Dahsyatnya Ujian Wanita dan Dunia
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kekuasaan dan hikmah-Nya yang
sempurna menjadikan dunia serta perhiasannya yang fana ini sebagai medan ujian
dan cobaan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الَّذِي
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan
hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”
(Al-Mulk: 2)
الم.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji
lagi?” (Al-’Ankabut: 1-2)
Selanjutnya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmah-Nya memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya
hikmah dihadapkannya mereka kepada berbagai ujian dan cobaan itu.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ
فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا
وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 3)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di rahimahullahu
menyatakan dalam tafsirnya: "Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang
hikmah-Nya yang sempurna. Di mana sifat hikmah-Nya mengharuskan setiap orang
yang mengaku beriman tidak akan dibiarkan begitu saja dengan pengakuannya.
Pasti dia akan dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan. Bila tidak demikian,
nescaya tidak boleh terbedakan antara orang yang benar dan jujur dengan orang
yang dusta. Tidak dapat terbedakan pula antara orang yang berbuat kebenaran
dengan orang yang berbuat kebatilan. Sudah merupakan ketentuan Allah Subhanahu
wa Ta'ala, Dia menguji (manusia) dengan kelapangan dan kesempitan, kemudahan
dan kesulitan, kesenangan dan kesedihan, serta kekayaan dan kemiskinan. "
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya:
“(Agar terbedakan) orang-orang yang benar dalam pengakuannya dari orang-orang
yang dusta dalam ucapan dan pengakuannya. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Maha mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan
terjadi. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengetahui cara terjadinya sesuatu bila
hal itu terjadi. Hal ini adalah prinsip yang telah disepakati (ijma’) oleh para
imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
وَجَعَلْنَا
بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“Dan
Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu
bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20)
Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan maksud ayat di atas dalam
tafsirnya: “Seorang rasul adalah ujian bagi umatnya, yang akan memisahkan orang-orang
yang taat dengan orang-orang yang durhaka terhadap rasul tersebut. Maka Kami
jadikan para rasul sebagai ujian dan cobaan untuk mendakwahi kaum mereka.
Seorang yang kaya adalah ujian bagi yang miskin. Demikian pula sebaliknya.
Orang miskin adalah ujian bagi orang kaya. Semua jenis tingkatan makhluk (merupakan ujian
dan cobaan bagi yang sebaliknya) di dunia ini. Dunia yang fana ini adalah medan
yang penuh ujian dan cobaan.”
Dari
penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu di atas, kita dapatkan
faedah bahwa: seorang istri adalah ujian bagi suaminya, anak adalah ujian bagi
kedua orangtuanya, pembantu adalah ujian bagi tuannya, tetangga adalah ujian
bagi tetangga yang lainnya, rakyat adalah ujian bagi pemerintahnya, dan
sebagainya. Begitu pula sebaliknya.
Selanjutnya, Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan: “Tujuannya adalah apakah kalian mau bersabar, kemudian menegakkan berbagai perkara yang diwajibkan atas kalian, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas amalan kebaikan kalian. Ataukah kalian tidak mau bersabar yang dengan sebab itu kalian berhak mendapatkan kemurkaan (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan siksaan?! Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ
الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ
وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ
عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa kecintaan terhadap kenikmatan dan
kesenangan dunia akan dinampakkan indah dan menarik di mata manusia. Allah
Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan hal-hal ini secara khusus karena hal-hal
tersebut adalah ujian yang paling dahsyat, sedangkan hal-hal lain hanyalah
mengikuti. Maka, tatkala hal-hal ini dinampakkan indah dan menarik kepada
mereka, disertai faktor-faktor yang menguatkannya, maka jiwa-jiwa mereka akan
bergantung dengannya. Hati-hati mereka akan cenderung kepadanya.” (Taisir
Al-Karimirrahman, hal. 124)
Fitnah
(godaan) wanita
Betapa banyak lelaki yang menyimpang dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala karena godaan wanita. Betapa banyak pula seorang suami terjatuh dalam berbagai kezaliman dan kemaksiatan disebabkan istrinya. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ
فَاحْذَرُوهُمْ
“Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu
ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.”
(At-Taghabun: 14)
Al-Imam Mujahid rahimahullahu berkata: “Yakni akan menyeret orangtua atau suaminya untuk memutuskan tali silaturahim atau berbuat maksiat kepada Rabbnya, maka karena kecintaan kepadanya, suami atau orangtuanya tidak boleh kecuali menaatinya (anak atau istri tersebut).”
