"Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan tiada aku termasuk di antara orang-orang yang musyrik" (QS Yusuf:108)

09 June, 2014

Kehidupan Dunia Hanyalah Kesenangan yang Menipu


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang bahu iparnya ini:

كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل

 “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 6416)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٌ۬ وَلَهۡوٌ۬ وَزِينَةٌ۬ وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٌ۬ فِى
ٱلۡأَمۡوَٲلِ وَٱلۡأَوۡلَـٰدِ‌ۖ كَمَثَلِ غَيۡثٍ أَعۡجَبَ ٱلۡكُفَّارَ نَبَاتُهُ ۥ ثُمَّ يَہِيجُ فَتَرَٮٰهُ
مُصۡفَرًّ۬ا ثُمَّ يَكُونُ حُطَـٰمً۬ا‌ۖ وَفِى ٱلۡأَخِرَةِ عَذَابٌ۬ شَدِيدٌ۬ وَمَغۡفِرَةٌ۬ مِّنَ ٱللَّهِ
وَرِضۡوَٲنٌ۬‌ۚ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَـٰعُ ٱلۡغُرُورِ

“Ketahuilah bahawa (yang dikatakan) kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah (bawaan hidup yang berupa semata-mata) permainan dan hiburan (yang melalaikan) serta perhiasan (yang mengurang), juga (bawaan hidup yang bertujuan) bermegah-megah di antara kamu (dengan kelebihan, kekuatan dan bangsa keturunan) serta berlumba-lumba membanyakkan harta benda dan anak pinak; (semuanya itu terhad waktunya) samalah seperti hujan yang (menumbuhkan tanaman yang menghijau subur) menjadikan penanamnya suka dan tertarik hati kepada kesuburannya, kemudian tanaman itu bergerak segar (ke suatu masa yang tertentu), selepas itu engkau melihatnya berupa kuning; Akhirnya ia menjadi hancur bersepai dan (hendaklah diketahui lagi, bahawa) di akhirat ada azab yang berat (di sediakan bagi golongan yang hanya mengutamakan kehidupan dunia itu) dan (ada pula) keampunan besar serta keredaan dari Allah (disediakan bagi orang-orang yang mengutamakan akhirat) dan (ingatlah, bahawa) kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan bagi orang-orang yang terpedaya”. (Surah Al-Hadid: 20)

Bacalah berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut maknanya… Setelahnya, apa yang kamu fahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia membuaimu? Masihkah angan-anganmu melambung untuk meraih gemerlap dunia? Masihkah engkau tertipu dengan kesenangannya?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu dalam Tafsir-nya,Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia [1]. Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun janji (pahala dan surga, –pent.) dan ancaman (adzab dan neraka, –pent.) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”

Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan, “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para penanamnya, yang cita- cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan- akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan….” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 841)

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkisah, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil atau terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata:

أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا:وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ

Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda:

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 686)

Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan para shahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak- banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan.


( Subhanallah… itukah nilai dan harga dunia disisi Allah swt. Kelihatanya seperti tidak ada nilai langsung disisi Yang Maha Pencipta.Melihatkan maksud dan pengertian sabda Rasulullah saw di atas , sudah cukup membuktikan bahawa dunia yang selama ini kita kejar dengan penuh rasa tamak dan haloba , rupa-rupanya tidak ada nilai disisi Allah swt. Buat apa dikejar benda yang tidak bernilai??Apakah berbaloi jika sepanjang kejar-mengejar ini yang mana sudah pasti ada antara pesertanya yang akan jatuh tersungkur menyembah bumi, tiba-tiba apabila kita sampai di garisan penamat,pengadil atau hakim yang berada disitu dengan tegas mengatakan bahawa pertandingan tadi tidak dikira. Pertandingan tersebut tiada nilai dan sia-sia saja.Yang menang dan yang kalah tak dapat apa-apa.BERBALOI KAH ?) – Untuk renungan bersama


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang bahu iparnya ini:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (Hadith riwayat: Al-Bukhari no. 6416)

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah menyampaikan hadith Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.”

Adapun dalam perbuatan, beliau radhiyallahu ‘anhuma merupakan shahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211)

Ibnu Baththal rahimahullahu menjelaskan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282 karya Al_hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalany)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata memberikan penjelasan terhadap hadith ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.” (Syarhu Al-Arba’in An- Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105)

Suatu ketika Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para shahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab:

مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)

Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun.

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:

فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا اْلآخِرَةُ؟

Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar (raja Romawi –pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah [2].” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)

Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabinya:

ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّوْمَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لاَ يَعْبُدُوْنَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang baik- baik) mereka di dalam kehidupan dunia [3] ?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)

Demikianlah nilai dunia, wahai saudaraku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang- orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, kerana dunia hanyalah tempat penyeberangan… Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia.

Al-Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (Hadith riwayat:. Muslim no. 7126)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)

Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia takkan dapat menipu orang yang cerdas dan berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote :

[1] Mereka yang tertipu dengan dunia.

