"Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan tiada aku termasuk di antara orang-orang yang musyrik" (QS Yusuf:108)

28 June, 2014

PEMBETULAN BEBERAPA HADITS DI BULAN RAMADHAN



PERTANYAAN

Kita selalu mendengar beberapa hadits yang disampaikan oleh penceramah dibulan Ramadhan diantaranya:
  1. Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.
  2. Bepuasalah niscaya kalian sehat.
  3. Segala suatu ada zakatnya dan zakatnya tubuh adalah puasa
  4. Apabila salah satu dari kalian mendengar azan dan benjana masih berada ditangannya, maka janganlah meletakkan benjananya sampai ia menyelesaikan hajatnya dari benjana tersebut.
  5. Siapa yang berbuka satu hari dalam Ramadhan tanpa udzur maka dia tidak mampu menggantinya walaupun berpuasa sepanjang masa.
Bagaimana sebenarnya kedudukan hadits tersebut, apakah sahih atau tidak?

Jazakallahu khairan.

JAWAPAN

Mengetahui kedudukan sebuah hadits adalah perkara yang sangat penting khususnya di zaman seperti sekarang ini, dimana perhatian orang terhadap hal tersebut amat rendah. Ditambah lagi dengan banyaknya hadits-hadits palsu dan lemah yang disebar.  Khususnya dibulan yang mulia seperti bulan Ramadhan. Seharusnya kemuliaan bulan tersebut dijaga dengan menyampaikan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam baik dalam Aqidah, Ahkam, Muamalah maupun Targhib Wat Tarhib. Maka dengan itu lah hal syariat akan dijaga dan ibadah kita juga terjaga.

Kami akan mencuba menjawab pertanyaan ini secara ringkas dan menyebutkan beberapa keterangan yang berkaitan dengan lima hadits yang ditanya, dan kamu uraikan secara berurut dengan menyebut lafaz hadits-nya.

1.  HADITS PERTAMA

أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

“Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”

Hadits ini datang dari dua jalan:

Pertama:  Dari jalan ‘Ali bin Zaid bin Jud’an, dari Sa’îd bin Musayyab, dari Salman Al-Farisy radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkhutbah kepada kami …,” lalu beliau sebutkan hadits yang panjang dan disebutkan di dalamnya,

وَهُوَ شَهْرُ أولهَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

“Dan ia adalah bulan yang awalnya adalah rahmat dan tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”

Dikeluarkan oleh Ibnu khuzaimah dalam Shahîh -nya 3/191 no.1887, Al-Mahamily dalam Amali -nya no.293
dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îman 3/305-306 no. 3608.

AKAN TETAPI PADA SANADNYA TERDAPAT DUA HADITS DHA’IF

§  Tidak diketahui apakah Sa’îd bin Musayyab mendengar dari Salman atau tidak.
§  ‘Ali bin Zaid bin Jud’an dha’if haditsnya.

Maka jalan pertama ini lemah.

CATATAN

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Haris bin Abi Usamah sebagaimana dalam Zawa’id no. 321 karya Al-Haitsamy dan Al-Mathalib Al-‘Aliyah 3/221-222 no. 1047 karya Ibnu Hajar, beliau berkata, menceritakan kepada saya sebahgian shahabatku (iaitu) seorang yang dikenal dengan nama Iyas, ia mengangkat hadits kepada Sa’id bin Musayyab … ,” dan seterusnya sama dengan sanad di atas.

Saya berkata , “ Iyas ini adalah Iyas bin ‘Abdul Ghaffar dan ia sebenarnya juga meriwayatkan hadits di atas dari ‘Ali bin Zaid. ” Lihat Syu’abul Îman 3/305.

Kedua: Dari jalan Sallam bin Sulaiman bin Sawwar dari Maslamah bin Ash-Shalt dari Az-Zuhry dari Abu Salamah dari Abu Hurairah beliau berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda:

أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”

Diriwayatkan oleh Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afa` 2/162, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal3/1157, dan Al-Khatib dalam Mûdhih Awham Al-Jama’ Wa At-Tafriq 2/149.

TERDAPAT BEBERAPA HADITS DHA’IF PADA SANADNYA

§  Sallam bin Sulaiman bin Sawwar dha’if (lemah), bahkan Ibnu ‘Adi berkata, “Mungkar haditsnya.”
§  Maslamah bin As-Shalt. Ibnu ‘Adi dan Adz-Dzahaby berkata, “Laa yu’raf (tidak dikenal),” bahkan Abu Hatim berkata, “Matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).”
§  Maslamah bersendirian meriwayatkan dari Az-Zuhry padahal Az-Zuhry seorang Imam besar yang mempunyai murid yang sangat banyak, maka hal ini menyebabkan riwayat Maslamah ini dianggap mungkar.

Kerana itu, Syaikh Al-Albany menghukumi jalan ini sebagai jalan yang mungkar.
Lihat Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah 4/70 no. 1569.

KESIMPULAN:
HADITS INI LEMAH DARI SELURUHJALAN-JALANNYA

2.  HADITS KEDUA

صُوْمُوْا تَصِحُّوْا

“Puasalah kalian niscaya kalian akan sehat.”

Hadits dengan lafaz ini mempunyai beberapa jalan:

Pertama: Dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhair bin Muhammad Al-Khurasany, dari Suhail bin Abi Shaleh, dari Abu Hurairah, beliau berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda:

اغْزُوْا تَغْنَمُوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وَسَافَرُوْا تَسْتَغْنَوْا

“Berperanglah kalian, niscaya kalian akan mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang), puasalah kalian niscaya kalian sehat, safarlah kalian niscaya kalian berkecukupan.”

Dikeluarkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Ausath jilid 8 hal. 174 no. 8312 dan Abu Nu’aim dalam Ath-Thib -sebagaimana dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah jilid 1 hal. 420-.

Berkata Ath-Thabarany setelah menyebutkan hadits ini, “Tidak meriwayatkan hadits ini dengan lafaz ini kecuali Zuhair.”

Ini sebagai isyarat yang sangat halus dari Ath-Thabarany untuk menunjukkan adanya kelemahan pada hadits ini. Dan memang demikianlah adanya, Zuhair bin Muhammad walaupun ia seorang rawi yang tsiqah (Tsiqah dalam Ilmu Hadith adalah sifat yang diberikan kepada perawi yang mempunyai sifat-sifat tertentu yang melayakkan periwayatan hadithnya diterima) akan tetapi riwayat orang-orang dari negeri Syam darinya adalah riwayat yang lemah. Sementara hadits ini termasuk riwayat orang Syam darinya.

Dan ada jalan lain yang serupa dengan jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, diriwayatkan oleh Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afa` jilid 1 hal. 92, beliau berkata, “Menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad An-Nashîby, beliau berkata, ‘Menceritakan kepada kami Ishaq bin Zaid Al-Khaththaby, beliau berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaim, beliau berkata, ‘Menceritakan kepada kami Zuhair bin Muhammad Abul Mundzir …,’,’,’,” dan seterusnya sama dengan jalan di atas, kemudian disebutkanlah haditsnya.

Berkata Al-‘Uqaily, “Tidak ada yang mendukungnya kecuali dari jalan yang lemah.”

Saya berkata, “Ahmad bin Muhammad An-Nashîby, Ishaq bin Zaid Al-Khaththaby dan Muhammad bin Sulaim saya tidak boleh menentukan siapa mereka saat ini tapi perkataan Al-‘Uqaily di atas sudah cukup menunjukkan lemahnya hadits ini.”

Kerana itulah hadits dengan jalan Abu Hurairah dilemahkan oleh Al-Hafizh Al-‘Iraqy dalam Al-Mughny Fî Hamlil Asfar 3/75 sebagaimana dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah jilid 1 hal. 420.

Kedua: dari jalan Nahsyal bin Sa’id, dari Adh-Dhahhak bin Muzahim, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda:

سَافَرُوْا تَصِحُّوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وَاغْزَوْا تَغْنَمُوْا

“Sabarlah kalian niscaya kalian sehat dan puasalah kalian niscaya kalian sehat dan berperanglah kalian niscaya kalian mendapatkan ghanimah.” 

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal jilid 7 hal. 2521.

Berkata Imam Ibnu ‘Adi setelah membawakan beberapa hadits lain dari jalan Nahsyal, “Hadits-hadits ini semuanya dari Adh-Dhahhak ghairu mahfûzhah (tidak terjaga) dan Nahsyal meriwayatkannya dari Adh-Dhahhak.”

Saya berkata, “Apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu ‘Adi adalah benar kerana di dalam jalan di atas terdapat dua cacatnya (Hadits dha’if):

§  Nahsyal bin Sa’id adalah seorang rawi yang sangat lemah haditsnya

Berkata An-Nasa`i, “Nahsyal, dari Adh-Dhahhak Khurasany, matrûkul hadits (ditinggalkan haditsnya).”

§  Ada terputus sanad nya.

Berkata Al-Albany dalam Silsilah Ahadits Ad-Dha’ifah jilid 1 hal. 421, “Adh-Dhahhak tidak mendengar dari Ibnu ‘Abbas.”

Lihat biogafinya dalam Tahdzib At-Tahdzib jilid 10 hal. 479.

Ketiga: Dari jalan Husain bin ‘Abdillah bin Dhumairah bin Abi Dhumairah Al-Himyary Al-Madany dari ayahnya dari kakeknya dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ صُوْمُوْا تَصِحُّوْا

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ‘Puasalah kalian niscaya kalian akan sehat.’.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal jilid 2 hal. 357.

Saya berkata, “Husain bin ‘Abdillah bin Dhumairah matrûkul hadits (ditinggalkan haditsnya) bahkan sebahgian para ulama menganggapnya sebagai pendusta dan saya tidak mengetahui siapa ayah dan kakeknya, maka jalan ini juga sangat lemah.”

Keempat: Berkata Abu ‘Amr Ar-Rabi’ bin Habib Al-Azdy dalam Musnad -nya no. 291, “Menceritakan kepada saya Abu ‘Ubaidah Muslim bin Abi Karimah At-Tamimy, beliau berkata, ‘Telah sampai kepadaku dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwasanya beliau berkata:

صَلُّوْا تَنْجَحُوْا وَزَكُّوْا تُفْلِحُوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوا وَسَافَرُوْا تَغْنَمُوْا

Shalatlah kalian niscaya kalian selamat dan keluarkanlah zakat niscaya kalian beruntung dan puasalah kalian niscaya kalian sehat dan safarlah kalian niscaya kalian mendapatkan ghanimah.”.

Saya berkata, “Abu ‘Ubaidah Muslim bin Abi Karimah At-Tamimy majhul (tidak dikenal) kemudian sanadnya mursal.”

KESIMPULAN
KESIMPULAN DARI KETERANGAN DIATAS BAHWA HADITS INI LEMAH KESELURUHAN NYA

Wallahu A’lam Bishshawab.

3.  HADITS KETIGA

لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الْصَوْمُ

“Segala sesuatu punya zakat dan zakat tubuh adalah puasa.”

Hadits ini datang dari dua jalan:

Pertama , dari jalan Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzy, dari Jamham, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 3/7, Ibnu Majah no. 1745, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal 6/2336, Al-Qadha’iy dalam Musnad -nya 1/162 no. 229, dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îman no. 3577.

Terdapat beberapa illat (cacat) dalam hadits ini:

§  Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzy, berkata Al-Bûshiry dalam Mishbah Az-Zujajah , “ Para ulama sepakat tentang lemahnya ia.”

§  Musa bin ‘Ubaidah telah mudhtharib (goncang) dalam meriwayatkan hadits ini, kadang-kadang ia meriwayatkannya secara marfû’ (bersambung kepada Nabi) seperti riwayat di atas, dan kadang-kadang ia meriwayatkannya secara mauqûf (hanya sampai kepada shahabat) sebagaimana dalam riwayat Waqi’ bin Al-Jarrah dalam Az-Zuhd . Lihat Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah 3/497.

