….Godaan dunia dan harta….
(Sambungan dari Dahsyatnya Ujian Wanita
dan Dunia)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا
حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهُ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ
تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ
فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis (rasanya) dan hijau (menyenangkan
dilihat). Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan sebagian
kalian dengan sebagian yang lain di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana
kalian beramal dengan dunia tersebut. Oleh karena itu, takutlah kalian terhadap
godaan dunia (yang menggelincirkan kalian dari jalan-Nya) dan takutlah kalian
dari godaan wanita, karena ujian yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah
godaan wanita.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ
فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap umat itu akan dihadapkan dengan ujian (yang
terbesar). Dan termasuk ujian yang terbesar yang menimpa umatku adalah harta.”
(HR. At-Tirmidzi dari ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu)
Harta dan
dunia bukanlah tolok ukur seseorang itu dimuliakan atau dihinakan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:
فَأَمَّا
الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ
رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ
فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Adapun manusia apabila Rabbnya
mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata:
“Rabbku telah memuliakanku.” Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi
rezekinya maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku.” (Al-Fajr: 15-16)
Al-Imam Ibnul Qayyim
rahimahullahu berkata: “Maksud ayat-ayat tersebut adalah tidak setiap orang
yang Aku (Allah Subhanahu wa Ta’ala) beri kedudukan dan limpahan nikmat di
dunia berarti Aku limpahkan keridhaan-Ku kepadanya. Hal itu hanyalah sebuah
ujian dan cobaan dari-Ku untuknya. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan
rezekinya, Aku beri sekadar keperluan hidupnya tanpa ada kelebihan, berarti Aku
menghinakannya. Namun Aku menguji hamba-Ku dengan kenikmatan-kenikmatan
sebagaimana Aku mengujinya dengan berbagai musibah.” (Ijtima’ul Juyusy, hal. 9)
Sehingga, dunia dan harta boleh menyebabkan pemiliknya selamat serta mulia di dunia dan akhirat, apabila dia mendapatkannya dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia juga mensyukurinya serta menunaikan hak-haknya sehingga tidak diperbudak oleh dunia dan harta tersebut.
Sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا حَسَدَ
إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ
فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا
وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri kecuali kepada dua golongan: Orang yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala karuniakan harta kepadanya lalu dia infakkan di jalan yang
benar, serta orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan ilmu kepadanya
lalu dia menunaikan konsekuensinya (mengamalkannya) dan mengajarkannya.”
(Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Dan demikianlah keadaan para sahabat dahulu. Abu
Dzar radhiyallahu ‘anhu menceritakan: Beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ
اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي
وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendahului kami untuk
mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka juga berpuasa
sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta
mereka.” (HR. Muslim)
Sebaliknya, orang yang tertipu dengan harta dan
dunia sehingga dia diperbudak olehnya, dia akan celaka dan binasa di dunia
maupun akhirat. Na’udzu billah min dzalik (Kita berlindung kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari hal tersebut). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memperingatkan tentang hakikat harta dan dunia itu dalam firman-Nya:
وَمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Kehidupan dunia itu
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَا الْفَقْرُ
أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا
بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا
فَتُهْلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Namun aku
khawatir akan dibentangkan dunia kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan
kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya
sebagaimana orang-orang yang sebelum kalian, maka dunia itu akan membinasakan
kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang yang sebelum kalian.”
(Muttafaqun ‘alaih dari ‘Amr bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu)
تَعِسَ عَبْدُ
الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِي
وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celaka hamba dinar, dirham, qathifah, dan khamishah (keduanya
adalah jenis pakaian). Bila dia diberi maka dia ridha. Namun bila tidak diberi
dia tidak ridha.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ
لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar
dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta
orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari
jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya:
“Yang dimaksud ayat tersebut adalah peringatan dari para ulama su’ (orang yang
berilmu tapi jahat) dan ahli ibadah yang sesat. Sebagaimana ucapan Suyfan ibnu
Uyainah rahimahullahu: ‘Barangsiapa yang jahat dari kalangan orang yang berilmu
di antara kita, berarti ada keserupaan dengan para pemuka Yahudi. Sedangkan
barangsiapa yang sesat dari kalangan ahli ibadah kita, berarti ada keserupaan
dengan para pendeta Nasrani. Di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda dalam sebuah hadits yang shahih:
‘Sungguh-sungguh ada di antara kalian perbuatan-perbuatan generasi sebelum
kalian. Seperti bulu anak panah menyerupai bulu anak panah lainnya.’ Para
sahabat g bertanya: ‘Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?’ Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi?’