[2] Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu:

فَابْتَدَرَتْ عَيْنَايَ. قَالَ: مَا يُبْكِيْكَ، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ وَمَا لِي لاَ أَبْكِي وَهَذَا الْحَصِيْرُ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِكَ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لاَ أَرَى فِيْهَا إِلاَّ مَا أَرَى، وَذَاكَ قَيْصَرُ وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ وَاْلأَنْهَارِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَفْوَتُهُ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ


“Maka bercucuranlah air mataku.” Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai putra Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah, bagaimana aku tidak menangis, aku menyaksikan tikar ini membekas pada rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada isinya kecuali sekedar yang aku lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam limpahan kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal engkau (jauh lebih mulia daripada mereka, –pent.) adalah utusan Allah dan manusia pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”

[3] Adapun di akhirat kelak, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُوْنَ

Dan ingatlah hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka dikatakan, ‘Kalian telah menghabiskan kesenangan hidup (rezeki yang baik-baik) kalian dalam kehidupan duniawi saja dan kalian telah bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kalian dibalas dengan adzab yang menghinakan karena kalian telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan karena kalian berbuat kefasikan’.” (Surah Al-Ahqaf: 20)

 Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, (asysyariah.com)  Judul:Jangan Terpikat oleh Dunia



Iman yang lemah, dan kecintaan terhadap dunia dan takut mati sedemikian mewabah. Disinilah pentingnya mengikuti bagaimana Baginda Sayidina Muhammad Rasulullah SAW menyikapi dunia sebagai acuan kita, sekaligus mengikuti Sunnahnya agar tidak berlebihan dalam kehidupan, ketamakan akan membuat hati buta dan mati. Kelapangan hati mencari akhiratlah yang memudahkan manusia menderma bersedekah dengan tanpa perhitungan, kehidupan pun menjadi berkah, dunia dan akhirat malahan terjamin Insya Allah. (untuk renungan bersama)


Wahai Amirul Mukminin,

“Hindarkan diri dari dunia dan pada saat gembira pun kita patut menangis. Orang yang percaya kepada dunia, apabila mengalami kegembiraan sedikit saja, sudah pasti dia akan terperangkap dalam musibah. Orang yang mencari kepuasan dunia adalah orang yang tertipu dan orang yang menerima keuntungan di dunia pasti akan mengalami kerugian. Kesenangan di dunia terpaut dengan kesusahan, dan puncak wujud dunia adalah fana. Perasaan gembira di dunia terlibat dengan kesedihan. Apa yang sudah lepas tidak akan datang lagi, dan apa yang akan datang tidak diketahui bentuk rupanya. Harapan-harapan di dunia adalah palsu dan cita-citanya sia-sia. Yang kelihatan bersih di dunia pada hakikatnya adalah kotor. Kemewahannya merupakan hasil usaha yang keras, manusia senantiasa dalam keadaan bahaya di dunia. Jika seseorang mempunyai akal dan berpikir secara mendalam, dia akan memahami bahwa semua kenikmatan dunia adalah berbahaya dan ujung-ujungnya adalah malapetaka. Sekiranya Allah Swt. sang Penciptanya tidak pernah memberitakan keburukan dan keaibannya, namun keadaan penipu itu sendiri sudah cukup untuk membangunkan yang sedang tidur dan menyadarkan yang lalai agar berhati-hati. Padahal Allah Swt. telah memberi peringatan mengenainya dan menasihatinya berkenaan dengan dunia bahwa di sisi-Nya dunia tidak bernilai dan setelah menciptakannya tidak pernah melihat keadaannya dengan pandangan rahmat.”

Jadi apa yang dilarang dan tidak dibenarkan oleh syari’ah adalah cinta kepada harta, baik yang memilikinya itu orang kaya ataupun orang miskin yang tamak pada dunia. Hakikatnya dunia merupakan kekasih bagi mereka yang lalai kepada Allah. Kecintaan kepadanya menjadikan mereka mati-matian untuk mendapatkannya tanpa memperdulikan kehendak Allah. Orang-orang kaya yang sudah memilkinya akan sibuk menjaganya, menghitungnya dan menikmatinya dalam keadaan lalai kepada Allah. Tetapi pada umumnya orang yang terlepas darinya lebih aman dari fitnah harta dibandingkan dengan orang yang memilikinya. Sebab biasanya orang-orang kaya terjebak dalam fitnah (ujian) harta. Itulah sebabnya sahabat r.a. berkata, “Kami telah diuji dengan fitnah kesempitan dan kemiskinan, maka kami bersabar (berhasil). Kemudian kami diuji dengan fitnah kelapangan dan kekayaan, tetapi kali ini kami tidak dapat bersabar.” Iaitu dalam keadaan lapang sepatutnya hidup terpisah dengan harta tetapi tidak sanggup.

(Untuk renunggan bersama - HAR)

No comments: