Kehidupan Dunia Hanyalah Kesenangan
yang Menipu
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang bahu iparnya ini:
كن في الدنيا كأنك
غريب أو عابر سبيل
“Jadilah engkau di dunia ini seperti
orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).”
(Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 6416)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا
ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٌ۬ وَلَهۡوٌ۬ وَزِينَةٌ۬ وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٌ۬
فِى
ٱلۡأَمۡوَٲلِ
وَٱلۡأَوۡلَـٰدِۖ كَمَثَلِ غَيۡثٍ أَعۡجَبَ ٱلۡكُفَّارَ نَبَاتُهُ ۥ ثُمَّ
يَہِيجُ فَتَرَٮٰهُ
مُصۡفَرًّ۬ا ثُمَّ يَكُونُ
حُطَـٰمً۬اۖ وَفِى ٱلۡأَخِرَةِ عَذَابٌ۬ شَدِيدٌ۬ وَمَغۡفِرَةٌ۬ مِّنَ ٱللَّهِ
وَرِضۡوَٲنٌ۬ۚ وَمَا
ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَـٰعُ ٱلۡغُرُورِ
“Ketahuilah
bahawa (yang dikatakan) kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah (bawaan hidup
yang berupa semata-mata) permainan dan hiburan (yang melalaikan) serta
perhiasan (yang mengurang), juga (bawaan hidup yang bertujuan) bermegah-megah
di antara kamu (dengan kelebihan, kekuatan dan bangsa keturunan) serta
berlumba-lumba membanyakkan harta benda dan anak pinak; (semuanya itu terhad
waktunya) samalah seperti hujan yang (menumbuhkan tanaman yang menghijau subur)
menjadikan penanamnya suka dan tertarik hati kepada kesuburannya, kemudian
tanaman itu bergerak segar (ke suatu masa yang tertentu), selepas itu engkau
melihatnya berupa kuning; Akhirnya ia menjadi hancur bersepai dan (hendaklah
diketahui lagi, bahawa) di akhirat ada azab yang berat (di sediakan bagi
golongan yang hanya mengutamakan kehidupan dunia itu) dan (ada pula) keampunan
besar serta keredaan dari Allah (disediakan bagi orang-orang yang mengutamakan
akhirat) dan (ingatlah, bahawa) kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan bagi orang-orang yang terpedaya”. (Surah Al-Hadid: 20)
Bacalah
berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut maknanya… Setelahnya, apa
yang kamu fahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia membuaimu? Masihkah
angan-anganmu melambung untuk meraih gemerlap dunia? Masihkah engkau tertipu
dengan kesenangannya?
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu dalam Tafsir-nya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang
hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan
akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan
sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan
hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia [1]. Engkau dapati mereka
menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati
dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun janji
(pahala dan surga, –pent.) dan ancaman (adzab dan neraka, –pent.) yang ada di
hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan
dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang
beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah,
mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan
melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada
membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”
Asy-Syaikh
rahimahullahu melanjutkan, “Kemudian
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang
turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh
manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya,
dan para penanamnya, yang cita- cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia,
pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada
keadaannya semula, seakan- akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di
atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa
saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara
dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba
ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya
kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada
bekal yang dibawanya kecuali kain kafan….” (Taisir Al-Karimirir
Rahman, hal. 841)
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkisah,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pasar sementara orang-orang
ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil
atau terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut
seraya berkata:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ
هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا
نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا:وَاللهِ، لَوْ كَانَ
حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ:
فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
“Siapa
di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga
satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga
semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai
anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak
kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah
lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda
setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah
daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
pernah bersabda:
لَوْ كَانَتِ
الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا
شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya
dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap
nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk
airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 686)
Tatkala
orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam
kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka Shallallahu
‘alaihi wa sallam hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan para
shahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan
mengeluarkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak- banyaknya. Mereka
ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan.