Al-Imam Mujahid rahimahullahu berkata: “Yakni akan menyeret orangtua atau suaminya untuk memutuskan tali silaturahim atau berbuat maksiat kepada Rabbnya, maka karena kecintaan kepadanya, suami atau orangtuanya tidak boleh kecuali menaatinya (anak atau istri tersebut).”
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ
مَا فِي الضِّلْعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ
تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Berniat dan berbuat baiklah kalian
kepada para wanita. Karena seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.
Maka apabila kamu berusaha dengan keras meluruskannya, niscaya kamu akan
mematahkannya. Sedangkan bila kamu membiarkannya niscaya akan tetap bengkok.
Maka berwasiatlah kalian kepada para istri (dengan wasiat yang baik).”
(Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا
تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنََ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian/godaan) yang
lebih dahsyat bagi para lelaki selain fitnah wanita.” (Muttafaqun ‘alaih dari
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Al-Mubarakfuri rahimahullahu
berkata: “(Sisi berbahayanya fitnah wanita bagi lelaki) adalah karena keumuman
tabiat seorang lelaki adalah sangat mencintai wanita. Bahkan banyak terjadi
perkara yang haram (zina, perselingkuhan, pacaran, dan pemerkosaan, yang dipicu
[daya tarik] wanita). Bahkan banyak pula terjadi permusuhan dan peperangan
disebabkan wanita. Minimalnya, wanita atau istri boleh menyebabkan seorang suami
atau seorang lelaki bercita-cita tinggi terhadap dunia. Maka ujian apalagi yang
lebih dahsyat darinya?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan godaan wanita itu seperti setan, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita. Kemudian beliau mendatangi Zainab istrinya, yang waktu itu sedang menyamak kulit hewan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menunaikan hajatnya (menggaulinya dalam rangka menyalurkan syahwatnya karena melihat wanita itu). Setelah itu, beliau keluar menuju para sahabat dan bersabda:
إِنَّ الْمَرْأَةَ
تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا
أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا
فِي نَفْسِهِ
“Sesungguhnya wanita itu datang dalam bentuk setan dan berlalu
dalam bentuk setan pula. Apabila salah seorang kalian melihat seorang wanita
(dan bangkit syahwatnya) maka hendaknya dia mendatangi istrinya (menggaulinya),
karena hal itu akan mengembalikan apa yang ada pada dirinya (meredakan
syahwatnya).” (HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam Syarah Shahih Muslim (8/187): “Para ulama mengatakan, makna hadits itu adalah bahwa penampilan wanita membangkitkan syahwat dan mengajak kepada fitnah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan adanya kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam hati para lelaki, merasa nikmat melihat kecantikannya berikut segala sesuatu yang terkait dengannya. Sehingga seorang wanita ada sisi keserupaan dengan setan dalam hal mengajak kepada kejelekan atau kemaksiatan melalui was-was serta dinampakkan bagus dan indahnya kemaksiatan itu kepadanya.
Dapat diambil pula faedah hukum dari hadits ini bahwa sepantasnya seorang wanita tidak keluar dari rumahnya, (berada) di antara lelaki, kecuali karena sebuah keperluan (darurat) yang mengharuskan dia keluar.
Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang segala sesuatu yang akan menyebabkan
hamba-hamba-Nya terfitnah dengan wanita, seperti memandang, berkhalwat
(berduaan dengan wanita yang bukan mahram), ikhtilath (campur-baur lelaki dan
perempuan yang bukan mahram). Bahkan mendengarkan suara wanita yang boleh
membangkitkan syahwat pun dilarang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” Yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka perbuat. (An-Nur: 30)
فَلاَ تَخْضَعْنَ
بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan
yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
وَلَا تَقْرَبُوا
الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan
janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32)
Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ
أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah salah seorang kalian berduaan dengan seorang wanita kecuali
bersama mahramnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari
‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِيَّاكُمْ
وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ
الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Jauhi
oleh kalian masuk kepada para wanita.” Seorang lelaki Anshar bertanya: “Bagaimana
pendapat anda tentang ipar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Ipar itu berarti kebinasaan (banyak terjadi zina antara seorang lelaki dengan
iparnya).” (Muttafaqun ‘alaih)
Agar
hamba-hamba-Nya selamat dari godaan wanita, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dengan
wanita shalihah, yang akan saling membantu dengan dirinya untuk menyempurnakan
keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَلَا تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ
الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا،
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Seorang
wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kebaikan nasabnya,
kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang bagus agamanya, niscaya
engkau akan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
SAMBUNGAN…GODAAN
DUNIA DAN HARTA
Oleh: Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Rujukan: Majalah Asy Syariah
Posted By: HAR
No comments:
Post a Comment