Dan kadang-kadang Musa bin ‘Ubaidah meriwayatkannya bukan dari Jamhan, dari Abi Hurairah, tetapidari Zaid bin Aslam, dari Jamhan, dari Abi Hurairah, sebagaimana dalam Syu’abul Îman 3/292 no. 3578 karya Al-Baihaqy.

§  Jamhan adalah seorang rawi majhul (tidak dikenal).

Adapun riwayat Yahya bin Abdul Hamid dalam Muntakhab Musnad Abdu bin Humaid no. 1447, itu adalah riwayat yang mungkar sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah 3/497

Maka jalan pertama ini adalah lemah kerana itu berkata Al-Iraqy. Sanadnya lemah. Lihat Fathul Qadii 5/285 karya Imam Al Manawy

Kedua: Dari jalan Hammad bin Walid, dari Sufyan Ats-Tsaury dan ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman, dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’ad, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal 2/657-658, Ath-Thabarany 6/193 no. 5973, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 7/136, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îman 3/292-293, Al-Khatib Al-Baghdady dalam Tarikh -nya 8/153 dan Ibnul Jauzy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah 2/49 no. 885.

Di dalam sanadnya ada Hammad bin Walîd dan ia ini Matrûkul hadits (ditinggalkan haditsnya) bahkan Ibnu Hibban berkata, “Ia mencuri hadits dan menyandarkannya pada orang-orang tsiqah (terpercaya) apa yang bukan hadits mereka.” Maka jalan kedua ini sangat lemah.

KESIMPULAN
BOLEH DISIMPULKAN BAHWA SANAD HADITS INI LEMAH

4. HADITS KEEMPAT

إِذَا سَمِعَ أَحُدُكُمُ الْنِدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعُهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

“Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dan bejana masih berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkan bejananya sampai ia menyelesaikan hajatnya dari bejana tersebut.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud no. 2350, Ibnu Jarir dalam Tafsir -nya 2/181, Ahmad 2/423,510, Al-Hakim 1/320,323, dan 588, Al-Baihaqy 4/218, dan Ad-Daraquthny 2/165. Semuanya dari jalan Hammad bin Salamah, dari Muhammad bin Amr bin ‘Alqamah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.

Diriwayatkan juga oleh Ahmad 2/510, Ibnu Jarir 2/181, Al-Hakim 1/320,323, dan Al-Baihaqy 4/218, dari jalan Hammad bin Salamah, dari ‘Ammar bin Abi ‘Ammar, dari Abi Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.

Saya berkata, “Kalau kita memperhatikan dua jalan di atas, zahir sanad jalan pertama hasan dan jalan kedua shahih, tapi kaidah yang sudah dimaklumi di kalangan ahli hadits bahwa walaupun zahir sanad suatu hadits diterima, belum tentu sanad tersebut lepas dari cacat yang tersembunyi, dan ternyata di dalam sanad hadits ini ada cacat yang tersembunyi sebagaimana dijelaskan oleh Imam Besar pakar ‘ilalul hadits (cacat-cacat hadits), Abu Hatim, sebagaimana dalam Al-‘Ilal 1/123-124 no. 340, 1/256-257 no. 257 beliau berkata, “Dua hadits ini (dua jalan di atas) tidak shahih, adapun hadits ‘Ammar itu dari Abi Hurairah secara Mauqûf (dari perkataan Abu Hurairah) dan ‘Ammar Tsiqah dan hadits yang lainnya tidak shahih.”

Demikianlah perkataan Abu Hatim rahimahullah yang harus kita terima walaupun zahir sanad tersebut adalah shahih atau hasan, kerana Abu Hatim dan para imam yang setaraf dengan beliau adalah orang yang paling tahu tentang cacat-cacat yang tersembunyi dalam hadits kerana mereka menghafal seluruh riwayat-riwayat para rawi dan mengetahui tingkatannya, kedudukan dan kesalahan-kesalahan setiap rawi yang menyebabkan kita harus menerima anggapan (kesimpulan) mereka tentang lemahnya suatu hadits. Dan hal ini dinyatakan oleh banyak ulama yakni Imam Ibnu Rajab, Ibnu Hajar dan lain-lainnya.