( Subhanallah… itukah nilai dan
harga dunia disisi Allah swt. Kelihatanya seperti tidak ada nilai langsung
disisi Yang Maha Pencipta.Melihatkan maksud dan pengertian sabda Rasulullah
saw di atas , sudah cukup membuktikan bahawa dunia yang selama ini kita kejar
dengan penuh rasa tamak dan haloba , rupa-rupanya tidak ada nilai disisi
Allah swt. Buat apa dikejar benda yang tidak bernilai??Apakah berbaloi jika
sepanjang kejar-mengejar ini yang mana sudah pasti ada antara pesertanya yang
akan jatuh tersungkur menyembah bumi, tiba-tiba apabila kita sampai di
garisan penamat,pengadil atau hakim yang berada disitu dengan tegas
mengatakan bahawa pertandingan tadi tidak dikira. Pertandingan tersebut tiada
nilai dan sia-sia saja.Yang menang dan yang kalah tak dapat apa-apa.BERBALOI
KAH ?) – Untuk renungan bersama
|
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan
kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang bahu iparnya
ini:
كُنْ فِي
الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau
bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (Hadith
riwayat: Al-Bukhari no. 6416)
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun memegang teguh
wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata
setelah menyampaikan hadith Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Bila engkau berada di sore hati maka
janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi
hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan)
sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum
kematian menjemputmu.”
Adapun
dalam perbuatan, beliau radhiyallahu ‘anhuma merupakan shahabat yang terkenal
dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit)
terhadap dunia. Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu
pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya
dari dunia adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar
A’lamin Nubala`, hal. 3/211)
Ibnu Baththal rahimahullahu menjelaskan
berkenaan dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, “Dalam
hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan
dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak
membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan,
demikian pula seorang mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang
dapat menyampaikannya ke tempat akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282
karya Al_hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalany)
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu
berkata memberikan penjelasan terhadap hadith ini, “Janganlah
engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air
(tempat menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal
di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya
seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan
negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.” (Syarhu
Al-Arba’in An- Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105)
Suatu
ketika Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar
tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para shahabat yang menyaksikan
hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!”
Beliau menjawab:
مَا لِي وَمَا
لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ
شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Ada kecintaan
apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang
pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian
meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan
Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)
Umar
ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menangis melihat kesahajaan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau hanya tidur di atas
selembar tikar tanpa dialasi apapun.
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:
فَرَأَيْتُ
أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ
رَسُوْلُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا
اْلآخِرَةُ؟
Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka
aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu
menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, –pent.)
dan Kaisar (raja Romawi –pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau
adalah utusan Allah [2].” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka
mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)
Dalam kesempatan yang
sama, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabinya:
ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ
عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّوْمَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا
الدُّنْيَا وَهُمْ لاَ يَعْبُدُوْنَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي
شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ
طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah
agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah
melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak
beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Rasulullah meluruskan duduknya,
kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab?
Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan
hidup/rezeki yang baik- baik) mereka di dalam kehidupan dunia [3] ?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim
no. 3679)
Demikianlah nilai
dunia, wahai saudaraku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang- orang yang
bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk
tenggelam di dalamnya, kerana dunia hanyalah tempat penyeberangan… Di
ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan
dunia.
Al-Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا
الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي
الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
“Tidaklah dunia bila
dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian
memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang
dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (Hadith riwayat:. Muslim no. 7126)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan,
“Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila
dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya,
tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan
air yang masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)
Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan
dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia
selain orang yang pandir, karena dunia takkan dapat menipu orang yang cerdas
dan berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Footnote :
[1]
Mereka yang tertipu dengan dunia.
[2]
Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan
ucapan Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu:
فَابْتَدَرَتْ
عَيْنَايَ. قَالَ: مَا يُبْكِيْكَ، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ
اللهِ وَمَا لِي لاَ أَبْكِي وَهَذَا الْحَصِيْرُ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِكَ
وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لاَ أَرَى فِيْهَا إِلاَّ مَا أَرَى، وَذَاكَ قَيْصَرُ
وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ وَاْلأَنْهَارِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَفْوَتُهُ
وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ
“Maka
bercucuranlah air mataku.” Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa yang membuatmu
menangis, wahai putra Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah, bagaimana
aku tidak menangis, aku menyaksikan tikar ini membekas pada rusukmu. Aku
melihat lemarimu tidak ada isinya kecuali sekedar yang aku lihat. Sementara
Kaisar dan Kisra dalam limpahan kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai
yang mengalir. Padahal engkau (jauh lebih mulia daripada mereka, –pent.) adalah
utusan Allah dan manusia pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”
[3]
Adapun di akhirat kelak, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيَوْمَ
يُعْرَضُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي
حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ
الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُوْنَ
“Dan
ingatlah hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka
dikatakan, ‘Kalian telah menghabiskan kesenangan hidup (rezeki yang baik-baik)
kalian dalam kehidupan duniawi saja dan kalian telah bersenang-senang
dengannya. Maka pada hari ini kalian dibalas dengan adzab yang menghinakan
karena kalian telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan karena kalian
berbuat kefasikan’.” (Surah Al-Ahqaf: 20)
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah,
(asysyariah.com) Judul:Jangan Terpikat
oleh Dunia
Iman
yang lemah, dan kecintaan terhadap dunia dan takut mati sedemikian mewabah.