Dalam riwayat yang lain mereka bertanya: ‘Apakah mereka Persia dan Romawi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’
Intinya adalah peringatan dari tasyabbuh (menyerupai) ucapan maupun perbuatan mereka.
Oleh
karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَيَأْكُلُونَ
أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
“(Mereka) benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang
batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah:
34)
Hal
itu karena mereka memakan harta orang lain dengan bertopeng agama. Mereka
mendapat keuntungan dan kedudukan di sisi umat, sebagaimana para pendeta Yahudi
dan Nasrani mendapatkan hal-hal tersebut dari umatnya di masa jahiliah. Hingga
ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka pun tetap berkeras di atas kejahatan, kesesatan,
kekafiran, dan permusuhannya, disebabkan ambisi mereka terhadap kedudukan
tersebut. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memadamkan kesesatan itu dengan cahaya
kenabian sekaligus menggantikan kedudukan mereka degan kehinaan serta
kerendahan. Dan mereka akan kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa
kemurkaan-Nya.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Sungguh, cita-cita terhadap dunia termasuk sebab yang menimbulkan berbagai macam fitnah pada generasi pertama. Telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dalam Masa’il Al-Imam Ahmad (2/171), bahwa beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata: Seorang dari Anshar datang kepadaku pada masa khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu. Dia berbicara denganku. Tiba-tiba dia menyuruhku untuk mencela Utsman radhiyallahu ‘anhu. Maka aku katakan: ‘Sungguh, demi Allah, kita tidak mengetahui bahwa Utsman membunuh suatu jiwa tanpa alasan yang benar. Dia juga tidak pernah melakukan dosa besar (zina) sedikitpun. Namun inti masalahnya adalah harta. Apabila dia memberikan harta tersebut kepadamu, niscaya engkau akan ridha. Sedangkan bila dia memberikan harta kepada saudara/kerabatnya, maka kalian marah.”
Selanjutnya, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Bila kalian arahkan pandangan ke tengah-tengah kaum muslimin, baik di zaman yang telah lalu maupun sekarang, niscaya engkau akan saksikan kebanyakan orang yang tergelincir dari jalan ini (al-haq) adalah karena tamak terhadap dunia dan kedudukan. Maka barangsiapa yang membuka pintu ini untuk dirinya niscaya dia akan berbolak-balik. Berubah-ubah prinsip agamanya dan akan menganggap remeh/ringan urusan agamanya. (Bidayatul Inhiraf, hal. 141)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata:
“Setiap orang dari kalangan orang yang berilmu yang lebih memilih dunia dan berambisi
untuk mendapatkannya, pasti dia akan berdusta atas nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam fatwanya, dalam hukum yang dia tetapkan, berita-berita yang dia
sebarkan, serta kesan-kesan yang dia nyatakan. Karena hukum-hukum Allah
Subhanahu wa Ta’ala mayoritinya menyelisihi cita-cita manusia. Lebih-lebih
cita-cita orang yang tamak terhadap kedudukan dan orang yang diperbudak hawa
nafsunya. Cita-cita mereka tidak akan boleh mereka dapatkan dengan sempurna
kecuali dengan menyelisihi kebenaran dan sering menolaknya. Apabila seorang
yang berilmu atau hakim bercita-cita terhadap jabatan dan mempertuhankan hawa
nafsunya, maka cita-cita tersebut tidak akan didapatkan dengan sempurna kecuali
dengan menolak kebenaran…
Mereka pasti akan membuat-buat perkara yang baru dalam agama,
disertai kejahatan-kejahatan dalam bermuamalah. Maka terkumpullah pada diri
mereka dua perkara tersebut (kedustaan dan kejahatan).
Sungguh,
mengikuti hawa nafsu itu akan membutakan hati, sehingga tidak lagi boleh membedakan
antara sunnah dengan bid’ah. Bahkan boleh terbalik, dia lihat yang bid’ah
sebagai sunnah dan yang sunnah sebagai bid’ah. Inilah penyakit para ulama bila
mereka lebih memilih dunia dan diperbudak oleh hawa nafsunya.” (Al-Fawaid, hal
243-244)
اللَهُّمَ
أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا
وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Ya Allah, nampakkanlah kepada kami kebenaran
itu sebagai kebenaran dan kurniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan nampakkanlah
kebatilan itu sebagai kebatilan dan kurniakanlah kami untuk menjauhinya.”
Wallahu ‘alam bish-shawab.
Oleh Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Rujukan: Majalah Asy Syariah
Posted By: HAR
No comments:
Post a Comment