Wallahu A’lam.

Sebahgian para ulama menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai pendukung (penguat), dan saya akan menyebutkan pendukung-pendukung tersebut kemudian kita lihat apakah memang sesuai dijadikan pendukung atau tidak.

§  Dari jalan Ghassan bin Rabi’ dari Hammad bin Salamah dari Yûnus dari Hasan Al-Bashry dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam secara mursal.

Diriwayatkan oleh Ahmad 2/423.

Saya berkata, “Ini adalah hadits yang mursal dan Ghassan bin Rabi’ yang berada dalam sanadnya adalah dha’if (lemah). Maka ini menyebabkan hadits ini tidak bisa dijadikan pendukung karena hadits mursal bisa dijadikan pendukung kalau sanadnya shahih sedang hadits ini sanad lemah.

Wallahu A’lam.

§  Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir -nya 2/181 dari jalan Husain bin Waqid, dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah beliau berkata:

أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ وَالْإِنَاءُ فِيْ يَدِ عُمَرَ قَالَ أَشْرَبُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ نَعَمْ فَشَرِبَهَا

“Iqamah telah dikumandangkan dan di tangan ‘Umar ada bejana, ia berkata: ‘ Apakah saya boleh minum , wahai Rasulullah? ’ Beliau bersabda , ‘ Iya. ’ Maka minumlah ‘Umar.”
Di dalam sanad hadits ini ada Abu Ghalib, yang kebanyakan para ulama melemahkannya. Kerana itu, Ibnu Hajar berkata tentangnya, “Shadûqun yukhti` (jujur tetapi banyak salah).” Ibarat ini digunakan oleh Ibnu Hajar untuk orang yang lemah haditsnya tetapi boleh dijadikan sebagai pendukung.

§  Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 3/348 dari jalan Ibnu Lahî’ah , dari Abi Zubair ia berkata:

سَأَلْتُ جَابِرًا عَنِ الرَّجُلِ يُرِيْدُ الصِّيَامَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ لِيَشْرَبَ مِنْهُ فَيَسْمَعُ النِّدَاءَ قَالَ جَابِرٌ كُنَّا نَحَدَّثُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَشْرَبُ
“Saya bertanya kepada Jabir tentang seseorang hendak berpuasa dan bejana di tangannya untuk ia minum kemudian ia mendengar adzan. Berkata Jabir, Kami diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata , ‘ Iya , minumlah”.

Saya berkata: “ Ibnu Lahi’ah dha’iful hadits. ”

§  Hadits Bilal, beliau berkata:

أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أُوْذِنُهُ بِالصَّلاَةِ وَهُوَ يُرِيْدُ الصِّيَامَ فَدَعَا بِقَدَحٍ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَنِيْ فَشَرِبْتُ ثُمَّ
خَرَجْنَا إِلَى الصَّلاَةِ

“Saya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memanggil beliau untuk shalat shubuh dan (ketika itu) beliau hendak berpuasa, maka ia meminta bejana lalu minum kemudian beliau memberikan bejana itu kepadaku kemudian saya minum lalu kami keluar untuk shalat.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 6/12, Ibnu Jarîr 2/181, Ath-Thabarany 1/355 no. 1082-1083, Asy-Syasyi dalam Musnad -nya 2/368 no. 972-974 , dan Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal 4/483. Semuanya dari jalan Abu Ishaq , dari ‘Abdillah bin Ma’qil , dari Bilal.

Saya berkata , “ Abu Ishaq As-Sabi’iy seorang mudallis dan meriwayatkan hadits ini dengan kata ‘an (dari), maka haditsnya tidak boleh diterima apalagi ada keanehan (asing) dalam sanadnya, sehingga Adz-Dzahaby berkata , ‘Gharîbun jiddan (aneh sekali).’ Ucapan beliau ini menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak boleh dijadikan pendukung.