Disinilah pentingnya mengikuti bagaimana Baginda Sayidina Muhammad Rasulullah
SAW menyikapi dunia sebagai acuan kita, sekaligus mengikuti Sunnahnya agar
tidak berlebihan dalam kehidupan, ketamakan akan membuat hati buta dan mati.
Kelapangan hati mencari akhiratlah yang memudahkan manusia menderma
bersedekah dengan tanpa perhitungan, kehidupan pun menjadi berkah, dunia dan
akhirat malahan terjamin Insya Allah. (untuk renungan bersama)
|
Wahai Amirul Mukminin,
“Hindarkan diri dari dunia dan pada saat gembira pun kita
patut menangis. Orang yang percaya kepada dunia, apabila mengalami kegembiraan
sedikit saja, sudah pasti dia akan terperangkap dalam musibah. Orang yang
mencari kepuasan dunia adalah orang yang tertipu dan orang yang menerima
keuntungan di dunia pasti akan mengalami kerugian. Kesenangan di dunia terpaut
dengan kesusahan, dan puncak wujud dunia adalah fana. Perasaan gembira di dunia
terlibat dengan kesedihan. Apa yang sudah lepas tidak akan datang lagi, dan apa
yang akan datang tidak diketahui bentuk rupanya. Harapan-harapan di dunia
adalah palsu dan cita-citanya sia-sia. Yang kelihatan bersih di dunia pada
hakikatnya adalah kotor. Kemewahannya merupakan hasil usaha yang keras, manusia
senantiasa dalam keadaan bahaya di dunia. Jika seseorang mempunyai akal dan
berpikir secara mendalam, dia akan memahami bahwa semua kenikmatan dunia adalah
berbahaya dan ujung-ujungnya adalah malapetaka. Sekiranya Allah Swt. sang Penciptanya
tidak pernah memberitakan keburukan dan keaibannya, namun keadaan penipu itu
sendiri sudah cukup untuk membangunkan yang sedang tidur dan menyadarkan yang
lalai agar berhati-hati. Padahal Allah Swt. telah memberi peringatan
mengenainya dan menasihatinya berkenaan dengan dunia bahwa di sisi-Nya dunia
tidak bernilai dan setelah menciptakannya tidak pernah melihat keadaannya
dengan pandangan rahmat.”
Jadi apa yang dilarang dan tidak
dibenarkan oleh syari’ah adalah cinta kepada harta, baik yang memilikinya itu
orang kaya ataupun orang miskin yang tamak pada dunia. Hakikatnya dunia
merupakan kekasih bagi mereka yang lalai kepada Allah. Kecintaan kepadanya
menjadikan mereka mati-matian untuk mendapatkannya tanpa memperdulikan kehendak
Allah. Orang-orang kaya yang sudah memilkinya akan sibuk menjaganya,
menghitungnya dan menikmatinya dalam keadaan lalai kepada Allah. Tetapi pada
umumnya orang yang terlepas darinya lebih aman dari fitnah harta dibandingkan
dengan orang yang memilikinya. Sebab biasanya orang-orang kaya terjebak dalam
fitnah (ujian) harta. Itulah sebabnya sahabat r.a. berkata, “Kami telah diuji dengan fitnah kesempitan dan kemiskinan, maka kami
bersabar (berhasil). Kemudian kami diuji dengan fitnah kelapangan dan kekayaan,
tetapi kali ini kami tidak dapat bersabar.” Iaitu dalam keadaan lapang
sepatutnya hidup terpisah dengan harta tetapi tidak sanggup.
(Untuk renunggan bersama - HAR)
No comments:
Post a Comment