampakkanlah kepada kami kebenaran itu
sebagai kebenaran dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah
kebatilan itu sebagai kebatilan dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya.”
Wallahu ‘alam bish-shawab.
Penulis : Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Di-kutip dari: diambil dari : http://asysyariah.com
Dipost/edit oleh: HAR
No comments:
Post a Comment