Wallahu A’lam.”

§  Diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar , sebagaimana dalam Kasyful Astar no. 993 , dari jalan Muthî’ bin Rasyid , dari Taubah Al-‘Anbary , dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

انْظُرْ مَنْ فِي الْمَسْجِدِ فَادْعُهُ فَدَخَلْتُ يَعْنِيْ الْمَسْجِدَ فَإِذَا أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ فَدَعَوْتُهُمَا فَأَتََيْتُهُ بِشَيْءٍ فَوَضَعْتُهُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَأَكَلَ
وَأَكَلُوْا ثُمَّ خَرَجُوْا فَصَلَّى بِهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الغَدَاةِ

“Lihatlah siapa yang ada di masjid kemudian panggillah ia,” maka saya (Anas bin Malik) masuk (masjid) ternyata ada Abu Bakr dan ‘Umar maka saya pun memanggil mereka berdua, kemudian saya membawakan sesuatu kepada Nabi lalu saya letakkan di depannya lalu beliau makan dan mereka pun makan, kemudian mereka keluar lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam shalat Suboh mengimami mereka.”
Hadits ini dikeluarkan juga dengan matan yang lebih ringkas oleh Ibnu Abi Syaibah dalan Musnad -nya sebagaimana dalam Al-Mathalib Al-‘Aliyah 3/248-249 no. 1104 dan sanadnya hasan sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Haitsamy dalam Majma’ Az-Zawaid 3/152. Lihat juga Silsilah Ahadits Ash-Shahîhah 3/383.   
                                                            
Tapi hadits ini tidak boleh dijadikan syahid (pendukung) untuk hadits di atas kerana tidak tegas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam makan sahur dalam keadaan telah adzan sementara bejana masih berada di tangan beliau, tetapi hadits ini hanya menunjukkan bahwa kalau makan sahur, beliau akhirkan sehingga mendekati waktu suboh. Dan hadits yang menunjukkan disunnahkannya mengakhirkan sahur itu sangat banyak dan kita tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkan hadits-hadits seperti ini, di antaranya hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim.

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةٍ

“Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat. Saya (Anas bin Malik) berkata: Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan)?  Ia menjawab: “Lima puluh ayat.”

§  Diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thayalisy dalam Musnad -nya no. 1898 , beliau berkata , “Menceritakan kepada kami Qais bin Ar-Rabi’ , dari Zuhair bin Abi Tsabit Al-A’ma , dari Tamim bin ‘Iyadh , dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu.

كَانَ عَلْقَمَةُ بْنُ عَلاَثَةَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ بِلاَلٌ يُؤًذِّنُ بِالصَّلاَةِ فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ رُوَيْدًا يَا بِلاَلُ يَتَسَحَّرُ عَلْقَمْةُ وَهُوَ يَتَسَحَّرُ بِرَأْسٍ

“Adalah ‘Alqamah bin ‘Ulatsah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam maka datanglah Bilal memberitahukan tentang adzan shalat maka beliau bersabda: “Pelan-pelan, wahai Bilal, Alqamah sedang makan sahur.” “Berkata Ibnu ‘Umar, “Ia makan sahur dengan kepala.”

Saya berkata , “Qais bin Ar-Rabi’ yang terdapat di dalam sanadnya adalah rawi yang lemah haditsnya, hal ini boleh disimpulkan oleh orang yang membaca biografinya. Adapun Tamim bin ‘Iyadh, saya tidak menemukan biografinya.

Wallahu A’lam.”

KESIMPULAN
LAFAZ HADITS DIATAS MENURUT KAIDAH ILMU HADITS BOLEH DIANGGAP SEBAGAI HADITS HASAN LIGHAINHI, TETAPI MASIH ADA KERAGUAN TENTANG HADITS KERANA MENYELISIHI BEBERAPA NASH DALIL YANG JELAS, DIANTARANYA FIRMAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA:

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ

“Dan makanlah serta minumlah sehingga nyata kepada kamu benang putih (cahaya siang) dari benang hitam kegelapan malam), iaitu waktu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sehingga waktu malam (maghrib).” (Surah Al-Baqarah: 187) 

Juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktûm.” Muttafaqun ‘alaih .

Maksud hadits ini bahwa adzan dalam syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ada dua kali: adzan pertama dan adzan kedua. Ketika adzan pertama masih dibolehkan makan sahur, dan batasan terakhirnya sampai adzan kedua, iaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat Suboh.

Andaikata hadits ini shahih, maka maknanya tidak boleh difahami secara zahir, tetapi difahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunan Al-Kubra 4/218 bahwa yang diinginkan adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa muadzin tersebut adzan sebelum terbitnya fajar suboh, dan demikianlah menurut pendapat kebanyakan para ulama.

Wallahu A’lam.

5.  HADITS KELIMA

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِيْ غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ وَفِيْ رِوَايَةٍ عُذْرٍ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامَ الدَّهْرِ

“Siapa yang berbuka satu hari dalam ramadhan tanpa rukhshah (keringanan) yang Allah jadikan sebagai rukhshah -dalam satu riwayat tanpa udzur- maka dia tidak mampu menggantinya walaupun berpuasa sepanjang masa.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thayalisy dalam Musnad -nya no. 2540, Ahmad 2/386, 442, 458, dan 470, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad -nya 1/296-297 no. 273-275 dan 1/361 no. 367, Abu Daud no. 2396, Tirmidzy no. 723, Ibnu Majah no. 1672, An-Nasa`i dalam Al-Kubra 2/244-245 no. 3278-3283, Ad-Darimy dalam Sunan -nya no. 1713-1715, Ibnu Khuzaimah 3/238 no. 1987, Ad-Daraquthny 2/211 no. 29 dan dalam ‘Ilal -nya 8269-274, Al-Baihaqy 4/228 dan dalam Syu’abul Îman 3/318, Ibnu Hibban dalam Al-Majrûhîn 3/157, Al-Khatîb dalam Tarikh -nya 8/462, dan Ibnu Hajar dalam Taghlîq At-Ta’lîq 3/170. Semuanya dari jalan Abul Muthawwis, dari ayahnya, dari Abi Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Dalam sanadnya terdapat empat kecacatan:

§  Ada idhthirab (kegoncangan) pada Habîb bin Abi Tsabit dalam menyebutkan nama gurunya. Kadang ia mengatakan Abul Muthawwis dari ayahnya, kadang Ibnul Muthawwis dari ayahnya, kadang Ibnul Muthawwis dari Al-Muthawwis, dan kadang dari Ibnu Abil Muthawwis dari ayahnya. Lihat ‘Ilal Ad-Daraquthny 8/266-269 dan Hasyiah Al-Jarh Wa At-Ta’dil 5/167-168 oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimy rahimahullah.

Tidak diragukan bahwa hal yang seperti ini merupakan idhthirab dalam sanad yang akan mengakibatkan lemahnya suatu hadits menurut para ulama ahli hadits.

Adapun riwayat Habîb bin Abi Tsabit, yang kadang-kadang meriwayatkan dari Abul Muthawwis secara langsung dan kadang-kadang dengan perantara ‘Umarah bin ‘Umair, hal tersebut tidaklah disebut idhthirab, bahkan keduanya adalah shahih sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim dalam Al-‘Ilal 1/231-232 no. 674. Lihat juga ‘Ilal Ad-Daraquthny 8/266-269.

§  Tidak dikenalnya keadaan Abul Muthawwis.

Berkata Imam Abu ‘Isa (At-Tirmidzy) dalam Sunan-nya setelah menyebutkan hadits di atas, “Saya mendengar Muhammad (yakni Imam Al-Bukhari) berkata, ‘Abul Muthawwis namanya Yazid bin Muthawwis dan saya tidak mengetahuinya kecuali dalam hadits ini.”

Berkata Imam Ahmad:  “Saya tidak mengenalnya dan saya tidak mengenal haditsnya dari selain ini.
Berkata Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahih –: “Sesungguhnya saya tidak mengenal Ibnu Muthawwis dan tidak pula bapaknya selain dari Habib bin Abi Tsabit yang telah menyebutkan bahwasanya dia bertemu dengan Abul Muthawwis.”

Berkata Imam Ibnu Hibban dalam Al-Majrûhîn 3/157: “(Dia adalah) seorang dari ahli Kufah meriwayatkan dari bapaknya, tidak ada yang mengikutinya, tidak boleh berhujjah dengannya jika dia bersendirian.”

Juga tidak ada Imam yang menganggapnya dipercaya, kecuali Imam Ibnu Ma’în dalam salah satu riwayat, iaitu riwayat Abu Bakar bin Abi Haitsamah, “Saya bertanya kepada Yahya Ibnu Ma’în tentang Abul Muthawwis yang meriwayatkan darinya Habîb bin Abi Tsabit, maka beliau menjawab: ‘Namanya ‘Abdullah bin Muthawwis, Dia itu Kufy tsiqah (terpercaya).’.” Lihat Al-Jarh Wat-Ta’dil 5/773 dan ‘Ilal Ad-Daraquthny 8/273.

Tapi yang nampak -Wallahu A’lam- Abul Muthawwis yang disebutkan oleh Ibnu Ma’in bukanlah Abul Muthawwis yang tersebut di dalam sanad hadits ini. Mungkin kerana itu, Imam Adz-Dzahaby dalam Al-Kasyif memberikan isyarat dengan ucapannya wutstsiq (ada yang menganggapnya tsiqah). Kata wutstsiq digunakan oleh Imam Adz-Dzahaby bagi orang yang hanya di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban, khususnya dalam kitabnya, Ats-Tsiqat, sementara Abul Muthawwis ini justru beliau sebutkan dalam Al-Majrûhîn. Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak menganggap (mengakui) perkataan Imam Ibnu Ma’in tersebut.

Demikian pula Ibnu Hajar, dalam Taqribut Tahdzib, berkata: “Abul Muthawwis (namanya) adalah Yazid dan ada yang menyatakan (namanya) ‘Abdullah bin Muthawwis, Layyinul hadits (lemah haditsnya).” Disini, Ibnu Hajar menggunakan kata qila (ada yang mengatakan), menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan nama Abul Muthawwis adalah ‘Abdullah bin Muthawwis merupakan pendapat yang lemah. Wallahu A’lam.

§  Ayah Abul Muthawwis ini majhûl (tidak dikenal).

§  Ada inqitha’ (keterputusan) antara ayah Abul Muthawwis dengan Abu Hurairah. Berkata Imam Al-Bukhary dalam At-Tarikh Al-Kabir: “Abul Muthawwis bersendirian meriwayatkan hadits ini, dan saya tidak mengetahui apakah bapaknya mendengar dari Abi Hurairah atau tidak.” Lihat Fathul Bari4/161 dan At-Tahdzib .

Maka sebagai kesimpulan hadits ini adalah hadits yang lemah. Wallahu A’lam
Demikianlah jawaban kami atas pertanyaan tentang hadits-hadits tersebut. WallahuTa’alaA’lam.

PERINGATAN

Banyak orang yang menyebarluaskan bahwa hadits ini adalah riwayat Bukhary dalam Shahih -nya. Ini adalah kesalahan yang sangat nyata kerana Imam Al-Bukhary hanya meriwayatkannya secara mu’allaq (tidak menyebutkan sanadnya kepada rawi yang ia sandarkan hadits tersebut kepadanya) dan para ulama tidak menghitung (menganggap) apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary secara mu’allaq sebagai bagian dari Shahîh Al-Bukhary . Apalagi Imam Al-Bukhary meriwayatkan hadits ini dengan shighah tamridh, menunjukkan lemahnya riwayat tersebut menurut beliau. Wallahu A’lam.